Senin, 10 Rabiul Akhir 1446 H / 15 Februari 2010 09:30 wib
15.320 views
Akhirnya Kudapatkan Kebahagiaan
Usai menyelesaikan studi di SMA, aku mendaftarkan diri untuk masuk ke perguruan tinggi. Namun ada hal baru, seorang pemuda yang tinggal di Amerika mau datang melamarku. Persetujuan pun terjadi. Aku terpaksa harus pergi ke negeri asing. Senang sekali rasanya aku akan hidup di Amerika.
Satu hal yang membuatku terheran-heran adalah bagaimana bisa keluargaku secepat ini mengalah dan setuju membiarkanku hidup di negeri asing dalam waktu lama. Terlebih lagi, keluargaku belum mengenal lebih jauh sosok suamiku ini, sementara umurku masih semuda ini.
Aku menikmati bulan maduku, demikian kata orang. Kami menempati sebuah villa indah di Amerika. Hari-hari berlalu dengan manis dan indah. Aku sudah menyaksikan sebagian besar tempat di Amerika. Suamiku bertekad agar aku menyaksikan segala-galanya, sehingga aku memiliki wawasan terhadap segalanya.
Namun, hari-hari yang indah itu tidak berlangsung lama. Sesuai penilaianku dulu, sekarang kami berada pada puberitas secara mental. Kami sudah memasuki situasi pasang surut dan tarik-menarik dalam kehidupan. Kami sudah meremehkan shalat. Meninggalkan shalat adalah hal biasa. Satu hal yang menjadi hasrat kami, harus memiliki wawasan tentang segala sesuatu.
Sebagai kelanjutan dari kerenggangan hubungan kami, suamiku banyak menghabiskan waktunya di luar rumah, khusunya pada malam hari.
Bertahun-tahun kami belum dikaruniai seorang anak. Tampaknya itulah hal yang semakin meluaskan kerenggangan kami yang terkadang sampai kepada bibir jurang kehancuran. Yaitu kehancuran kehidupan rumah tangga kami. Keadaan seperti ini berjalan beberapa tahun.
Ketika kami kembali untuk mengunjungi keluargaku, mereka melihat diriku amat kurus. Akupun menetapkan untuk mengadu kepada ibuku dengan segala cara. Dengan bantuan ibu gambaran hidupku dikemukakan kepada ayahku. Ayah memintaku duduk di sisinya. Ia bertanya kepadaku tentang berbagai hal secara mendetail. Semuanya seputar persoalan suamiku, bagaimana sikapnya kepadaku. Dan yang terakhir, sejauh mana komitmennya terhadap agama.
Setelah sesaat, ayah memberi waktu padaku untuk berpikir. Kuputuskan meminta cerai. Saya mengira urusanku akan berjalan mudah. Apalagi kami telah berkali-kali sepakat bercerai di Amerika. Namun suamiku menolak cerai, kecuali dengan syarat yang banyak. Syarat paling mudah adalah mengembalikan mahar penuh. Setelah bersitegang, berakhirlah hari-hari yang menakutkan itu. Dan yang membuat diriku tidak suka adalah tuntutannya ketika terjadi perceraian. Padahal aku sudah banyak membantunya untuk menyelesaikan studinya. Aku juga sudah membayar banyak dari uang yang kumiliki. Bahkan, gajiku secara lengkap selama tiga tahun berada di tangannya.
Bagaimanapun juga segala yang diinginkan kuberikan kepadanya. Sebagaimana segala yang kuinginkan sudah terluluskan. Akupun kembali kepada kehidupan lamaku. Seolah-olah baru saja berlalu sebuah mimpi atau bayangan yang mengerikan.
Seiring dengan dimulainya tahun ajaran baru di perguruan tinggi, kukumpulkan semua arsip-arsip dan semua ijazah lamaku. Akupun mendaftarkan diri ke perguruan tinggi. Aku bertekad untuk masuk ke fakultas bahasa Inggris karena aku sudah menguasainya. Setelah tinggal selama bertahun-tahun dinegeri asing.
Namun, takdir menentukan lain. Aku bertemu dengan salah seroang temanku sewaktu di SMA. Setelah mengucapkan salam hangat, kami saling menanyakan kabar masing-masing. Aku memberitahukan, aku sudah membawa semua surat-surat pentingku untuk mendaftarkan diri di fakultas bahasa Inggris.
Sahabatku itu baru belajar satu tahun setelas lulus SMA. Ia di Fakultas Syari'ah. Melalui pertemuan kami yang singkat itu, ia mampu meyakinkan diriku untuk ikut bersamanya kuliah di Fakultas Syari'ah.
Dari sanalah –demikian di tegaskan oleh sahabatku- banyak pengetahuan yang berguna buatmu. Sebagaimana juga engkau akan berkenalan dengan para mahasiswi Fakultas tersebut, karena aku sudah mengenal mereka. Ada juga berbagai program ekstra kurikuler yang akan kita sukai, seperti berbagai ceramah dan seminar-seminar.
Sisi pelajaran ekstrakurikuler itu akan mengembalikan diriku ke masa remaja, karena pada masa itu aku menyukai kegiatan-kegiatan semacam itu. Aku bertawakkal kepada Allah sebagaimana ucapan dia kepadaku, "jangan ragu-ragu!" akupun menjadi anggota yang sangat aktif dalam program kuliah tersebut. Aku turut berpartisipasi menyiapkan berbagai seminar. Inilah kenikmatan yang tak lagi kudapatkan semenjak tiga tahun lalu.
Kesehatanku kembali pulih, sinar kehidupan kembali menyala di pelupuk mataku. Ibuku dengan suka cita mengatakan, "tidak ada lagi waktu kosong untuk dirimu."
Aku mulai menyusun karya tulis dan mempelajari ulang seluruh mata pelajaranku. Kadang-kadang aku menyempatkan diri menyampaikan ceramah kepada rekan-rekanku selama sepuluh menit.
Aku kembali memiliki cita-cita yang besar serta tekad yang kuat. Lingkungan yang melingkariku tidak lagi melupakan kewajibanku. Bahkan, lebih mendorong diriku melaksanakan ibadah sunnah. Syukur aku selalu panjatkan kepada Allah yang telah memudahkan diriku memasuki program kuliah ini, karena di sana terdapat teman-teman yang shalihah.
Aku bersepakat dengan rekan-rekanku untuk menghafal Al Qur'an. Inilah yang selama ini kuinginkan. Aku baru memasuki babak kehidupan baru. Pada mulanya, aku khawatir tidak bisa konsisten. Akan tetapi, Allah memberi kemudahan buat diriku dalam menghafal tanpa ada kesulitan yang berarti. Aku bertekad untuk mendalami buku-buku aqidah dan fiqih untuk mengejar ketertinggalanku.
"Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al Qur'an dan mengajarkannya." (HR. Bukhari dari hadits Ustman bin 'Affan)
Subhanallah, ketika pergi ke Amerika dahulu, aku beranggapan berada dalam puncak kebahagiaan. Namun aku kini menyadari, jauh dari Allah tidak akan membawa kebahagiaan hakiki. Meskipun bentuk kebahagiaan secara lahir tampak terlihat.
Kegiatanku merambat masuk ke rumahku. Saudariku ikut-ikutan mengahafal Al Qur'an. Aku juga menyediakan waktu khusus untuk membacakan buku-buku yang bermanfaat bagi ibuku, terutama yang berkaitan dengan hukum-hukum kewanitaan. Al Hamdulillah, berbagai macam kaset-kaset Islami yang cukup banyak ada di rumahku. Setiap kali aku mengunjungi seseorang, tidak lupa satu paket kaset semacam itu kubawa sebagai hadiah. Seluruh kegiatanku terasa sangat bermanfaat.
Kehidupanku berubah total. Aku kini memandang dunia dengan kaca mata baru. Dunia hanyalah tempat persinggahan, bukan tempat yang kekal.
Kehidupanku yang jernih itu tidak ada yang megotori kecuali suamiku yang datang dari Amerika setelah selesai merampungkan studinya. Ibunya datang mengunjungi kami untuk meminta maaf dan melupakan masa lalu. Ia memintaku agar mau kembali kepada mantan suamiku. Aku mencium kepalanya dan menyatakan sudah melupakan masa laluku dan memaafkan segala kesalahannya. Semoga dengan itu, Allah juga mengampuni diriku.
"Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia." (QS. Fushilat: 34)
Namun aku menolak permintaanya untuk kembali ke mantan suamiku. Meski demikian aku tetap mengantar wanita itu ketika pergi. Tidak lupa aku menitipkan hadiah satu paket kaset Islami yang berisi anjuran bertaubat dan introspeksi untuk mantan suamiku. Selain itu, aku juga memberitahukan bahwa aku tidak memiliki waktu lagi selain berkonsentrasi pada studiku.
Oh ya, aku lupa menyebutkan bahwa sudah banyak laki-laki yang datang melamarku. Salah satu yang istimewa adalah saudara salah seorang sahabat wanitaku. Namun, aku tetap menolak. Aku menyatakan, sudah berjanji kepada Allah untuk tidak menikah terlebih dahulu sebelum menghatamkan Al Qur'an sampai tuntas. Temanku berusaha meyakinkanku, namun aku tetap menolaknya. Aku memberitahukan padanya, ini adalah tahun terakhir berlajarku di perguruan tinggi, yang berarti tahun terakhir juga untuk menghatamkan Al Qur'an. Ia terdiam dan tidak mampu lagi memberikan tanggapan.
Usai sudah masa belajarku di kampus ini. Aku berhasil lulus. Aku bercita-cita menjadi asisten dosen di perguruan tinggi ini. Namun takdir menentukan lain. Aku ditugaskan mengajar di sebuah sekolah dekat rumah. Maka kegiatan ekstra kurikulerku tetap kuteruskan. Aku menyiapkan jadwal untuk memberikan ceramah kepada para mahasiswi dan juga membuat program tahfidz Al Qur'an.
Berbagai urusan di sekolah berjalan dengan kondisi menggembirakan, seolah-olah kami adalah satu keluarga. Pada sore hari itu, datanglah seorang teman wanitaku berkunjung. Ia memberitahukan bahwa aku sudah berjanji kepadanya untuk mau menikah setelah aku selesai menghafal Al Qur'an. "Sekarang tidak ada lagi alasan bagimu," demikian ucapnya.
Akupun setuju. Semua urusan pernikahan berjalan mulus sesuai dengan tuntunan sunnah. Tidak ada penghamburan harta, pemborosan, maupun pesta-pesta mewah. Ia sungguh lelaki yang lebih baik. Bagus akhlaknya, bagus agamanya dan rajin shalat malam.
". . . dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)." (QS. An Nuur: 26)
Jangan ditanya kebahagiaan yang kurasakan bersamanya. Seolah-olah kami sudah menantikan semua ini selama bertahun-tahun. Ia mengatakan padaku, yang terus mendorong dirinya untuk melamarku adalah kesungguhanku menghafal Al Qur'an.
Segala puji bagi Allah yang telah merubah segalanya. Dari hidup di Amerika dengan wawasan terhadap segala sesuatu, sampai kepada menghafal Al Qur'an. Segala puji bagi Allah yang melimpahkan rahmat-Nya kepadaku sebelum ajal menjemput. [PurWD/voa-islam.com]
* Sumber : Kisah-kisah Nyata dalam buku Al Zamaan al Qaadim, karya Abdul Malik al Qasim
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!