SETELAH ummat Islam melaksanakan suatu ibadah yang agung yaitu puasa di bulan Ramadhan selama satu bulan lamanya, maka tibalah saatnya bagi umat Islam menyambut kedatangan hari raya yang dinanti-nantikan yaitu ‘Idul Fithri.

Definisi

‘Id secara bahasa artinya setiap hari yang di dalamnya ada perkumpulan, berasal dari kata (‘Aada-Ya’udu) artinya kembali, karena seakan-akan mereka kembali kepadanya. Ibnul ‘Arabi mengatakan: “‘Id dinamakan nama tersebut karena setiap tahun ia selalu kembali dengan kegembiraan yang baru.” (Lisanul Arab III/319)

Waktu ‘Id 

Waktu ‘Id telah tiba apabila hilal (awal bulan) telah disaksikan oleh dua orang yang terpercaya. Rasulullah r bersabda:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ.

“Berpuasalah ketika melihat hilal (awal bulan) dan berbukalah (berhari raya) ketika melihatnya.” ( HR. Al-Bukhari II/33 no: 1909 dan Muslim II/762 no: 1081)

Takbiran

  1. Waktu takbiran, dimulai dari hari terakhir bulan Ramadhan semenjak tenggelamnya matahari sampai Imam datang ketika shalat ‘Id. (Fatawa Lajnah Daimah VIII/302 no: 3189 dan Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Al-Utsaimin XVI/259 no: 1379)
  2. Mengeraskan suara pada saat takbiran namun sendiri-sendiri, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para salaf dan tidak dengan secara berjamaah dengan dipandu oleh seorang pemimpin. (Fatawa Lajnah Daimah VIII/310 no: 8340 dan Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Al-Utsaimin XVI/268 no: 1388)
  3. Dianjurkan untuk memperbanyak takbir, sesudah membaca dzikir-dzikir setelah shalat. Termasuk juga setelah shalat lima waktu, namun tetap dengan sendiri-sendiri (tidak dipandu), sebagaimana hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari I/508 no: 1659 dan Muslim II/933 no: 1285 dari sahabat Anas bin Malik, ketika para sahabat berhaji bersama Rasulullah, di antara mereka ada yang membaca takbir, ada juga yang membaca bacaan-bacaan lain. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Al-Utsaimin XVI/260 no: 1381)

Dan diriwayatkan bahwa:

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُكَبِّرُ بِمِنًى تِلْكَ الأَيَّامَ وَخَلْفَ الصَّلَوَاتِ، وَعَلَى فِرَاشِهِ وَفِى فُسْطَاطِهِ، وَمَجْلِسِهِ وَمَمْشَاهُ تِلْكَ الأَيَّامَ جَمِيعًا.

“Ibnu ‘Umar pernah bertakbir di Mina pada hari-hari itu (Tasyriq) setelah shalat (lima waktu), di tempat tidurnya, di kemah, di majelis dan di tempat berjalannya pada hari-hari itu seluruhnya.”  (HR. Al-Bukhari I/307 no: 969)

  1. Lafazh Takbiran

Mengenai masalah ini tidak ada hadits marfu' yang shahih menerangkan tentang lafazh takbiran, akan tetapi yang ada hanyalah lafazh yang diriwayatkan dari sebagian shahabat. Di antara lafadz yang dicontohkan antara lain:

Dari sahabat Ibnu Mas’ud:

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَهِ الحَمْدُ.

(HR. Ibnu Abi Syaibah I/490 no: 5653. Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ Al-Ghalil III/125 mengatakan: sanadnya shahih, akan tetapi disebutkan dalam tempat yang lain dengan sanad yang seperti itu dengan tiga kali takbir)

Atau bisa juga dengan lafadz takbir tiga kali (Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Al-Utsaimin XVI/259 no:1379), yaitu:

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَهِ الحَمْدُ.

Dari sahabat Ibnu Abbas:

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ اللَّهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا.

(HR. Al-Baihaqi III/441 no: 6280. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Al-Irwa’ Al-Ghalil III/126 mengatakan: sanadnya shahih)

Dari sahabat Salman Al-Farisi:

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا.

Ibnu Hajar mengatakan: Adapun lafadz takbir yang paling shahih adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq dengan sanad yang shahih dari Salman, mereka bertakbir: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Kabiira.” (Fathul Bari II/536)

Banyak kaum Muslimin yang menyelisihi dzikir yang diriwayatkan dari shahabat ini dengan dzikir-dzikir dan tambahan-tambahan yang dibuat-buat tanpa ada asalnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Pada masa ini telah diada-adakan tambahan dalam dzikir itu yang tidak memiliki asal (dalil).” (Fathul Bari II/536)

Adab-Adab sebelum Shalat ‘Id

  1. Mandi sebelum shalat ‘Id, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu ‘Umar. Nafi’ menceritakan: “Dahulu, pada ‘Idul Fithri, Ibnu ‘Umar mandi sebelum berangkat ke tanah lapang.” (HR. Malik II/248 no: 609)
  2. Berhias serta berpakaian yang terindah dan yang terbaik. (HR. Al-Bukhari I/301, no: 948). Ibnul Qayyim berkata: Dahulu, ketika keluar pada shalat dua hari raya, Nabi mengenakan pakaian yang terindah.” (Zaadul Ma’ad I/425)
  3. Makan pagi sebelum berangkat shalat ‘Idul Fithri, sebaiknya dengan kurma dengan jumlah yang ganjil. Anas berkata: “Rasulullah r tidak keluar pada pagi hari ‘Idul Fithri sehingga beliau memakan beberapa biji kurma dan beliau memakannya dalam jumlah yang ganjil.” (HR. Al-Bukhari I/302 no: 953)
  4. Datang ke tempat shalat dengan berjalan kaki, kecuali jika ada udzur seperti sakit atau jauh jaraknya. Ibnu ‘Umar berkata: “Rasulullah r biasa ke luar ke tempat sholat ‘Id dengan berjalan kaki dan pulang juga berjalan kaki.” (HR. Ibnu Majah no: 1310. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Shahih Sunan Ibnu Majah I/388: hasan)
  5. Bertakbir ketika keluar hendak shalat ‘Id. Dalam suatu riwayat: “Nabi r biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.” (As-Silsilah Ash-Shahihah I/329 no: 171)
  6. Menempuh jalan yang berbeda pada saat berangkat dan pulang. Jabir berkata: “Dahulu Nabi r ketika hari ‘Id beliau membedakan jalan.” (HR. Al-Bukhari I/311 no: 986)
  7. Membawa serta anak-anak dan kaum wanita. Dalil membawa kaum wanita adalah hadits dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata: “Nabi r memerintahkan kepada kami pada saat shalat ‘Id agar mengeluarkan para gadis dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.” (HR. Muslim II/605, no: 890). Sedangkan dalil membawa anak-anak adalah dari Ibnu ‘Abbas, yang ketika itu masih kecil, pernah ditanya: “Apakah engkau pernah menghadiri shalat ‘Id bersama Nabi r?” Ia menjawab: “Iya, aku menghadirinya. Seandainya bukan karena kedudukanku yang termasuk sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak akan menghadirinya.” (HR. Al-Bukhari I/308 no: 977)

Hukum Shalat ‘Id 

Mengenai hukum shalat ‘Id para ‘ulama berbeda pendapat, terbagi menjadi tiga pendapat. Ada yang mengatakan sunnah, fardu kifayah dan fardu ‘ain. Namun pendapat yang lebih benar adalah bahwa shalat ‘Id hukumnya adalah fardu ‘ain (wajib bagi setiap individu). Dan inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Al-Utsaimin XVI/213 no:1327)

Di antara dalil yang menunjukkan tentang wajibnya shalat ‘Id adalah hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah r telah bersabda:

قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ.

Telah berkumpul bagi kalian pada hari ini dua hari raya. Barangsiapa yang ingin (melaksanakan shalat ‘Id) maka ia telah mencukupi dari shalat Jum’at…. (HR. Abu Daud no: 1073. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Shahih Sunan Abu Daud I/296: shahih)

Dalil ini menunjukkan bahwa shalat ‘Id dapat menggugurkan kewajiban shalat Jum’at apabila bertepatan waktunya (yakni hari ‘Id jatuh pada hari Jum’at). Sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin dapat menggugurkan sesuatu yang wajib. Adapun dalil yang lain adalah hadits Ummu ‘Athiyah:

كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ، حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا، حَتَّى نُخْرِجَ الْحُيَّضَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ.

“Dahulu kami diperintahkan untuk keluar (shalat ‘Id) pada hari raya hingga gadis-gadis pingitan keluar dari kamarnya bahkan mereka yang tengah haid dan mereka berada di belakang orang-orang.” (HR. Al-Bukhari I/307 no: 971)

Hal-Hal yang Berkaitan dengan Shalat ‘Id

Dimulai saat terbitnya matahari ± setinggi tombak, disunnahkan mengerjakan shalat ‘Idul Adha pada awal waktu dan melambatkannya pada shalat ‘Idul Fithri dan akhir waktu shalat pada saat tergelincirnya matahari. (Al-Mughni III/266)

Shalat dilaksanakan di tanah lapang bukan di masjid, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah r kecuali jika ada udzur. Dari Abu Sa’id Al Khudri mengatakan: “Rasulullah r biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul ‘Adha menuju tanah lapang.” (HR. Al-Bukhari I/303 no: 956 dan Muslim II/605 no: 889)

Tidak ada shalat sebelum dan sesudah shalat ‘Id. Dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Rasulullah r pernah keluar pada hari Idul ‘Adha atau ‘Idul Fithri, lalu beliau mengerjakan shalat ‘Id dua raka’at, namun beliau tidak mengerjakan shalat qabliyah maupun ba’diyah ‘Id.” (HR. Al-Bukhari I/305 no: 964)

Membawa tombak atau semacamnya untuk ditancapkan di depan tempat Imam sebagai sutrah (pembatas). Dari Ibnu ‘Umar ia berkata: “Rasulullah bila keluar ke tanah lapang untuk mengerjakan shalat ‘Id, beliau memerintahkan pelayannya untuk membawa tombak lalu ditancapkan di hadapan beliau. Kemudian beliau shalat menghadapnya sementara manusia menjadi makmum di belakang beliau.” (HR. Al-Bukhari I/174 no: 494)

Shalat ‘Id dilakukan sebelum khutbah. Dari Ibnu ‘Umar ia berkata: “Nabi r dan Abu Bakar, begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan shalat ‘Id sebelum khutbah.” (HR. Al-Bukhari I/305 no: 963 dan Muslim II/605 no: 888)

Shalat ‘Id tanpa didahului adzan dan iqamat. Dari Jabir bin Samurah, ia berkata: “Aku pernah melaksanakan shalat ‘Id (‘Idul Fithri dan ‘Idul ‘Adha) bersama Rasulullah r bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqamah.” (HR. Muslim II/604 no: 887)

Shalat ‘Id dua raka’at. Umar bin Khattab, ia berkata: “Shalat Jumat dua raka’at, shalat ‘Idul Fithri dua raka’at, shalat ‘Idul ‘Adha dua raka’at.” (HR. An-Nasaa’i no: 1419. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Shahih Sunan An-Nasa’i I/457: shahih)

Mengangkat tangan setiap takbir sebagaimana yang dikerjakan oleh Ibnu ‘Umar. Ibnul Qayyim mengatakan: “Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi r biasa mengangkat tangannya dalam setiap takbir.” (Zaadul Ma’ad I/427)

Membaca do’a iftitah setelah takbiratul ikhram, sebelum takbir 7 X. (Zaadul Ma’ad I/427 dan Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Al-Utsaimin XVI/240 no: 1355)

Jumlah takbir pada raka’at pertama 7 X (selain takbiratul ihram) dan pada raka’at kedua 5 X (selain takbir ketika bangkit dari sujud) dan takbir dilakukan sebelum membaca Al-Fatihah. Dari Aisyah, ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah bertakbir dalam shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul ‘Adha, pada rakaat pertama sebanyak tujuh kali dan rakaat kedua lima kali, selain dua takbir ruku.” (HR. Abu Daud no: 1149,1150. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Shahih Sunan Abu Daud I/315: shahih)

Belum didapatkan hadits shahih marfu’ yang menerangkan bacaan Rasulullah r di antara takbir, namun Ibnu Mas’ud berkata:

بَيْنَ كُلِّ تَكْبِيرَتَيْنِ حَمْدًا لِلَّهِ عَزﱠ وَجَلﱠ وَثَنَاءً عَلَى الله.

“Di antara tiap dua takbir diucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah I.” (HR. Al-Baihaqi III/410 no: 6186. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Al-Irwa’ Al-Ghalil III/115: sanadnya jayyid)

Ibnu Qoyyim menyebutkan dalam kitabnya Zaadul Ma’ad I/427:

يحَمْدُ اللَّهَ وَ يُثْنِيْ عَلَيْهِ وَيُصَلِّي عَلَى النَّبِىِّ r.

“Mengucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah dan bershalawat kepada Nabi r.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (Majmu’ Fatawa XXIV/119) memberikan contoh yaitu:

سُبْحَانَ اللهِ، وَ الْحَمْدُ ِللهِ، وَ لاَ ِإلَهَ إِلاَ اللهُ، وَ اللهُ أَكْبَرُ.

atau,

اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْراً، وَ الْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْراً، وَ سُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةَ وَ أَصِيْلاً، وَ صَلّىَ اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ النََّبِيِّ الأُمِّيِ وَ عَلَى آلِهِ وَ أَصْحَابِهِ وَ سَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً.

Disunnahkan membaca surah Al-A’laa pada raka’at pertama dan surah Al-Ghasyiyah pada raka’at kedua atau surah Qaaf pada raka’at pertama dan surah Al-Qamar. Dari An Nu’man bin Basyir, ia berkata: “Rasulullah r biasa membaca dalam shalat ‘Id maupun shalat Jum’at “Sabbihisma rabbikal a’laa” (QS. Al-A’laa) dan “Hal ataaka haditsul ghaasyiyah (QS. Al-Ghasyiyah).” (HR. Muslim II/598 no: 878)

Dibolehkan mengerjakan shalat ‘Id pada hari kedua jika luput (ada udzur) pada hari pertama. Dari Abu Umair bin Anas, dari paman-pamannya yang termasuk sahabat Nabi r: “Mereka bersaksi bahwa mereka melihat hilal (bulan tanggal satu) kemarin, maka Nabi r memerintahkan mereka untuk berbuka dan pergi ke mushalla (tanah lapang) mereka keesokan paginya.” (HR. Abu Daud no: 1157. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Shahih Sunan Abu Daud I/317: shahih)

Jika tidak sempat shalat jama’ah bersama Imam, boleh mengerjakannya sendiri di rumah dua raka’at. Imam Al-Bukhari berkata: “Apabila seseorang luput dari shalat ‘Id hendaklah ia shalat dua raka'at.” (Fathul Bari II/550)

Ucapan Selamat pada Hari ‘Id

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar: “Telah diriwayatkan kepada kami dalam “Al-Mahamiliyat” dengan isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair ia berkata: “Para sahabat Rasulullah r jika bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya:

تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك.

“Taqabbalallahu minna wa minka (Semoga Allah menerima dari kami dan darimu).” (Fathul Bari II/517)

Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada junjungan kita Rasulullah r, keluarga, dan sahabat-sahabat beliau.*

 

Sumber: Buku Panduan Praktis Ramadhan, Penerbit Pustaka Belajar Islam

Didukung oleh Wahdah Inspirasi Zakat (WIZ) Jogja

FB: https://www.facebook.com/wahdahinspirasizakatjogja/

IG: https://instagram.com/wizjogja?igshid=12o265etywkwd