Ahad, 5 Jumadil Awwal 1446 H / 13 Oktober 2024 09:45 wib
10.603 views
Hermeneutika: Sanggahan Barat terhadap Otentisitas Al-Qur'an
BANDUNG (voa-islam.com) - Pertemuan ke tujuh Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Bandung diselenggarakan pada Kamis malam (10/10/2024) di Ruang Tafsir Masjid Istiqomah Bandung. Direktur At-Taubah Institute, Nashruddin Syarief, yang menjadi pembicara dalam kesempatan ini menyampaikan materi tentang Wahyu dan Kenabian.
“Kalau sulit mencari bukti bahwa Al Qur’an itu adalah wahyu Allah, maka coba buktikan kalau Al Qur’an bukan wahyu Allah,” ujarnya.
Nashruddin tidak hanya memaparkan konsep wahyu menurut perspektif Islam tapi juga berdasarkan perspektif Barat. Kemudian dilanjutkan dengan dampak hermeneutika terhadap konsep wahyu dan kenabian. Hermeneutika merupakan ilmu tentang interpretasi asas-asas metodologi serta cabang dari ilmu filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. Nashruddin menjelaskan bahwa terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara konsep wahyu menurut Islam dengan perspektif barat.
“Wahyu sebagai identitas utama agama Islam, dipahami oleh ilmuwan barat sebagaimana halnya wahyu dalam agama Kristen, yakni bukan firman tuhan yang utuh diturunkan kepada nabi--melainkan sudah diinterpretasikan oleh nabi, diinterpretasikan oleh murid-muridnya lalu dituliskan sebagai teks manusiawi,” jelas alumni Universitas Ibnu Khaldun Bogor itu.
Begitu juga dengan konsep kenabian yang sangat berbeda secara mendasar antara perspektif Islam dan Barat. Nashruddin menjelaskan tentang beberapa filsuf yang menilai bahwa kenabian adalah sebuah proses kecerdasan manusia tingkat tinggi, hasil imajinasi komposistif atau kemampuan melakukan kontak dengan akal aktif yang berada di dunia spiritual. Ia menganggap pendapat ini terlalu dibuat-buat, karena konsep kenabian dalam Islam tidak ada hubungannya dengan imajinasi dan permainan akal. Pemikiran seperti ini merupakan dampak dari hermeneutika yang keliru dalam menginterpretasi ajaran Islam dan Al-Qur’an. Al-Qur’an yang dianggap sebagai hasil terjemahan dan interpretasi nabi Muhammad yang berlatar belakang Arab, bukan murni wahyu dari tuhan.
“Teks Al-Qur’an itu memang berbahasa Arab, tapi bukan lahir dari budaya Arab. Justru Al-Qur’an hadir melahirkan budaya baru di Arab,” tegas Nashruddin.
Pertemuan ketujuh kelas SPI Bandung Angkatan berlangsung ramai. Murid-murid berpendapat bahwa kajian wahyu dan kenabian yang dibahas bersanding dengan hermeneutika merupakan topik kritis yang menggelitik akal. Hal ini tergambar jelas dari sesi tanya-jawab di kelas dan saat wawancara pada murid SPI yang menghadiri pertemuan itu.
“Maasya Allah sekali! Di satu sisi melihat POV Barat yang berusaha menentang Al-Qur'an dengan hermeneutika, yang mana kalau cuman mengandalkan logis mah bisa banget ya kita pun berpikir begitu. Dan Maasya Allah nya lagi, Al-Qur'an bisa mematahkan itu semua, bahkan hal seperti itu sudah diprediksi akan terjadi, dan membuktikan bahwa benar bahwa Al-Qur'an itu mukjizat,” komen Wafa, mahasiswi jurusan Sastra Arab Universitas Pendidikan Indonesia itu.
Selain keseruan dari topik pertemuan malam itu, Jeje, seorang alumni Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran sekaligus marketing strategist, yang juga hadir pada kelas tersebut menyampaikan keprihatinannya jika dampak hermeneutika ini tersebar dan dikonsumsi oleh masyarakat yang masih awam tentang konsep ini.
“Materi malam ini menyadarkan aku bahwa betapa bahayanya tulisan-tulisan dan jurnal yang menyatakan bahwa Al-Qur'an adalah produk budaya. Dan faktanya, tulisan-tulisan tersebut sudah tersebar. Akan sangat mengkhawatirkan jika tulisan-tulisan filsafat hermeneutika Al-Qur'an itu dibaca oleh orang-orang awam,” ujar Jeje.
Terakhir, Nashruddin tidak lupa untuk mengingatkan kepada para murid untuk berhati-hati dalam mengkaji dan menginterpretasi makna Al-Qur'an. Untuk menginterpretasi Al-Qur'an melalui aktivitas tadabbur, dianjurkan untuk menggunakan tafsir-tafsir dan hadist-hadist yang shahih sebagai landasannya, sehingga terhindar dari kesesatan berpikir dalam memahami Al-Qur'an. Begitu juga dengan memaknai Al-Qur'an berdasarkan perspekti ilmu lainnya yang harus dilakukan dengan hati-hati.
“Memahami ayat Al-Qur'an pakai ilmu-ilmu luar jangan sampai keluar dari kaidah dan makna yang sudah ada pada Al-Qur'an itu sendiri. Selama tadabbur itu sesuai dengan tafsir yang benar (shahih), maka tidak apa-apa”, tutupnya. (Rifka Afwani/Ab)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!