Sabtu, 30 Jumadil Awwal 1446 H / 12 Desember 2020 06:17 wib
13.267 views
Pemerintah Memilih Politik Jalan Buntu
Tak sepatah katapun Presiden menyinggung kasus tersebut. Apalagi mengutuk dan menyampaikan duka cita.
Oleh:
Hersubeno Arief || Konsultan Media dan Politik
PEMERINTAH tampaknya memilih politik jalan buntu. Jalan keras, dengan pendekatan kekuasaan.
Pintu dialog dengan Imam Besar Front Pembela Islam Habib Rizieq Shihab (HRS), ditutup rapat-rapat.
Sikap pemerintah itu tercermin dari keputusan Polda Metro Jaya, meningkatkan status HRS menjadi tersangka.
Kabareskrim Mabes Polri Komjen Listyo Sigit langsung turun tangan, mengambil alih kasus. Menurutnya ada bukti kuat laskar FPI menyerang polisi.
Dengan pernyataan itu, berarti Divisi Propam Mabes Polri tak perlu lagi melanjutkan kerjanya.
Tak perlu lagi diselidiki apakah ada kesalahan dan pelanggaran standar operasi dan prosedurnya.
Polisi sudah menyimpulkan, kasusnya adalah pembelaan diri. Aparatnya diserang.
Jadi wajar bila penyerang ditembak mati. “Tindakan terukur,” begitu seperti dikatakan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran.
Sejalan dengan Presiden
Kebijakan Mabes Polri ini tampaknya sejalan dengan sikap Presiden Jokowi.
Setelah berhari-hari diam, banyak yang menanti-nanti apa pernyataan Presiden. Bagaimana dia menyikapinya. Apa instruksinya?
Kasus penembakan enam orang laskar FPI oleh polisi, bukan hanya menjadi sorotan nasional, tapi juga internasional.
Kredibilitas Indonesia sebagai negara demokrasi dipertaruhkan.
Enam orang aktivis Islam, menjadi korban kekerasan aparat negara, di sebuah negara demokrasi dengan penduduk Islam terbesar di dunia, adalah ironi besar.
Sayangnya harapan publik seperti menggantang asap. Momen yang ditunggu pada perayaan Hari HAM Se-dunia, Jumat (10/12) menjadi anti klimaks.
Tak sepatah katapun Presiden menyinggung kasus tersebut. Apalagi mengutuk dan menyampaikan duka cita.
Pandangan mata, dan pendengaran Presiden seakan terkurung rapat di balik tembok istana. Padahal jaraknya hanya lebih kurang 50 Km dari istana!
Sayang sekali!
Dalam pidato dengan durasi 5 menit 7 detik itu, Presiden Jokowi malah bicara komitmen pemerintah menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu.
Sebuah komitmen yang diulang-ulang terus setiap tahun, sepanjang enam tahun dia berkuasa.
Presiden juga bicara rencana aksi HAM 2020, pemenuhan hak sipil, hak politik dan hak sosial budaya.
Hak para anak muda yang tewas secara mengenaskan di tangan polisi, sama sekali tak disinggungnya.
Publik membandingkan dengan sikapnya, ketika terjadi penembakan pendeta di Papua pada bulan September lalu.
Pemerintah segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
Kurang dari dua pekan berselang —akhir November— juga terjadi pembantaian satu keluarga di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Polisi menyebut pelaku pembantaian gerilyawan Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Rumah korban digunakan sebagai pos pelayanan gereja.
Presiden Jokowi bersikap sangat keras. Mengutuk keras pembantaian itu. Memerintahkan Kapolri mengusut tuntas sampai ke akar-akarnya.
Sebuah sikap yang correct. Seorang Presiden, seorang kepala negara memang harus bersikap seperti itu.
Masalahnya mengapa terjadi perbedaan perlakuan. Ada standar ganda?
Isu ini menjadi sensitif karena bisa dikait-kaitkan dengan masalah SARA.
Sangat berbahaya bila kemudian muncul kesimpulan, pemerintahan Jokowi memusuhi umat Islam.
Untuk kasus yang nun jauh di sana, di Papua dan di Sigi, Presiden bisa dengan jelas melihat duduk persoalannya.
Mengambil langkah yang tepat. Instruksinya kepada aparat penegak hukum juga tegas dan jelas.
Mengapa untuk kasus yang berada di depan mata, ibarat kata hanya sepelemparan batu dari istana, Presiden tiba-tiba nanar pandangannya?
Bibirnya kelu, bahkan hanya untuk sekadar mengucapkan bela sungkawa. Konon pula memberi instruksi dan arahan yang tegas bagi aparat bawahannya.
Sikap diam dan membisunya Presiden ini sangat berbahaya. Stabilitas, bahkan integrasi bangsa jadi taruhannya.
Ekonomi negara sedang sangat berat. Pandemi masih belum jelas kapan berakhir.
Kehidupan rakyat secara ekonomi sangat berat. Secara psikis rakyat juga sangat tertekan.
Belum lagi kalau kita bicara residu Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019. Sampai saat ini bukannya menyurut, malah kian mengental. Pembelahan kian terasa.
Jerami kering itu tumpukannya kian tinggi. Sudah menggunung. Hanya butuh sebatang korek api memantiknya.
Harus ada kesadaran dari pemerintah untuk membangun jembatan dialog. Bukan malah menggali keterbelahan itu semakin dalam.
Mengapa Presiden tidak membuka diri. Mengulurkan tangan.
Tunjukkan welas asihmu kepada anak bangsa, tanpa memandang golongan.
Jangan dilihat mereka mendukung atau tidak mendukungmu.
Presiden Jokowi harus ingat, dia adalah Presiden. Seorang kepala negara. Paling bertanggung jawab dan akan diminta pertanggungjawabannya atas semua yang terjadi.
Tolong diingat, para pendukung Jokowi sering mencoba menyamakannya dengan Khalifah Umar Bin Khattab.
Seorang sahabat Nabi Muhammad, khalifah kedua yang sangat tegas dan berlaku adil tanpa pandang bulu.
Khalifah Umar sangat tegas dan keras terutama kepada keluarga dan para petinggi negara.
Dalam bahasa sekarang sikapnya terhadap pelanggaran dan penyimpangan sekecil apapun. Zero tolerance.
Suatu hari beliau pernah berkata. “Jika ada seekor keledai yang terperosok di negeri Syam. Umar lah yang berdosa dan bertanggung jawab.”
Negeri Syam —sekarang Suriah— sangat jauh dari Madinah. Ribuan kilometer jaraknya.
Komunikasi juga tidak bisa dibandingkan dengan masa kini.
Sekarang ada enam orang anak bangsa, tewas ditembak di KM 50. Presiden Jokowi hanya diam saja?
Pak Jokowi, bersikaplah layaknya Umar Bin Khattab seperti digambarkan oleh para pengikut Anda.
Tolong setidaknya jangan kecewakan mereka. End.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!