Senin, 5 Rabiul Akhir 1446 H / 25 Maret 2024 02:20 wib
3.488 views
Turunnya Angka Pernikahan, Tanda Masyarakat Makin Cerdas?
Oleh: Ameena Nur
Angka pernikahan di Indonesia kian tahun kian menurun. Pandangan masyarakat, khususnya generasi Z tentang pernikahan tidak lagi sakral maupun penting. Yang mana, alih-alih menganggap bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang erat kaitannya dengan menjalankan syariat agama, generasi kini lebih menganggap bahwa pernikahan hanyalah suatu formalitas hidup atau sebuah tradisi dalam keberlanjutan hidup. Dan berita menurunnya angka pernikahan di Indonesia ini disambut dengan rasa syukur dan senang dari banyak sekali warganet, karena menganggap bahwa masyarakat Indonesia sudah semakin cerdas.
Sebagaimana kabar tentang Jepang yang sedang di ambang kepunahan karena masyarakatnya yang enggan menikah, jika hal ini terus-menerus dilanjutkan, maka kita akan menjadi Jepang selanjutnya. Namun, mengingat Indonesia yang kini memiliki lebih dari 240 juta penduduk, kepunahan tersebut bukanlah sebuah kekhawatiran. Akan tetapi, yang justru menjadi kekhawatiran adalah tingginya angka perzinahan.
Sah-sah saja menunda pernikahan demi persiapan yang matang. Namun yang mengundang khawatir adalah perzinahan yang semakin meningkat. Jangan lupa bahwa manusia memiliki kebutuhan biologis yang harus disalurkan. Walau memang penyalurannya bisa beragam seperti menyibukkan diri, berpuasan, dan berolahraga, namun tetap saja kenyataannya angka perzinahan di Indonesia terus meningkat.
Pacaran VS menikah
Menikah bukan lagi menjadi sebuah prioritas dibandingkan karir. Masyarakat modern kini lebih suka bekerja dan mengembangkan karir daripada berkeluarga. Pemikiran semacam ini bisa dianggap sebagai kemajuan dan bisa juga dianggap sebagai kemunduran tergantung dari alasan mereka masing-masing. Ada yang memang memprioritaskan karir demi kehidupan yang baik jika memasuki kehidupan pernikahan nanti. Ada juga yang merasa bahwa karir lebih mudah dijalani daripada kehidupan pernikahan. Sedangkan faktor dari bagaimana pemikiran-pemikiran sederhana tersebut bisa tumbuh adalah banyak, namun yang paling mempengaruhi adalah rasa trauma dan awas.
Sebelumnya, mari kita lihat angka perceraian di Indonesia. Rata-rata angka perceraian di Indonesia di setiap tahunnya adalah 500.000 kasus. Dan alasan perceraiannya pun beragam, mulai dari yang remeh hingga traumatis. Namun rata-rata penyebabnya adalah karena ekonomi dan ketidakcocokan yang menimbulkan konflik-konflik semacam kekerasan dalam rumah tangga.
Sebuah trauma dan rasa awas tidak hanya timbul dari pengalaman pribadi, namun juga bisa dari karena melihat dari pengalaman orang lain, mengingat mudahnya akses informasi di era ini. Setiap bulan atau bahkan setiap minggu, bisa kita dapati banyak sekali konflik rumah tangga yang dibagikan. Mulai dari kalangan selebriti hingga yang non-selebriti. Rumah tangga siapa pun bisa menjadi sorotan dan sensasional. Dan setiap kali berita-berita semacam itu timbul, reaksi masyarakat hampir selalu sama, ‘jadi takut menikah’.
Reaksi ‘Takut menikah’ tak pernah ketinggalan jika ada isu mengejutkan tentang huru-hara pernikahan seperti perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, masalah ekonomi dan lain-lain. Yang jelas, reaksi ‘takut menikah’ itu semacam fear mongering yang digaung-gaungkan demi menyudutkan pernikahan. Namun herannya, jarang sekali terdengar fear mongering terhadap pacaran secara masif. Padahal kasus kerugian dalam masa pacaran juga banyak.
Dari antaranews.com, Catatan Tahunan Komnas Perempuan 20223 menyebutkan bahwa jumlah kasus kekerasan saat pacara menempati urutan pertama, yakni sebanyak 3.528 kasus. Justru, orang-orang seringkali memberikan solusi bahwa pacaran sebelum menikah itu harus demi mencegah ‘salah pasangan’ yang dapat menimbulkan konflik rumah tangga, khususnya kekerasan.
Standar ganda. Bagaimana bisa dengan konflik yang sama, bahkan konfliknya lebih mengkhawatirkan selain kekerasan seperti hamil di luar nikah, dan dicampakkan. Jadi bagaimana pacaran bisa lebih disarankan daripada pernikahan. Orang-orang takut menikah karena kekerasan, namun tidak dengan pacaran?
Jika tujuannya untuk menyeleksi, tetap saja sama, pacaran bukanlah solusi terbaik. Toh, banyak sekali bukti orang yang sudah berpacaran bertahun-tahun, namun pas menikah tetap memiliki konflik yang membuat mereka berpisah lebih cepat dari pada masa mereka berpacaran.
Hal yang paling penting dalam pernikahan
Sebagaimana yang khalayak umum ketahui bahwa dalam pernikahan, adalah tidak mungkin jika tidak ada masalah sama sekali. Akan selalu ada saja masalahnya, walau model masalahnya tidak selalu dari faktor internal seperti perbedaan karakter, atau ekonomi. Bisa juga masalahnya terkait dengan faktor eksternal seperti mertua, sanak saudara, atau bahkan dari dunia pekerjaan. Jadi yang perlu dikuatkan adalah komitmen dari kedua belah pihak, suami dan istri dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut.
Pernikahan masih menjadi sebuah impian, namun di saat yang sama, juga menjadi sebuah ketakutan. Mereka ingin menikah, namun ditakutkan oleh banyak sekali berita-berita buruk yang bertebaran. Akhirnya, menunda pernikahan adalah solusi tengahnya. Yang mana, mereka ingin menikah, namun demi mencegah konflik-konflik rumah tangga seperti kekerasan dalam rumah tangga, keluhan ekonomi, dan ketidakcocokan antar pasangan, mereka pun berusaha keras untuk membangun kehidupan yang layak seperti memproritaskan karir dan kemapanan terlebih dahulu. Khususnya bagi perempuan kini, mereka semakin gencar memprinsipkan diri mereka agar mapan dulu sebelum nikah. Sehingga jika nanti ada hal-hal yang di luar dugaan, seperti harus bercerai, maka mereka tidak terlalu sulit menghadapinya karena memiliki uang dan pekerjaan.
Akan tetapi, sadarkah kita bahwa pernikahan itu tidak melulu tentang ekonomi? Ada yang lebih penting daripada ekonomi? Kalau benar semua konflik rumah tangga yang paling berperan adalah ekonomi, lantas mengapa selebriti-selebriti papan atas yang hartanya berlimpah ruah bisa bercerai? Justru, kebanyakan kasus perceraian masyarakat menengah ke atas justru perselingkuhan.
Meskipun kelayakan ekonomi itu penting, namun bukanlah yang paling penting. Ilmu dan iman memiliki peran yang paling penting dalam prinsip dan komitmen rumah tangga. Kita ambil contoh dari kehidupan rumah tangga Ali bin Abi Thalib dan Fathimah binti Rasulullah yang terkenal sederhana namun penuh cinta dan berkah. Walau hidup dalam ekonomi yang sederhana, mereka tetap bisa memiliki kehidupan rumah tangga yang bahagia. Sesekali konflik dalam rumah tangga memang ada. Namun, karena yang membersamai mereka adalah ilmu dan iman, sehingga, mereka dapat mengendalikannya dengan baik. Memang, iman kita tidak sekuat mereka. Tetapi, kenyataan bahwa ilmu dan iman adalah kunci tidak bisa dipungkiri. Memiliki ilmu serta iman sebagai bekal dalam menjalani kehidupan rumah tangga dapat membentuk pola pikir yang tegas terhadap komitmen dalam mewujudkan visi dan misi pernikahan.
Jadi apakah benar bahwa dengan menurunnya angka pernikahan Indonesia adalah tanda bahwa masyarakat kita semakin cerdas? Benar, jika ini tentang kesadaran kita terhadap ‘pentingnya mempersiapkan pernikahan’. Namun, jika solusi dari penundaan menikahnya adalah dengan berzina, maka ini adalah kebodohan. Karena bagaimana pun, berzina memiliki banyak sekali potensi kerugian seperti kekerasan dan lepas tanggung jawab.
Rasulullah saw. bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yng tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).” (HR. Bukhari)
Maka dari itu, sempurnakanlah akal kita. Jika mau menunda hingga siap dan mampu, maka tundalah dengan jalan yang sudah Allah beri tahu. Berpuasa, berolahraga, menuntut ilmu, bergaul dengan orang-orang baik, dan melakukan hal-hal yang positif lainnya agar terhindar dari zina. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!