
 
									
								BANGKOK (voa-islam.com) Inilah dokumen lengkap berasal dari perpustakaan online Universitas Ohio, Amerika Serikat. Dokumen itu diunggah pada tanggal 29 Oktober 1999.
 
 Dalam dokumen itu disebutkan empat wartawan Indonesia, salah satunya dari majalah Panji. Mereka berbincang-bincang dengan Prabowo, Kamis 14 Oktober 1999, atau setahun setelah diberhentikan dari ABRI.
 
 Berikut obrolan Prabowo dengan empat wartawan di Indonesia:
 
 Soal surat Muladi kepada Komnas HAM. Anda sebenarnya diberhentikan karena kasus penculikan atau kerusuhan 13-14 Mei 1998?
 
 Itulah yang saya bingung. Saya diperiksa oleh DKP beberapa kali.
 Mungkin tiga atau empat kali. Dan semua pertanyaan saya jawab. DKP itu
 kan khusus menyelidiki soal penculikan sembilan aktivis. Saya pribadi
 tidak suka menggunakan istilah penculikan karena itu kan kesalahan
 teknis di lapangan. Niat sebenarnya adalah mengamankan aktivis radikal agar tidak mengganggu rencana pelaksanaan SU MPR 1998. Bahwa kemudian anak buah saya menyekap lebih lama sehingga dikatakan menculik, itu saya anggap kesalahan teknis. Tanggung jawabnya saya ambil alih.
 
 Di DKP apakah ditanyai soal pemberi perintah penculikan?
 
 Tentu. Tapi perintah menculik tidak ada. Yang ada operasi intelijen
 untuk mengamankan aktivis radikal itu. Sebab saat itu kan sudah
 terjadi ancaman peledakan bom di mana-mana. Dalam DKP saya kemukakan
 bahwa perintah pengamanan itu tidak rahasia. Mereka, para jenderal
 yang memeriksa saya pun tahu. Itu dari atasan dan sejumlah instansi,
 termasuk Kodam dilibatkan.
 
 Benarkah Anda mendapat daftar 28 orang yang harus `diamankan' dalam konteks SU MPR?
 
 Wah, dari mana Anda tahu? Tapi saya memang terima satu daftar untuk
 diselidiki. Jadi, untuk diselidiki. Bukan untuk diculik.
 
 Dari siapa Anda terima daftar itu?
 
 Saya tidak bisa katakan. Semua sudah saya katakan di DKP. Kita ini
 kan harus menjaga kehormatan institusi ABRI. Keterangan saya di DKP
 ada rekamannya.
 
 Benarkah daftar itu Anda terima langsung dari RI 1, yakni presiden
 saat itu, Soeharto?
 
 Saya sulit menjawab. Kepada Pak Harto saya sangat hormat. Beliau
 panglima saya. Kepala negara saya. Bahkan, lebih jauh lagi, beliau
 mertua saya, kakek dari anak saya. Bayangkan sulitnya posisi saya.
 Tapi semua itu sudah saya sampaikan ke DKP.
 
 Anda tidak tanya pada Pak Harto daftar itu didapat dari mana?
 
 Tentu saya tanya.
 
 Pak Harto ngomong apa pada Anda waktu memberikan daftar itu?
 
 Ha...ha...ha.... Pertanyaan bagus, tetapi sulit dijawab.
 
 Kapan Anda terima daftar itu dari Pak Harto?
 
 Beberapa hari setelah ledakan bom di rumah susun Tanah Tinggi.
 
 Apakah nama 14 aktivis yang sampai kini belum ketahuan rimbanya ada di situ?
 
 Saya lupa. Mungkin tidak. Itu daftar kan kalau saya tidak salah
 didapat dari rumah susun Tanah Tinggi. Jadi macam-macam nama orang
 ada di situ. Akan halnya enam aktivis, Andi Arief dkk., itu ada dalam
 daftar pencarian orang (DPO), yang diberikan polisi. Yang tiga, Pius
 Lustrilanang, Desmond J. Mahesa, dan Haryanto Taslam, itu kecelakaan.
 Saya tak pernah perintahkan untuk menangkap mereka. Semua mencari
 mereka yang ada dalam DPO itu. Kita dapat brifing terus dari Mabes
 ABRI. Kita selalu ditanyai. Sudah dapat belum Andi Arief. Tiap hari
 ditanya. Sudah dapat belum si ini... begitu. Kejar-kejaran semua.
 Itu pun, maaf ya, meski saya tanggung jawab, saya tanya anak-anak. Eh,
 kalian saya perintahkan nggak? BKO sampai nyebrang ke Lampung segala.
 Mereka ini namanya mau mencari prestasi. Tapi saya puji waktu mereka
 dapat. Mereka kan membantu polisi yang terus mencari-cari anak-anak
 itu. Soalnya Andi Arief kan dikejar-kejar.
Selain Anda, siapa lagi yang menerima daftar itu dari Pak Harto?
 Apakah betul Kasad Jenderal Wiranto dan pangab saat itu, Jenderal
 Feisal Tanjung menerima daftar serupa?
 
 Yang bisa saya pastikan, saya bukan satu-satunya panglima yang
 menerima daftar itu. Pimpinan ABRI lainnya juga menerima. Dan daftar
 itu memang sifatnya untuk diselidiki. Perintahnya begitu. Seingat
 saya, Pak Harto sendiri sudah mengakui kepada sejumlah menteri bahwa
 itu adalah operasi intelijen. Di kalangan ABRI, sudah jadi
 pengetahuan umum. Tapi, sudahlah, kalau bicara Pak Harto saya sulit.
 Apalagi saya tak mau memecah-belah lembaga yang saya cintai, yakni
 ABRI, khususnya TNI.
 
 Bukankah hubungan Anda dan Pak Harto belakangan retak?
 
 Itu benar dan sangat saya sesalkan. Mungkin ada yang memberikan
 masukan kepada Pak Harto, seolah-olah saya sudah tidak loyal kepada
 beliau. Saya dikatakan sudah main mata dengan Pak Habibie dan karena
 itu menyarakan agar Pak Harto lengser pada pertengahan Mei. Mungkin
 itu yang membuat Pak Harto marah kepada saya. Ironis, bukan? Oleh
 masyarakat saya dianggap sebagai status quo karena menjadi bagian dari
 Pak Harto. Saya tidak menyesal. Memang saya menikah dengan putrinya.
 Tapi Pak Harto sendiri, dan keluarganya, justru marah kepada saya.
 
 Benarkah Anda mengusulkan agar Pak Harto lengser?
 
 Ya. Malah sebelum Pak Harto mundur, setelah terjadi peristiwa
 Trisakti, saya pernah mengatakan kepada seorang diplomat asing.
 Tampaknya Pak Harto akan mundur. Eskalasi situasi dan peta geopolitik
 saat itu menghendaki demikian. Saya juga kemukakan ini sehari setelah
 Pak Harto kembali dari Kairo (15 Mei 1998, Red.). Apalagi Pak Harto di
 Kairo memang mengisyaratkan kesediaan untuk lengser. Mungkin ada yang
 tidak suka saya bicara terbuka. Tapi saya biasa bicara apa adanya dan
 terus terang. Saya tidak suka basa-basi. Mungkin di situ
 masalahnya.
 
 Kenapa akhirnya Anda mengambil tanggung jawab penculikan sembilan
 aktivis?
 
 Di situ saya merasa agak dicurangi dan diperlakukan tidak adil.
 Mengamankan enam orang ini kan suatu keberhasilan. Wong orang mau
 melakukan aksi pengeboman, kita mencegahnya. Mereka merakit 40 bom.
 Kita mendapatkan 18, ada 22 bom yang masih beredar di masyarakat.
 Katanya yang 22 itu sudah dibawa ke Banyuwangi. Bom yang meledak di
 rusun Tanah Tinggi dan di Demak, Jawa Tengah itu kan karena anak-anak
 itu, para aktivis, nggak begitu ahli merakit bom. Jadi, kurang
 hati-hati, salah sentuh, meledak. Di Kopassus pun tidak sembarang
 orang bisa merakit bom. Tidak semua orang bisa. Ini ada
 spesialisasinya. Saya tidak bisa bikin bom. Jadi kita ini mencegah
 peledakan bom di tempat-tempat strategis dan pembakaran terminal. Kita
 harusnya dapat ucapan terima kasih karena melindungi hak asasi
 masyarakat yang terancam peledakan itu. Soal tiga orang, memang
 kesalahan. Saya minta maaf pada Haryanto Taslam dan yang lain. Tapi
 dia juga akhirnya terima kasih. Untung yang menangkap saya. Kan hidup
 semua. Saya mau bertemu mereka.
Anda pernah berpikir tidak bahwa dokumen atau daftar yang berasal dari rusun Tanah Tinggi itu buatan pihak yang berniat jahat?
 
 Belakangan saya berpikir juga. Jangan-jangan dokumen itu bikinan.
 Dalam dokumen itu, seolah-olah ada rapat di rumah Megawati. Saya
 nggak bisa dan tidak mau menyalahkan anak buah. Saya katakan kepada
 mereka, you di pengadilan mau ngomong apa aja deh, saya akan ikuti.
 Saya diadili juga siap. Saya bilang, Haryanto Taslam saya perintahkan
 nggak untuk ditangkap? Tidak ada. Tapi saya ambil alih tanggung
 jawab. Di DKP pun saya katakan bahwa anak-anak itu tidak bersalah.
 Mereka adalah perwira-perwira yang terbaik. Saya tahu persis karena
 saya komandan mereka. Cek saja rekamannya di DKP. Tapi bahwa mungkin
 mereka salah menafsirkan, terlalu antusias, sehingga menjabarkan
 perintah saya begitu, ya bisa saja. Atau ada titipan perintah dari
 yang lain, saya tidak tahu. Intinya, saya mengaku bertanggung jawab.
 
 Apa memang ada pihak yang ikut nimbrung saat itu memberikan perintah?
 
 Bisa saja. Saya tidak tahu. Tapi tetap apa yang sudah terjadi adalah
 tanggung jawab saya. Tetap itu anak buah saya. Saya kan mesti
 percaya sama anak buah. Makanya saya nggak apa-apa diberhentikan.
 Saya nggak heran. Ini risiko saya. Iya kan?
 
 Tapi kalau kemudian saya sudah berhenti, masih diisukan ini, itu,
 dibuat begini, begitu. Ah..., saya merasa dikecewakan oleh Pak
 Wiranto. Saya merasa harusnya dia tahu situasinya saat itu
 bagaimana. Dia tahu kok ada perintah penyelidikan itu. Begitu dia
 jadi pangab, saya juga laporkan, sedang ada operasi intelijen, sandi
 yudha, begini, begitu. Kepada beberapa menteri Pak Harto ngomong bahwa
 itu operasi intelijen. Tapi begitu Pak Harto tidak berkuasa,
 situasinya dimanfaatkan oleh perwira yang ingin menyingkirkan saya.
 
 Apa betul AS berkepentingan agar Anda dipecat?
 
 Tidak tahu. Tapi Cohen (Menhan AS William Cohen, Red.) kan ketemu
 saya juga.
 
 Perintahnya menyelidiki kok bisa kepeleset menculik. Bagaimana itu?
 
 Ya. Tapi dalam operasi intelijen itu kan biasanya kita ambil,
 ditanyai, dan kalau bisa terus dia berkerja untuk kita. Kan begitu
 prosedurnya. Sudahlah, itu kesalahan teknis, yang kemudian
 dipolitisasi. Dan memang waktu itu saya harus dihabisi. Dulu Jenderal
 Soemitro dituduh terlibat Malari, mau menyaingi Pak Harto. Pak H.R.
 Dharsono dituduh terlibat kasus Tanjung Priok. Itu politik. Yang
 kemudian naik orang yang nggak bisa apa-apa, nggak pernah bikin
 inisiatif dan karenanya tidak pernah bikin salah. Lihat Prancis, itu
 kan negara yang menjunjung tinggi hak sasai manusia. Tapi, dia
 ledakkan kapal Greenpeace yang mau masuk ke perairan nasionalnya.
 Kalau sudah kepentingan nasional dia ledakkan itu.
Anda kan lama di luar negeri, besar di negara yang liberal, dan
 menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kok Anda tetap mentolerir gaya
 penangkapan atau penculikan itu? Bukankah itu menjadi sorotan dunia
 internasional terhadap penegakan HAM di Indonesia?
 
 Benar. Begini, secara moral, saya tidak salah karena orang-orang itu
 berniat berbuat kejahatan yang bertentangan dengan hak-hak asasi
 manusia. Menurut saya membuat aksi pengeboman, membakar terminal,
 untuk mengorbankan orang-orang tidak berdosa. Mereka justru
 membahayakan hak asasi manusia orang lain. Tidak bisa dong. Kalau
 you berbeda dalam politik, you bertempur lewat partai politik. Jangan
 bikin aksi teror.
 
 Informasi soal rencana pengeboman itu didapat dari interogasi, bukan
 kita ngarang. Dapat keterangan dari mereka. Anda dengar ancaman bom
 tiap minggu. Seluruh bank tutup, BI tutup. Korban kepada bangsa
 bagaimana. Itu aksi destabilisasi. Jadi, jangan salah, untuk
 menegakkan demokrasi, kita justru harus menjaga keamanan. Tidak bisa
 demokrasi tanpa keamanan. Itu duty kita, panggilan kita. Tapi,
 lawan-lawan saya lebih kuat. Punya media massa, punya kemampuan untuk
 perang psikologi massa.
 
 Kok Anda dulu tidak segera membantah kalau memang merasa tidak
 bersalah?
 
 Hashim memang menyuruh saya. Kamu harus jawab dong. Saya malas juga.
 Saya kan tidak berbuat. Saya percaya kebenaran akan muncul. Hashim
 bilang, "Tidak bisa dong kalau kamu diam berarti kamu mengakui itu
 benar." Memang ada teori itu. Teori pengulangan kebohongan. Kalau
 diulang-ulang terus, orang jadi percaya. Itu teori yang digunakan
 Hitler kepada rakyat Jerman.
 
 Anda tidak mau nuntut soal pemecatan itu karena tidak ingin
 mempermalukan Pak Harto?
 
 Benar, terutama itu. Juga tak ingin mencemari institusi ABRI,
 khususnya TNI AD. Bagaimanapun juga Pak Harto jenderal bintang lima.
 Ini kan tidak baik dalam iklim dan budaya bangsa Indonesia. Apa pun
 yang terjadi. Ada masalah dilematis, bagaimanapun dia kakek dari anak
 saya. Itu yang dilematis. Walaupun dia kemudian membenci saya. 
Dalam pemeriksaan di TGPF, ada kesan kegiatan Anda pada 13 Mei 1998 tidak diketahui. Muncul kecurigaan, Anda sedang apa saat itu? Apa sih yang Anda lakukan hari itu?
 
 Saya mulai dari 12 Mei 1998. Malam itu, pukul 20.00 wib, ketika di
 rumah Jl. Cendana No. 7, saya ditelepon Sjafrie (pangdam Jaya saat
 itu, Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin). Kata dia, "Gawat nih Wo, ada
 mahasiswa yang tewas tertembak." Saya lalu bergegas ke Makostrad. Saya
 sudah antisipasi, besok pasti ramai. Maka pasukan saya konsolidasi.
 Kalau perlu tambahan pasukan kan mesti disiapkan tempatnya. Mau
 ditaruh di mana mereka. Malam itu saya terus memantau situasi. Lalu,
 terpikir oleh saya, kelanjutan rencana acara Kostrad di Malang pada 14
 Mei 1998. Rencananya inspektur upacara adalah Pangab Wiranto.
 Pangkostrad juga harus hadir. Kalau ibu kota genting, apa kita masih
 pergi juga?
 
 Keesokan harinya, sejak pukul 08.00 wib, saya mengontak Kol. Nur Muis
 dan menyampaikan usulan agar acara di Malang ditunda. Atau, kehadiran
 pangab dibatalkan saja karena situasi ibu kota genting. Biar saya
 saja yang berangkat. Jawaban dari Pak Wiranto yang disampaikan lewat
 Kol. Nur Muis, acara tetap berlangsung sesuai rencana. Irup tetap Pak
 Wiranto dan saya selaku pangkostrad tetap hadir. Beberapa opsi usulan
 saya tawarkan kepada Pak Wiranto, yang intinya agar tidak meninggalkan
 ibu kota, karena keadaan sedang gawat. Posisi terpenting yang harus
 diamankan adalah ibu kota. Tapi, sampai sekitar delapan kali saya
 telepon, keputusan tetap sama. Itu terjadi sampai malam hari.
 
 Jadi, pada 14 Mei, pukul 06.00 wib kita sudah berada di lapangan Halim
 Perdanakusumah. Saya kaget juga. Panglima utama ada di sana. Danjen
 Kopassus segala ikut. Saya membatin, sedang genting begini kok seluruh
 panglima, termasuk panglima ABRI malah pergi ke Malang. Padahal,
 komandan batalion sekalipun sudah diminta membuat perkiraan cepat,
 perkiraan operasi, begini, lantas bagaimana setelahnya. Tapi, ya
 sudah, saya patuh saja pada perintah. Saya ikut ke Malang.
 
 Kembali ke Jakarta sekitar pukul 11.00 wib. Ketika hendak mendarat di
 Halim, ibu kota terlihat diselimuti asap hitam. Selanjutnya, seperti
 telah ditulis di berbagai media massa, saya membantu mengingatkan
 Sjafrie perlunya mengamankan ibu kota lewat patroli dengan panser di
 sepanjang Jl. Thamrin. Malam harinya, saya bertemu dengan sejumlah
 orang di Makostrad. Itu yang kemudian dituduh mau merencanakan
 kerusuhan. Padahal, di tengah jalan sore itu saya ditelepon, karena
 Setiawan Djodi dan Bang Buyung Nasution ingin bertemu. Ternyata sudah
 ada beberapa orang di kantor saya, ada Fahmi Idris, Bambang
 Widjojanto, dan beberapa orang lain. Itu pertemuan terbuka,
 membicarakan situasi yang terakhir. Bang Buyung dominan sekali malam
 itu. Dia banyak bicara. Acara ditutup makan malam dan kemudian kami
 ada rapat staf di Mabes.
 
 Kalau kemudian surat Muladi mengatakan saya bersalah karena gagal
 menjaga keselamatan negara sehingga menimbulkan kerusuhan 13-14 Mei,
 bagaimana ceritanya. Pangkoops, selaku penanggung jawab keamanan ibu kota adalah Pangdam Sjafrie? Mestinya iya. Penanggung jawab yang lebih tinggi ya panglima ABRI.
 
 Dalam pemeriksaan di TGPF, mantan Ka BIA Zacky Makarim, konon
 mengatakan bahwa sebulan sebelum peristiwa Trisakti, ada perkiraan
 situasi intelijen versi Anda, yang mengatakan, eskalasi meningkat dan
 dikhawatirkan akan ada martir di kalangan mahasiswa. Bagaimana Anda sampai pada kesimpulan itu?
 
 Situasinya memang demikian. Aksi mahasiswa kan bukan cuma di Jakarta,
 melainkan meluas ke daerah. Di Yogyakarta, aksi mahasiswa malah sempat
 bentrok. Berdasarkan analisis situasi, saya mengingatkan kemungkinan
 adanya eskalasi yang memanas dan kalau aksi mahasiswa meluas, bukan
 tidak mungkin jatuh korban atau ada pihak-pihak yang ingin ada korban
 di pihak mahasiswa. Itu saya ingatkan.
 
 Tapi, justru Anda dituduh bertanggung jawab atas penembakan mahasiswa Trisakti?
 
 Iyalah. Saya ini selalu dituduh. Apa untungnya bagi saya membuat
 jatuh korban? Saat itu kan presidennya Pak Harto. Mertua saya. Saya
 bagian dari status quo itu. Kan begitu tuduhannya. Masak saya
 membuat situasi agar Pak Harto jatuh. Pak Harto jatuh kan saya jatuh
 juga. Sejarah kan begitu kejadiannya.
 
 Mungkin Anda ingin menunjukkan bahwa Wiranto tidak kapabel mengamankan Jakarta?
 
 Tidak ada alasan juga. Motifnya tidak ada.
 
 Bukankah Anda pernah disebut-sebut minta jabatan pangab dan katanya dijanjikan Habibie untuk jadi pangab?
 
 Lebih dari tiga kali Habibie mengatakan kepada saya. "Bowo, kalau
 saya jadi presiden, you pangab." Itu faktanya. Habibie bahkan
 mengatakan saya ini sudah dianggap anak ketiganya. Saya memang dekat
 dengan Habibie, karena saya mengagumi kepandaiannya, visinya.
 Meskipun sekarang saya kecewa karena dia menuduh saya berbuat sesuatu
 yang bohong. Saya merasa dikhianati. Bahwa saya ingin jadi pangab,
 apakah itu salah. Setiap prajurit, tentara, tentu bercita-cita
 menjadi pangab. Why not? Saya tidak pernah menyembunyikan itu. Bahwa
 kemudian dipolitisasi, seolah-olah pada saat genting, saat pergantian
 kepemimpinan 21 Mei 1998 itu, saya minta jadi pangab, silakan saja.
 Tapi, saya tak pernah minta jadi pangab kepada Habibie.
Benar tidak Anda pernah didesak jadi pangab sekitar 19-20 Mei itu?
 
 Ada yang mendesak. Bahkan ada yang mengusulkan agar saya mengambil
 alih situasi. Saya tolak. Saya orang yang konstitusional. Wapres
 masih ada dan sehat. Menhankam/Pangab masih ada. Tidak ada alasan
 untuk mengambil alih. Kalau saya melakukan kudeta, setelah itu mau
 apa? Inkonstitusional, tidak demokratis, dan lebih berat lagi, secara
 psikologis saya ini kan terkait dengan keluarga Pak Harto. Kalau Pak
 Harto sudah menyerahkan ke Habibie, masak saya mau kudeta? Di luar itu
 semua, yang terpenting, saya berasal dari keturunan keluarga pejuang.
 Anda tahu paman saya gugur sebagai pahlawan muda. Kakek saya pejuang.
 Moyang saya, selalu berjuang melawan penjajah kolonial Belanda.
 Bagaimana mungkin saya menodai garis keturunan yang begitu saya
 banggakan, dengan berpikir mengambil alih kekuasaan secara
 inkonstitusional.
 
 Ketika Habibie mengatakan Anda datang menemui Habibie pada 22 Mei
 1998, benarkah Anda membawa senjata dan pasukan sehingga Habibie
 merasa terancam?
 
 Senjata saya tanggalkan di depan pintu. Jangankan menghadap presiden,
 wong menghadap komandan kompi saja senjata harus dicopot. Bohong
 besar berita yang mengatakan saya hendak mengancam Habibie.
 
 Jujur saja, kalau memang saya ingin, bisa saja. Jangan meremehkan
 pasukan Kopassus, tempat saya dibesarkan. Ingat, Pak Sarwo Edhi
 (almarhum) hanya butuh dua kompi untuk mengatasi situasi saat
 G-30-S/PKI. Dan anak buah saya memang ada yang sakit hati saya
 diberhentikan seperti itu. Pataka komando hendak diambil begitu saja
 tanpa sepengetahuan saya. Saya datang ke Habibie karena sebelumnya
 dia selalu berkata. "Bowo, kalau ada keragu-raguan, jangan
 segan-segan menemui saya." Itulah yang saya lakukan. Menemui Habibie
 untuk bertanya apakah betul dia ingin mengganti saya dari jabatan
 pangkostrad. Habibie bilang turuti saja perintah atasan. Ini kemauan
 ayah mertua kamu juga. Jadi, Pak Harto memang minta saya diganti.
 
 Soal anggapan bahwa para jenderal ingin menyingkirkan Anda, apakah ini disebabkan oleh sikap Anda sebelumnya yang disebut arogan, karena dekat dengan pusat kekuasaan?
 
 Saya akui, itu ciri khas. Dan itu jadi senjata buat yang ingin
 menjatuhkan. Tapi kita lihat kepemimpinan itu dari output. Bisa
 tidak meraih prestasi kalau prajuritnya tak semangat. Semangat itu
 tidak bisa dibeli dengan uang. Kadang-kadang mereka mau mati karena
 bendera. Kain itu harganya berapa? Tentara Romawi mati-matian demi
 bendera. Itu kan kebanggaan. Bagaimana? Saya ciptakan teriakan,
 berapa harganya? Saya dapatkan dari gaya suku dayak. Teriakan panjang
 itu bisa membangkitkan semangat, mengurangi ketakutan, dan menakutkan
 musuh. Pakai duit berapa? Tapi hal-hal ini tidak populer di mata the
 salon officer. Apa nih Prabowo pakai nyanyi-nyanyi segala. Pakai
 bendera, pakai teriakan. Kenapa orang fanatik membela sepakbola,
 sampai membakar, ini psikologi massa. Masa kita mau mati karena uang?
 Buat apa uangnya kalau kita harus mati.
 
 Sebagai menantu presiden saat itu, tentu Anda lebih mudah naik pangkat dibanding yang lain. Ini bikin cemburu juga kan?
 
 Ya, tapi akses kepada penguasa politik. Itu wajar. Jenderal Colin
 Powell, peringkat ke berapa dia bisa jadi pangab AS. Dia bekas
 sekretaris militer Bush waktu jadi wakil presiden. Jadi, waktu Bush
 jadi presiden, dia jadi pangab. Bahwa saya punya akses kepada penguasa
 politik, saya sependapat. Tapi kan bukan hanya saya. Pak Wiranto kan
 dari ajudan presiden. Langsung kasdam, langsung pangdam, langsung
 pangkostrad. Itu kan tuduhan saja kepada saya. Coba dilihat berapa
 kali saya VC (kontak senjata langsung di medan operasi), berapa kali
 bertugas di daerah operasi, berapa kali tim saya di Kopassus merebut
 kejuaraan, berapa kali operasi militer saya selesaikan, apa yang saya
 buat di Mount Everest itu kan mengangkat bangsa. Berapa saya melatih
 prajurit komando dari beberapa negara. Itu kan tidak dilihat. Yang
 dicari cuma daftar dosa saya. Ya memang kalau you dalam keadaan kalah
 politik, segala dosa bisa ditemukan. Dia keluar negeri nggak izin, dia
 ini, dia itu. Semua bisa ketemu. Kalau menang? Itu kan politik. (jj/habis)
 +Pasang iklan
+Pasang iklan
								FREE ONGKIR. Belanja Gamis syari dan jilbab terbaru via online tanpa khawatir ongkos kirim. Siap kirim seluruh Indonesia. Model kekinian, warna beragam. Adem dan nyaman dipakai.
									  http://beautysyari.id
Di sini tempatnya-kiosherbalku.com. Melayani grosir & eceran herbal dari berbagai produsen dengan >1.500 jenis produk yang kami distribusikan dengan diskon sd 60% Hub: 0857-1024-0471
									  http://www.kiosherbalku.com
Mau penghasilan tambahan? Yuk jadi reseller tas TBMR. Tanpa modal, bisa dikerjakan siapa saja dari rumah atau di waktu senggang. Daftar sekarang dan dapatkan diskon khusus reseller
									  http://www.tasbrandedmurahriri.com
Suplier dan Distributor Aneka Obat Herbal & Pengobatan Islami. Melayani Eceran & Grosir Minimal 350,000 dengan diskon s.d 60%.
Pembelian bisa campur produk >1.300 jenis produk.
									  http://www.anekaobatherbal.com
 
							
							
							
							
							
								
							
 
							 
							