Rabu, 13 Jumadil Akhir 1446 H / 16 Maret 2022 08:22 wib
3.021 views
HNW: Penceramah Radikal yang Minta Hapus 300 Ayat Al Quran Agar Dihukum
JAKARTA (voa-islam.com)--Anggota DPR yang juga Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid, menyesalkan berlanjutnya narasi intoleran dan tidak menjaga harmoni, sebagaimana dilakukan secara terbuka oleh seorang penceramah agama yaitu Saifuddin Ibrahim, yang keluar dari agama Islam dan belakangan disebut-sebut berprofesi sebagai pendeta.
Menurut Hidayat, Ketika BNPT meningkatkan kesadaran Publik soal bahaya radikalisme dengan melaunching kriteria-kriteria radikalisme dan Kemenag yang jadikan tahun 2022 sebagai tahun moderasi, maka sewajarnya bila dilakukan tindakan hukum yang tegas dan keras terhadap penceramah agama itu.
“Karena jelas sekali ceramahnya radikal dan tidak moderat, menyebarkan permusuhan dan hate speech, intoleran dan membelah harmoni antara umat beragama, bahkan terhadap Umat Islam yang merupakan mayoritas mutlak warga Indonesia,” jelas pria yang akrab disapa HNW.
Hal ini, kata HNW, berkaitan dengan pernyataan Saifuddin yang melakukan penistaan agama Islam dengan terbuka meminta agar 300 ayat Al Quran dihapus atau direvisi, karena dia pahami sebagai mengajarkan kekerasan dan terorisme, dan bahwa Pesantren adalah sumber terorisme.
“Tindakan Saifuddin tersebut jelas-jelas tidak mencerminkan semangat moderasi dan harmoni serta toleransi di kalangan umat beragama di Indonesia, dan akan potensial menimbulkan kegaduhan dan kemarahan umat Islam. Oleh karenanya, sangat sepantasnya bila penegak hukum segera bertindak cepat menangani radikalisme dan delik penistaan agama Islam yang dilakukan oleh penceramah ini,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (15/03).
HNW mengatakan bahwa pernyataan Saifuddin yang menyatakan bahwa 300 ayat Al-Qur’an mengajarkan kekerasan atau terorisme, dan juga fitnahnya terhadap Pesantren sebagai sumber terorisme, jelas-jelas tidak benar, fitnah, tendensius dan meresahkan umat Islam. HNW menuturkan bahwa ajaran-ajaran Islam memang ada yang bersifat lembut dan juga tegas, terutama terhadap kebatilan.
“Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, ayat-ayat Al Quran yang tegas tersebut dijadikan sebagai dasar bagi ulama dan umat untuk bergerak melawan penjajah Belanda. Itulah yang dilakukan Pesantren-Pesantren dengan para Kiyai, Ulama dan Penceramahnya. Dengan ayat-ayat Al Quran mereka membela Bangsa dan Negara melawan para penjajah maupun kelompok komunis yang dua kali melakukan kudeta. Karena selain kasih sayang, rahmatan lil alamin, Al-Quran juga ajarkan sikap tegas melawan kedzaliman seperti penjajahan, kejahatan, pelanggaran hukum dan otoritarianisme,” jelas Anggota DPR RI Komisi VIII yang salah satunya membidangi urusan keagamaan ini.
Lebih lanjut, HNW mengatakan hukuman yang tegas perlu diberikan kepada Saifuddin yang ternyata juga merupakan residivis penista agama. Sebelumnya, Saifuddin pada 2018 lalu telah divonis 4 tahun penjara karena kasus penistaan Agama Islam.
“Lalu, setelah keluar penjara, Saifuddin tidak bertaubat, tetapi malah mengulangi lagi kejahatan yang dilakukan malah secara lebih parah. Jadi, sangat layak dalam rangka keadilan hukum dan pemberantasan radikalisme apabila aparat penegak hukum menjatuhkan hukuman yang lebih berat, kepada pihak yang mengulangi kejahatannya, seperti dilakukan oleh Saifuddin itu,” tukasnya.
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga meminta agar masyarakat, terutama umat Islam di Indonesia, untuk tidak terprovokasi menghadapi hal tersebut, tetapi pihak penegak hukum yang dipercaya menyelesaikan masalah ini juga agar betul-betul menegakkan hukum yang tegas dan keras, agar masalah ini tidak menjadi trend yang bisa menumbuh suburkan radikalisme dan merusak harmoni antara umat beragama.
Meskipun demikian, HNW juga mengingatkan Kemenag dan BNPT untuk berkolaborasi mengatasi masalah penceramah agama ini. Karena Saifuddin sesudah meninggalkan Agama Islam, mengaku jadi pendeta dan melakukan ceramah Agama yang bermasalah seperti diatas.
“Maka apabila Kemenag membuat program ‘sertifikasi’ Ulama dan penceramah Agama, hendaknya juga secara adil diberlakukan untuk seluruh Agama yang diakui di Indonesia. Demikian juga ketika Menag mencanangkan tahun 2022 sebagai tahun moderasi beragama, maka yang dilakukan oleh Penceramah Saifuddin itu jelas tidak masuk kategori moderasi, justru bisa masuk kategori radikalisme dan intoleran. Maka juga kepada BNPT, agar kriteria penceramah radikal yang disebutkan oleh BNPT, penting untuk segera direvisi. Karena 5 kriteria yang membikin gaduh dan ditolak oleh MUI dan Muhammadiyah serta ormas lainnya, dinilai tidak adil dan hanya menyasar penceramah muslim. Padahal banyak kasus, termasuk yang terakhir kasus Saifuddin ini menjadi contoh nyata bahwa penceramah dari agama apapun juga bisa berlaku radikal, menyebarkan permusuhan, intoleran, dan membuat disharmoni. Bila memang benar-benar ingin mengamalkan Pancasila dan membasmi radikalisme dan terorisme, maka hal terakhir ini harusnya menjadi perhatian serius oleh BNPT juga,” pungkas HNW mengakhiri.*[Ril/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!