Home | Redaksi | Advertisement | Kirim Naskah
Facebook RSS

Pemuda Muhammadiyah Minta Polri Hentikan Narasi Monolog Terorisme

1 views

JAKARTA (voa-islam.com)—Baru-baru ini Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengatakan, Polri akan menangkap orang yang terlibat aksi teror termasuk bagi mereka yang bersimpati kepada terorisme.

“Sehingga saya perintahkan agar untuk kasus bom Surabaya, siapapun yang terlibat, tangkap! Ideolog, inspirator, pelaku, pendukungnya, yang menyiapkan anggaran, menyembunyikan, menyiapkan bahan peledak, atau simpatisan yang terkait, menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, maka ini yang bersimpati pun kepada mereka saat melakukan aksi itu, bagian dari kelompok mereka itu bisa kami pidana,” ujar Tito di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Senin (16/07/2018) kutip Detik.com.

Pernyataan Kapolri ini ditanggapi Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak. Dahnil mengungkapkan ketidaksetujuannya.

“Bela teroris itu bagaimana maksudnya? Membela hak-hak hukum teroris itu adalah kewajiban. Jangankan teroris, siapa pun manusianya, membela hak-hak hukum mereka itu wajib. Jadi menurut saya, jika ada statemen yang membela teroris adalah disebut teroris, menurut saya itu tidak benar,” ungkap Dahnil ketika ditemui Voa Islam di Kantor PP Muhammadiyah Menteng, Jakarta PusatSelasa (17/7/2018).

Dahnil kemudian mencontohkan pengacara terdakwa koruptor. “Misalnya contoh, masak orang atau pengacara yang bela koruptor itu kemudian disebut koruptor? Kan tidak juga. Kan dalam politik adalah membela hak-hak mereka, bukan membela tindakan mereka. Supaya apa? Supaya negara bertindak adil,” kata Dahnil.

Menurut Dahnil, saat ini Polri telah menciptakan narasi monolog terkait terorisme. Monolog ini dinilainya sangat berbahaya.

“Berhenti mengkreasi stigma terhadap mereka yang berusaha mencari keadilan sebagai orang-orang yang pro teroris. Itu berbahaya loh,” ujar Dahnil.

Kemudian, narasi monolog ini juga berpotensi terjadi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan). Dahnil menyebut banyak kasus penyalahgunaan kekuasaan pada penanganan tindakan terorisme.

“Gak usah jauh-jauh, Pak Tito jangan lupa ada kasus Siyono yang sampai hari ini tidak diselesaikan. Dan kami dari Pemuda Muhammadiyah membuktikan bahwa Siyono meninggal bukan karena melakukan perlawanan, tetapi ada tindakan kekerasan oleh aparatur kepolisian. Jangan lupa loh itu hasil autopsi tim dokter forensik Muhammadiyah dan Polda Jateng,” papar Dahnil.

Belum lagi fakta kasus salah tangkap dan salah tembak. Untuk itu Dahnil meminta agar Polri tidak antikritik. “Masa polisi anti koreksi? Jadi saran saya, Pak Tito enggak boleh anti kritik. Dan itu semua karena kita sayang dengan polisi. Karena ada fakta yang manipulatif terkait dengan penanganan terorisme, politik, dan pilkada. Jadi saran saya jangan anti kritik,” pungkas Dahnil.* [Syaf/voa-islam.com]