Ahad, 5 Jumadil Awwal 1447 H / 27 Maret 2011 15:35 wib
  18.032 views
								
							
								
								Jangan Salah Cara dalam Mencintai Nabi Kita!
								Oleh: Badrul Tamam
Mencintai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam termasuk ushul iman (pokok keimanan) yang bergandengan dengan cinta kepada Allah 'Azza wa Jalla.  Allah telah menyebutkannya dalam satu ayat dengan menyertakan ancaman  bagi orang yang lebih mendahulukan kecintaan kepada kerabat, harta,  negara serta lainnya daripada cinta kepada keduanya.
قُلْ  إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ  وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ  كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ  وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ  اللّهُ بِأَمْرِهِ 
"Katakanlah:  "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum  keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu  khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai,  adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari)  berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan  keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang  fasik"." (QS. Al Taubah: 24)
Keimanan seorang muslim tidak akan sempurna kecuali dengan mencintai utusan Allah kepada mereka, yaitu Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.  Bahkan, tidak sah imannya kecuali dengan lebih menghormati kedudukan  beliau daripada ayahnya, anaknya, dan orang telah berbuat baik dan  membantunya. Siapa yang tidak memiliki aqidah seperti ini, maka bukan  seorang mukmin. 
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak  sempurna iman salah seorang di antara kalian, sampai aku lebih ia  cintai daripada anaknya, orangtuanya, dan manusia seluruhnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut Ibnu Baththal, makna hadits ini adalah orang yang sempurna imannya pasti tahu bahwa hak Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lebih utama baginya daripada hak bapaknya, anaknya, dan seluruh manusia. Karena melalui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kita terselamatkan dari neraka dan diselamatkan dari kesesatan."
Bahkan,  tidak sah imannya kecuali dengan lebih menghormati kedudukan beliau  daripada ayahnya, anaknya, dan orang telah berbuat baik dan membantunya. 
Siapa yang tidak memiliki aqidah seperti ini, maka bukan seorang mukmin. 
Ketika Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menggambarkan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan  menempatkan posisi cintanya kepada beliau di bawah kecintaannya terhadap dirinya sendiri, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menafikan kesempurnaan imannya hingga dia menjadikan cintanya kepada beliau di atas segala-galanya.
Maka wajib mendahulukan dan mengutamakan kecintaan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam atas kecintaan kepada diri sendiri, anak, kerabat, keluarga, harta, dan  tempat tinggal serta segala sesuatu yang sangat dicintai manusia.
Memang setiap orang berhak untuk mengklaim dirinya sebagai pencinta Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,  namun klaim tersebut tidak akan bermanfaat jika tidak dibuktikan dengan  ittiba’ (mengikuti sunnahnya), taat dan berpegang teguh pada  petunjuknya. 
Al Qadli 'Iyadl rahimahullah, berkata: "di antara bentuk cinta kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah dengan menolong sunnahnya, membela syariahnya, berangan-angan hidup bersamanya, . . . "
Ibnu Rajab, dalam Fathul Bari Syarh Shahih al Bukhari, menyebutkan bahwa kecintaan bisa sempurna dengan ketaatan, sebagai firman Allah Ta'ala:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ 
"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku." (QS. Ali Imran: 31)
Karenanya klaim cinta kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak dapat diterima dengan sekadar memeringati hari kelahiran beliau.  Namun, perilaku banyak menyimpang dan tidak sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Sejarah Peringatan Maulid Nabi
Dalam  sejarah pun, motivasi orang-orang yang mula-mula melakukan peringatan  maulid Nabi, yaitu pengikut mazhab Bathiniyyah tidak didasari rasa cinta  kepada beliau, tapi untuk tujuan politis.
Pelopor pertama peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah Bani Ubaid al-Qaddaah atau yang lebih dikenal dengan  al-Fathimiyyun atau Bani Fathimiyyah pada pertengahan abad ke empat  Hijriyah, setelah berhasil memindahkan dinasti Fathimiyah dari Maroko ke  Mesir pada tahun 362 H.
.  .  motivasi orang-orang yang mula-mula melakukan peringatan maulid  Nabi, mazhab Bathiniyyah, tidak didasari rasa cinta kepada beliau, tapi  untuk tujuan politis.
Perayaan  maulid diadakan untuk menarik simpati masyarakat yang mayoritasnya  berada dalam kondisi ekonomi yang sangat terpuruk untuk mendukung  kekuasaannya dan masuk ke dalam mazhab bathiniyahnya yang sangat  menyimpang dari akidah, bahkan bertentangan dengan Islam.
Pakar sejarah yang bernama Al Maqrizy menjelaskan bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun.
Beliau  menyebutkan kurang lebih 25 perayaan yang rutin dilakukan setiap tahun  dalam masa kekuasaannya, termasuk di antaranya adalah peringatan maulid  Nabi. Tidak hanya perayaan-perayaan Islam tapi lebih parah lagi, mereka  juga mengadakan peringatan hari raya orang-orang Majusi dan Nashrani  yaitu hari Nauruz (tahun baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad  (Natal), dan hari Khamisul ‘Adas (perayaan tiga hari sebelum Paskah).
Fakta sejarah peringatan maulid yang tidak ditemukan pada masa Nabi  shallallahu 'alaihi wasallam dan masa tiga generasi pertama Islam yang disebut sebagai  generasi terbaik umat ini, menyebabkan banyak di antara ulama yang  mengingkarinya dan memasukkannya ke dalam bid'ah haram.
Tak  dipungkiri, di antara ulama ada yang menganggapnya sebagai bid'ah  hasanah (inovasi yang baik), selama tidak dibarengi dengan kemungkaran.  Pendapat ini diwakili antara lain oleh Ibnu Hajar al Atsqalani dan  as-Suyuti. Keduanya mengatakan bahwa status hukum maulid Nabi adalah  bid’ah mahmudah (bid’ah terpuji). Tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tetapi keberadaannya membawa maslahat walaupun juga tidak lepas dari berbagai mudharat.
Keabsahan  peringatan maulid Nabi bagi mereka disandarkan pada dalil umum yang  tidak berhubungan langsung dengan titik permasalahan, sedangkan para  ulama yang menentangnya membangun argumentasinya melalui pendekatan  normatif tekstual yang tidak ditemukan baik secara tersurat maupun  secara tersirat dalam Al Quran dan al Sunnah, dan diperkuat dengan  kaedah umum dalam ibadah yang menuntut adanya dalil spesifik yang  menunjang disyariatkannya suatu ibadah.
Hujjah Pendukung Peringatan Maulid
Para pendukung maulid berusaha mencari dalil untuk melegitimasi bolehnya peringatan maulid tersebut, antara lain:
Pertama: Sikap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Puasa tersebut adalah ungkapan syukur kepada Allah 'Azza wa Jalla atas keselamatan Nabi Musa dari kejaran Fir’aun. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun menyerukan untuk berpuasa pada hari tersebut.
Peringatan maulid Nabi, menurut Ibn Hajar dan as-Suyuti merupakan ungkapan syukur atas diutusnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam ke muka bumi.
Hujjah  ini ditolak oleh ulama lainnya. Mereka menganggapnya sebagai alasan yang  dipaksakan, mengingat dasar suatu ibadah adalah adanya dalil yang  memerintahkannya dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bukan pada logika, analogi dan istihsan.
Puasa 'Asyura termasuk sunnah yang telah dipraktikkan dan diserukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, sedangkan peringatan maulid tidak pernah dilakukan apalagi diserukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.  Sebaliknya, beliau telah mewanti-wanti ummatnya dari membuat-buat  bid'ah, seperti dalam sabdanya, "Jauhilah amalan yang tidak aku  contohkan (bid`ah), karena setiap bid`ah sesat." (HR. Abu Dawud dan  at-Tirmidzi).
Benar bahwa kita dituntut untuk senantiasa mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan nikmat terbesar yang tercurah pada umat ini adalah diutusnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagai seorang rasul, bukan saat dilahirkannya. Karenanya, Al Qur'an menyebut pengutusan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagai nikmat, 
لَقَدْ  مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ  أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ  الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ  مُبِينٍ
"Sungguh  Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang beriman ketika Allah  mengutus kepada mereka seorang Rasul di tengah-tengah mereka dari  kalangan mereka sendiri." (QS. Ali Imran: 164).
Ayat ini  sama sekali tidak menyinggung kelahiran beliau dan menyebutnya sebagai  nikmat. Seandainya peringatan tersebut dibolehkan, seharusnya yang  diperingati adalah hari ketika beliau dibangkitkan menjadi nabi, bukan  hari kelahirannya. Lagi pula, status Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang mensyariatkan puasa Asyura' berbeda dengan status umatnya. Beliau adalah musyarri' (pembuat syariat), adapun umatnya hanya muttabi' (pengikut), sehingga tak dapat disamakan dan dianalogikan dengan beliau.
Dan  sekiranya peringatan maulid merupakan bentuk syukur kepada Allah, tentu  tiga generasi terbaik, serta para imam mazhab yang empat tidak  ketinggalan untuk melakukan peringatan tersebut, sebab mereka adalah  orang-orang yang pandai bersyukur, sangat cinta pada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan sangat antusias mengerjakan berbagai kebaikan.
.  . sekiranya peringatan maulid merupakan bentuk syukur kepada Allah,  tentu tiga generasi terbaik, serta para imam mazhab yang empat tidak  ketinggalan untuk melakukan peringatan tersebut, . . 
Hal yang juga mengundang tanya, mengapa ungkapan rasa syukur, penghormatan dan pengagungan pada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam hanya sekali dalam setahun, 12 Rabi’ul Awwal saja? Bukankah bersyukur kepada Allah, mengagungkan dan mencintai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dituntut setiap saat dengan menaati dan selalu ittiba’ pada sunnahnya?
Kedua: Nabi memeringati hari kelahirannya dengan berpuasa.
Sebagian beralasan dengan puasa seninnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang merupakan hari kelahirannya. Ketika beliau shallallahu 'alaihi wasallam ditanya mengenai puasa Senin, beliau pun menjawab, “Hari tersebut adalah hari kelahiranku, hari aku diangkat sebagai Rasul atau pertama kali aku menerima wahyu.” (HR. Muslim). Ini menunjukkan bolehnya memeringati hari kelahirannya.
Alasan ini juga tidak dapat diterima, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah puasa pada tanggal yang diklaim sebagai kelahirannya, 12  Rabi'ul Awwal. Yang beliau lakukan adalah puasa pada hari Senin.  Seharusnya kalau ingin mengenang hari kelahiran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan dalil di atas, maka perayaan maulid diadakan tiap pekan, bukan sekali setahun. 
Selain itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga tidak berpuasa hanya pada hari Senin setiap pekan, tapi juga hari Kamis. Alasan beliau, "Keseluruhan  amalan diperhadapkan kepada Allah pada hari Senin dan Kamis sehingga  aku senang amalanku diperhadapkan kepada Allah sedang aku dalam keadaan  berpuasa." (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi).
Sehingga  berdalih dengan puasa Senin tanpa hari Kamis termasuk pemaksaan dan  dibuat-buat. Dan kalau alasan tersebut dapat diterima, mestinya  peringatannya dilakukan dalam bentuk puasa, bukan berfoya-foya dan  makan-makan.
Ketiga:  Peringatan maulid Nabi dianggap sebagai bid’ah hasanah (bid’ah yang  baik). Anggapan ini lahir dari klasifikasi sebagian ulama terhadap  bid'ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (jelek) atau  dhalalah (sesat).
Alasan ini dibantah oleh sebagian ulama bahwa peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak dapat diterima sebagai bid'ah hasanah, karena dalam hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak dikenal sama sekali adanya bid’ah hasanah. Bahkan yang dikatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan diyakini oleh sahabat adalah setiap bid’ah sesat. 
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,  
أَمَّا  بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى  هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ  ضَلَالَةٌ
“Amma  ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan  sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi  Wasallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan  setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim).
Ibnu Mas’ud radliyallah 'anhu berkata,  “Ikutilah  (petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam), janganlah membuat bid’ah.  Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (HR. ath-Thabrani dan al Haitsami).
Abdullah bin ‘Umar radliyallah 'anhu menyatakan, “Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Al Ibanah al Kubra libni Baththah, 1/219).
Keempat: Peringatan Maulid merupakan salah satu sarana untuk lebih mengenal sosok Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Tidak ada perselisihan di kalangan ulama tentang pentingnya mengenal sosok Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.  Hanya saja, sebagian di antara mereka tidak menerima suatu bid'ah  dipoles menjadi sarana kebaikan, karena tujuan yang baik tidak dapat  dijadikan alasan untuk menghalalkan segala cara. Lagi pula, mengenal  sosok beliau tidaklah pantas dibatasi oleh bulan atau tanggal tertentu.  Jika ia dibatasi oleh waktu tertentu, apalagi dengan cara tertentu pula,  maka sudah masuk ke dalam lingkup bid’ah. Lebih dari itu, upaya  mengenal sosok beliau lewat peringatan maulid merupakan salah satu  bentuk tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang Nashrani yang merayakan kelahiran Nabi Isa 'alaihis salam melalui natalan. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, 
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ, فَهُوَ مِنْهُمْ 
“Barangsiapa  yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR.  Ahmad dan Abu Dawud serta dishahihkan oleh Ibnu Hibban).
. . upaya mengenal sosok beliau lewat peringatan maulid merupakan salah satu bentuk tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang Nashrani yang merayakan kelahiran Nabi Isa 'alaihis salam melalui natalan.
Mengenal sosok Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan membaca dan mengkaji sirah, biografi dan sunnah beliau  seharusnya dilakukan sepanjang waktu, sebagaimana para sahabat  mengajarkannya kepada anak-anak mereka setiap waktu.
Seharusnya  cinta Nabi dibuktikan dengan meneladani dan mengikuti sunnah-sunnah  beliau, bukan dengan menyelisihi perintah atau melakukan sesuatu yang  tidak ada tuntunannya. 
Wallahu A’laa wa A’lamu bis-shawab
(PurWD/voa-islam)
Referensi: 
1.    Fathul Baari, Ibnu Rajab al Hambali 
 2.    Fathul Bari, Ibnu al Hajar al 'Ashqalani
 3.    Bulughul Maram, Ibnu al Hajar al 'Asqalani
 4.    Syarh Shahih Muslim, Imam an Nawawi, 
 5.    Antara Cinta Rasul dan Maulid Nabi, Ustadz Abu Yahya Salahuddin Guntung, Lc. 
 6.    Tafsir al Qur'an al 'Adzim, Abu al Fida' Ibnu Katsir
Tulisan Terkait:
1. Tidak Maulid Tidak Cinta Nabi, Benarkah?
2. Sejarah Maulid Nabi
3. Jawaban terhadap Hujjah Perayaan Maulid Nabi
4. Merayakan Maulid Nabi ?
5. Hukum Perayaan Maulid Nabi: Sunnah atau Bid'ah?
		
								
								
								Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!