Kamis, 6 Zulhijjah 1446 H / 15 Desember 2011 19:10 wib
3.554 views
Bedah Buku ''Hegemoni Rezim Intelijen'' Bersama Busro Muqoddas
Sabtu,10 Desember 2011, bertempat di Auditorium Muh. Dzaman Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), diadakan bedah buku. Dengan judul ”Hegemoni Rezim Intelijen Sisi Gelap Peradilan Kasus Komando Jihad”. Dengan menghadirkan tiga pembicara, Busro Muqoddas, (mantan ketua KPK 2010-2011) selaku penulis buku Hegemoni Rezim Intelijen, ‘Idul fitri dari akademisi UMS, dan Mahenradata selaku praktisi. Juga dihadiri oleh ketua MUI Solo Dr Zainal Arifin.
Para peserta yang hadir cukup banyak, terdiri dari kalangan ulama, dosen, mahasiswa, guru dan umum. Hal ini sangat menarik perhatian, karena para peserta yang hadir tidak hanya di dalam gedung saja, tapi juga ada yang di luar gedung. Bahkan hadirin yang tidak mendapatkan tempat duduk rela berdiri di bagian belakang.
Dalam penjelasannya, Busro mengangkat tema ini karena sebelumnya pernah menangani kasus- kasus yang menimpa pada kelas akar rumput, pada masa rezim orde baru. Dengan pengalamannya ini, mencoba untuk membuat desertasi dengan mengangkat komando jihad. Dia juga mengatakan selama ini belum ada yang melakukan desertasi dengan tema yang sama.
Lanjut Busro, umat Islam di Indonesia ini dikriminalisasikan oleh sebuah sistim politik otoriter yang anti musyawarah. Semua kekuatan masyarakat dikontrol dan disentralisasikan oleh sistem otoriter. “Puncaknya, Pak Harto dibantu oleh TNI dan POLRI sebagai kekuatan keamanan, Golkar sebagai mesin politik dan konglomerat sebagai mesin ekonomi,” ungkap mantan ketua KPK ini.
Pada waktu rezim orde baru operasi intelijen dilakukan oleh operasi khusus (opsus) yang dipimpin oleh Ali Murtopo. “Operasi khusus ini terindikasi kuat dipimpin oleh Ali Murtopo,” jelas pria kelahiran Jogja ini . Operasi intelijen ini membuat politik rekayasa untuk menciptakan organisasi yang namanya komando jihad. Sasarannya adalah mantan tokoh Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII). yang tujuannya adalah membentuk Negara Islam Indonesia versi komando jihad yang aktornya adalah Ali Murtopo, jelas Busro.
Dalam episode komando jihad ini, yang menjadi korbannya adalah umat Islam yang dikriminalisasi. Dalam lakon komando jihad ini, Ali Murtopo sebagai pimpinan operasi, merupakan sandiwara politik yang sempurna 100 persen. “Pemainnya dalah opsus orde baru, dibakc up oleh keamanan, oleh sistim peradilan, polisi jaksa hakim” terang Busro. Artinya sistim negara yang seharusnya tidak dipengaruhi oleh kekuasaan, fakta pada orde baru, jaksa hakim di pengaruhi oleh kekusaan politik.
Sedangkan Idul fitri menjelaskan, pada orde baru yang diusung adalah pembangunan bangsa. Sehingga sekitar September 1966 ada pertemuan bisnis antara pengusaha Inggris dan Amerika. Indonesia kemudian didekte oleh pengusaha asing untuk menentukan hukum di Indonesia.” Disini ada kepentingan multinasional corporation dan tran nasional corporation, kemudian kepentingan inilah yang harus dilindungi. Dan itulah yang menyebabkan munculnya kasus- kasus yang terjadi pada komando jihad itu,” ungkap idul fitri. Semuanya ditujukan untuk kepentingan ekonomi pasar bebas dan kekuatan-kekuatan Islam harus dihabisi.
Jadi, tindakan-tindakan dengan menghalalkan segala cara itu bertujuan demi kepentingan pertumbuhan ekonomi. Ketika rezim tumbang yang terjadi tetap sama. “Tetapi yang terjadi, pembangunan sudah selesai terutama setelah peristiwa runtuhnya komunisme di Eropa Timur, bergeser menjadi isu demokrasisasi,” terang idul fitri.
Demokrasi liberal adalah satu-satunya pemenang, tetapi selanjutnya adalah perang peradaban. Muculah rekayasa besar-besaran seperti peristiwa 11 September. Rekayasa global ini menjadi dasar untuk melakukan perang terhadap teroris. “Jadi jangan berharap kalau pengadilan akan benar-benar adil,” ujar Idul. Intervensi terhadap hakim itu berorientasi untuk tugas idiologi, tambahnya.
Mahendradata, menilai hampir terjadi upaya memasukkan penangkapan kedalam undang-undang intelijen tanpa surat resmi. Tuduhan yang dipaksakan saat ini lebih canggih lagi dengan adanya teknologi. Kalau dulu tidak didampingi oleh pengacara, sekarang dalam penangkapan sudah didampingi oleh pengacara , yang sudah disiapkan. “ Yang saya temukan, adanya upaya stigmatisasi kepada umat islam, itu adalah cara yang paling efektif,” kata Mahendradata.
Stigmatisasi menciptakan sebuah opini publik agar dia membenci sesuatu atau tunjuk hidung kelompok kegiatan, sehingga masyarakat atau publik membencinya. Dan saat kebencian itu ada, maka kepolisian tidak ada lagi permaafan padanya, dan tdk ada lagi kata protes terhadap semua apa yang dilakukan itu. Contohnya pada zaman orde baru adanya ekstrim kanan (eka) dan eksrim kiri (eki). Apapun yang dicap sebagai eka dan eki, boleh dilakukan penangkapan. “Eka dan eki mau di injek-injek atu dipukuli terserah,” jelas Mahendradata.
Jadi di masa sekarang stigmasi itu adalah teroris. Walupun sudah mulai terbongkar menyatakan stigmasi hanya pada Satu kaum. “ Jelas stigmasi itu hanya pada satu kaum saja,“ imbuh Mahendradata. Kejadian yang terjadi di Papua dan Aceh, itu tidak dikatakan sebagai teroris. Karena kejadian di Aceh dan Papua itu tidak berjenggot dan celananya tidak cingkrang. Hal ini berlanjut dengan program namanya deradikalisasi. anto An-Najah
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!