Rabu, 8 Rabiul Akhir 1446 H / 3 Maret 2010 08:46 wib
32.618 views
Status Wali Nikah Yang Meninggalkan Sholat
Ikhwati fillah rahimakumullah, diantara syarat dalam pernikahan islam adalah adanya wali, dimana pernikahan tanpa wali menjadikannya tidak sah. Namun islam meletakkan beberapa syarat bagi keabsahan seorang wali, diantaranya harus beragama islam. Seorang wanita muslimah yang menikah tidak boleh menjadikan ayahnya sebagai wali dalam nikahnya apabila dia adalah non muslim.
Ibnu Qudamah rahimahullah telah berkata dalam “ Al-Mughni”: ( adapun kafir maka dia tidak berhak menjadi wali bagi seorang muslimah dalam keadaan apapun berdasarkan ijma’ para ulama, diantaranya Imam Malik, Syafie, Abu Ubaid, dan pengikut ra’yu dan Ibnu Mundzir berkata: hal ini telah disepakati oleh seluruh ulama yang kami percayai ) berdasarkan firman Allah Ta’alaa:
لقول الله تعالى :( والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض
Artinya: (dan orang-orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain).
Adapun perwalian orang fasiq terhadap wanita muslimah, para ulama berselisih dalam dua pendapat:
Pertama: bahwa ‘adalah ( keshalehan) merupakan syarat ditetapkannya perwalian: ini salah satu pendapat Imam Syafie dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu:
عن ابن عباس رضي الله عنه : ( لا نكاح إلا بشاهدي عدل وولي مرشد ) البيهقي في السنن
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu: ( tidak ada nikah kecuali dengan dua saksi adil (shaleh) dan wali yang baik agamanya ) HR Imam Baihaqi dalam sunannya.
Kedua: bahwa ‘adalah (keshalehan) bukan merupakan syarat bagi wali sehingga akad nikah sah tanpa keshalehan wali, ini adalah pendapat Imam Malik , Abu Hanifa, dan salah satu pendapat Imam Syafie, dan satu riwayat dari Imam Ahmad, dan pendapat ini dipegang oleh Syaikhul Islam dan muridnya Ibnu Qayyim rahimahumallah, Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni: ( ini merupakan pendapat Malik, Abu Hanifah, dan salah satu pendapat Syafie karena dia sendiri berhak untuk menikah, maka berhak pula untuk menikahkan orang lain seperti ‘adalah, dan karena sebab perwalian adalah hubungan kerabat dan syaratnya melihat(meneliti) dan dia adalah kerabat yang melihat maka berhak menjadi wali seperti syarat ‘adalah).
Nampaknya pendapat kedua yang dipegang oleh jumhur ulama bahwa orang fasiq tidak gugur hak perwaliannya lebih dekat kepada kebenaran karena kasih sayang seorang ayah menyerunya untuk meneliti meskipun dia fasiq, serta lebih memenangkan maslahat untuk anaknya.
PENTING: adapun perwalian orang yang meninggalkan sholat secara keseluruhan, maka hukumnya adalah kafir menurut pendapat para ulama yang shahih, perbedaan dalam masalah tersebut masyhur dirujuk kepada kitab-kitab fiqih.
Oleh karenanya, maka tidak sah menjadi wali dalam pernikahan, karena orang kafir tidak menjadi wali nikah bagi muslimah secara ijma’.
Pendapat ini yang dipilih oleh Syaikh Utsaimin dalam fatwa “ Nur ‘Alaad Darb “ dimana beliau berkata: ( apabila dia tidak sholat maka tidak halal menjadi wali bagi salah satu anak perempuannya, jika dia dia menikahkan putrinya maka nikahnya rusak, karena termasuk syarat wali atas muslimah adalah seorang muslim)
PERHATIAN:
Namun harus diperhatikan:
Pertama: bahwa kekafiran yang meninggalkan sholat merupakan perkara yang diperselisihkan para ulama dan ini yang terpenting.
Kedua: bahwa jumhur ulama menetapkan perwalian orang fasiq, dan ini yang kami kuatkan.
Ketiga: bahwa kemaksiatan meninggalkan sholat termasuk perkara yang umum dan menyebar, sampai tingkatan bahwa sebagian wanita hampir tidak menemukan ayah, atau kakek, atau saudara laki, atau paman yang melaksanakan sholat, Wallahul Musta’an.
Keempat: bahwa kerusakan yang diakibatkan oleh wanita yang berani membatalkan perwalian ayahnya atau setelahnya sangat berbahaya bisa jadi menyebabkan kehancuran hidupnya secara keseluruhan, terutama dalam masyarakat kita.
Kelima: bahwa tolak ukur perwalian adalah pada ketelitian dan kehati-hatian.
Keenam: bahwa mahkamah dinegeri kita tidak menggugurkan hak perwalian orang yang meninggalkan sholat.
KESIMPULAN:
Maka pendapat yang kuat bagi kami, bahwa wanita muslimah berhak untuk menggugurkan perwalian ayahnya jika meninggalkan sholat, dan berpindah kepada laki-laki sesudahnya, akan tetapi apabila dia rela ayahnya menjadi wali, maka akadnya shahih dan melahirkan seluruh hukum-hukum yang bersangkutan dengannya, dan tidak sepatutnya mencela pernikahan seorang muslimah dan kehormatan mereka serta nasab keturunan mereka disebabkan hal ini.
Wallahu A’lam Bishowab.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!