Kamis, 5 Jumadil Awwal 1446 H / 8 Oktober 2009 00:00 wib
12.817 views
Sabar Yang Menentramkan
1.Hati Lapang Membuat Tenang
Saya mengenalnya belum cukup lama dari seorang teman. Ia, panggil saja Ustadz Ari, sejatinya tidak saya kenal nama aslinya. Karena teman saya memanggil begitu, saya pun ikut memanggilnya dengan nama Ustadz Ari.
Perawakannya tinggi besar. Janggutnya tidak terlalu lebat tapi cukup panjang hingga kira-kira melebihi segenggaman tangan. Tatapan matanya teduh. Gaya bicaranya seperti berbisik. Namun, kata istrinya, jika sudah berada di mimbar untuk menyampaikan tausiyah, suaranya bisa lantang dan keras.
Meskipun kalem, ia sering menyelipkan humor dalam tausiyah-nya. Saat pertama mengenal, entah mengapa saya merasa orang ini pasti memiliki kehidupan yang keras. Saya memang belum menanyakan kebenaran firasat itu. Yang pasti, ia dilahirkan dan dibesarkan di Pemanukan, Subang. Ia memang menyukai olahraga keras, yaitu pencak silat, dan menjadi salah satu pelatih di perguruan pencak silat yang para muridnya merupakan bekas preman di Pemanukan.
Orang yang bahagia ialah yang dijauhkan dari fitnah-fitnah dan orang yang bila terkena ujian dan cobaan dia bersabar. (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Beranjak dewasa, ia merantau ke Serang, Banten. Ia pernah mengajar di Madrasah Aliyah (setingkat SMA). Di sekolah itulah, ia terpikat dengan salah satu muridnya, dan kemudian mempersuntingnya untuk menjadi istri. Bersama istrinya, ia dikaruniai dua orang anak, laki-laki dan perempuan.
Suatu hari, sekitar lima tahun lalu, ia kedatangan seorang sahabat karib, teman mainnya sejak duduk di bangku SMP. Sahabat lamanya itu bernama Rais. Dengan alasan persahabatan, ia tak keberatan ketika sahabatnya itu minta dicarikan rumah kontrakan. Karena sudah lama tidak bertemu, dan niat ingin menolong sahabat baik, maka dengan cekatan ia pun mencarikan kontrakan. Setelah mendapakan kontrakan, mereka pun berpisah.
Ustadz Ari menjalani kehidupan normal seperti biasa. Tak kurang ia mengajar di lebih dari 13 tempat (mesjid dan majelis taklim). Setiap hari, hampir tidak ada waktu baginya untuk sedikit istirahat, karena ia cukup dikenal sebagai ustadz yang laris di daerah tersebut.
Kehidupan berubah total ketika peristiwa bom kuningan (di depan Kedutaan Besar Australia) terjadi. Beberapa pekan setelah bom itu mengguncang jakarta, tiba-tiba intelijen polisi sering datang ke pesantren yang ia asuh. Istrinya pernah menghardik intel itu karena tindakannya yang tidak sopan. Selang beberapa hari, ia pun diciduk polisi atas tuduhan menyembunyikan buronan polisi. “Saya tidak tahu apa-apa tiba-tiba diambil begitu saja,” katanya. Ternyata, buronan polisi yang dimaksud adalah sahabatnya yang beberapa waktu minta dicarikan kontrakan.
Maka, dimulailah kehidupan yang serba tidak pasti. Di kantor polisi, ia biasa diinterogasi dengan kekerasan.berbagai pukulan dan siksaan ia terima. Ia dipaksa menyebutkan dimana lokasi sahabatnya saat ini. Ia benar-benar tidak tahu. Namun, setiap ia menjawab begitu, siksaan akan semakin keras.
Akhirnya, sang sahabat tertangkap, dan ia pun dibebaskan karena terbukti tak bersalah. Lalu, apakah ia dendam kepada sahabatnya, yang telah membuatnya meringkuk dan disiksa di penjara? “Ah tidak. Saya menganggap ini sebagai qodarullah(takdir dari Allah). Untuk apa saya dendam?” katanya.
Luar biasa. Sedikit pun ia tak marah, apalagi dendam atau sakit hati. Entah terbuat dari apa gumpalan darah dalamn dirinya hingga ia bisa begitu sabar. Meski begitu, ia terlanjur dituntut tiga tahun penjara oleh jaksa. Hakim juga memvonis demikian. Ia merasa hukuman itu sangatlah tidak tepat, karena memang ia tidak tahu apapun. Ia hanya membantu mencari kontrakan untuk sahabatnya beberapa pekan sebelum bom tersebut terjadi. Ia pun tidak tahu jika rumah kontrakan itu sudah kosong.
Ketika hakim menjatuhinya hukuman, dan media sudah terlanjur memberitakan ia sebagai orang yang “terlibat” dalam bom Kuningan, Ustadz Ari hanya menyerahkan cobaan tersebut kepada Allah. Ia tidak naik banding, tidak kasasi, dan tidak melakukan peninjauan kembali (PK) seperti umumnya dilakukan orang-orang yang tidak bersalah.
Ia sungguh bersabar dan tawakkal menyerahkan sepenuhnya kepada Sang Kholik, setelah segala ikhtiar ia upayakan. Kini, ia mengingat semua ujian itu dengan senyum.
Bagaimana jika nasib Ustadz Ari menimpa kita?
2.Di Antara Dua Dunia
Seekor semut sedang mencari-cari madu. Sementara seekor lebah hinggap menghisap madu dari sekuntum bunga. Lebah itu melesat pergi untuk kemudian datang kembali.
Suatu kali , semut berkata kepada lebah, “Engkau hidup tanpa usaha dan tak punya rencana. Lalu, apa sebenarnya tujuan hidupmu?”
Si lebah menjawab, “Tujuanku adalah kesenangan. Kau boleh merencanakan sekehendakmu, tapi tak bisa meyakinkanku bahwa ada yang lebih berharga daripada yang kulakukan ini. Kau laksanakan saja rencanamu dan aku lakukan rencanaku.”
Semut pun berpikir, “Yang tampak padaku ternyata tak tampak olehnya. Ia tahu apa yang terjadi padaku. Aku tahu apa yang terjadi padanya. Ia laksanakan rencananya, aku laksanakan rencanaku.” Semut pun berlalu.
Beberapa waktu kemudian, merekapun bertemu lagi. Si Semut menemukan sebuah kedai daging. Si Semut menunggu dengan sabar apapun ang akan diterimanya dari tukang daging.
Tiba-tiba si Lebah yang melihat tumpukan daging dari atas, menukik dan hinggap diatasnya. Pada saat itu pula, parang tukang daging berayun dan membelah tubuh lebah tersebut menjadi dua.
Separuh tubuh lebah jatuh dekat kaki semut. Si semut pun menangkap tubuh lebah dan menyeretnya ke sarang sambil berpikir, “Rencananya telah selesai, sedangkan rencanaku terus berjalan. Ia laksanakan rencananya, yang sudah berakhir, dan aku laksanakan rencanaku – yang mulai berputar. Saat aku berkata kepadanya dahulu, mungkin ia berpikir aku ingin merusak kesenangan orang lain.”
“Rencananya telah selesai, sedangkan rencanaku terus berjalan. Ia laksanakan rencananya, yang sudah berakhir, dan aku laksanakan rencanaku – yang mulai berputar. Saat aku berkata kepadanya dahulu, mungkin ia berpikir aku ingin merusak kesenangan orang lain.”
Kisah di atas saya ambil dari sebuah situs keagamaan. Bagi saya, kisah ini menggambarkan betapa kita sering merasa yakin dan mampu mengerjakan sesuatu, padahal terkadang ada faktor-faktor yang membuat rencana kita meleset, bahkan mungkin gagal.
Saya ingat kisah seorang teman yang dikenal angkuh. Sebut saja ia Janur. Tidak seperti umumnya laki-laki yang cuek terhadap penampilan, Janur sering merawat dirinya di salon, mulai dari creambath, facial, hingga pedicure dan medicure. Ia bisa tiga kali dalam seminggu pergi ke salon. Selain itu, ia juga gemar ke tempat pijat.
Dahulu, ia seorang wartawan sebuah surat kabar harian sore. Kami sering meliput berita bersama. Salah satu keahliannya yang menonjol adalah membujuk orang lain. Tak jarang ia mendapat traktir karena keahliannya itu. Sekarang, ia telah menjadi pemilik saham di beberapa perusahaan, mulai dari lapangan golf hingga perusahaan tambang. Tidak dimungkiri, keahliannya bergaul menjadi andil dalam kesuksesannya. Dengan penghasilannya, ia juga berhasil memberangkatkan anggota keluarganya menunaikan ibadah haji. Bagi saya, hidupnya terlihat begitu sempurna.
Suatu hari, kami bertemu untuk makan di sebuah kafe yang terletak di salah satu hotel di jakarta. Penampilannya begitu berkelas. Ia banyak bercerita tentang kesuksesannya sementara saya hanya mendengarkan.
Saya bingung menentukan kawan yang satu ini. Apakah ia termasuk orang yang sabar dalam beragama ataukah tidak? Apakah ia sabar dalam berbisnis dan mengendalikan rumah tangga yang menurutnya aman-aman saja?
Saya khawatir ia bernasib seperti lebah tadi. Ia terkena sabetan takdir buruk di ujung hayatnya. Bukankah ada orang-orang yang dikisahkan sebagai ahli ibadah yang membuat jarak antara dirinya dengan surga hanya beberapa langkah tetapi tiba-tiba takdir mendahuluinya, hingga menjadi ahli neraka?
Saya khawatir, orang yang menuliskan kisah ini termasuk diantaranya. Hindarkan, ya Rahman.
3.Beri Aku Duka
Jangan. Jangan sakit. Begitu kalima ini sering kia dengar atau kita pintakan kepada Allah. Namun, pernahkah kita mendengar orang berdoa, “Ya Allah, beri aku duka...” Rasanya kok idak. Meski tidak mungkin, saya memiliki seorang teman yang memiliki ketabahan luar biasa. Bagaimana tidak , jika salah satu doanya adalah meminta agar diberi rahmat bernama saki. Padahal, ia masih muda, sehat-sehat selalu, dan kuat.
Jika sehat, ia cukup rajin berolahraga. Seminggu sekali bermain bulu angkis, dan sering pula jalan pagi atau berenang. Ia juga rajin mengonsumsi viamin, madu, atau habatussaudah (jintan hitam). Semua itu ia lakukan untuk menjaga kesehatan.
Teman kita ini, panggil saja Pak Waluyo (bahasa jawa yang artinya hidup atau sehat). Ia memiliki kesibukan layaknya orang kantoran. Belum lama ini ia menikah, dan mendapakan gadis setelah melalui proses perkenalan yang singkat (nazhor), dan selang beberapa pekan kemudian mereka menikah.
Jika banyak pekerjaan, ia senantiasa menyiapkan ekstra tenaga, minum madu, dan susu. Terkadang, ia juga ke tukang urut, laki-laki tentu, jika urat-uratnya dirasakan kaku atau badannya pegal. Ia juga rutin melakukan “cuci darah” dengan bekam. Jika saya tak salah ingat pula, teman kita ini rajin berpuasa senin-kamis. Selain untuk ibadah, juga untuk mengecilkan perutnya yang tampak bergunung lemak. Berbagai upaya menjaga kesehaan itu, dilakukannya saat normal. Artinya, semua proses kehidupan dirasakan normal pula.
Namun, ia mudah terserang stres jika sedang menghadapi persoalan, dan efeknya bisa menyerang kesehatannya. Misalnya, tak jarang ia mengeluh tentang sariawannya yang tak kunjung sembuh. Hal lainnya, ia juga sulit tidur jika sedang tertekan. Kalaupun tidur, biasanya ia akan mengigau pada tengah malam, bahkan sampai berteriak. Pernah suatu ketika, kami pergi ke luar kota, dan menginap di satu kamar. Ketika saya belum lelap tertidur, tiba-tiba ia mengigau sambil berteriak-teriak. Saat dibangunkan, wajahnya tampak kaget.
Saya kira, setiap orang memiliki kekuatan batin yang berbeda-beda. Teman kita ini juga memiliki mentalitas yang sebenarnya, tidak jauh berbeda dibanding dengan orang lain. Yang membuat lain, ia menikapi persoalan hidup tidak dengan tekanan. Ia terima semua masalah dengan santai. Seperti tidak pernah punya masalah. Ia tidak pernah terlihat murung. Meski begitu, ia pernah pula mengeluh tentang sesuatu.
Nah, yang paling mengejutkan, beberapa kali ia berdoa agar diberi sakit. Lho kok aneh? “Kalau sakit kan tidak masuk kerja,” katanya. Saya menanggapi dengan serius, ia justru tertawa. “Ya nggaklah. Biar bisa merasakan sakit saja,” katanya.
Saya lama tidak mengerti arah pembicaraannya. Rupanya ia menangkap kebingungan saya. “Begini lho. Jika kita sakit, akan terasa betapa nikmanya sehat. Jika kita sakit, kita akan merasakan betapa tidak ada artinya makanan enak. Tidak ada artinya ruangan yang berpendingin,” katanya. “Pak Waluyo, bukan sedang ceramah, to?” “Tidak. Ini serius. Seiap saya sakit, saya bisa menikmati. Bisa bersyukur karena diberi sakit. Coba kalau tidak sakit, Pak Pracoyo nggak menengok rumah saya kan?” katanya.
Lantas ia bercerita, doa permintaan agar diberi duka itu, biasa dilakukan setiap ada gejolak dihatinya. Ya, doa itu memang tidak selalu dipanjatkan. Biasanya ia ungkapkan ketika haina merasa punya sesuatu yang membuatnya resah. Itu artinya, ia merasa memiliki kesalahan. Merasa punya dosa.
“Dengan diberi sakit, kita sedang diberi ujian untuk naik kelas. Siapa tahu dosa-dosa kita akan Allah kurangi,” katanya. Saya merenungi setiap katanya.
Lalu, mengapa ia merasa perlu berdoa agar diberi sakit? Menurut Pak Waluyo, ia berkeyakinan bahwa setiap orang yang diberi penyakit, artinya Allah sedang mengugurkan dosa-dosanya.
Saya tak mengerti maksud pembicaraannya. Ia kemudian menyebutkan salah satu hadits tentang orang sakit. Bunyinya, Tiada seorang mukmin ditimpa rasa sakit, kelelahan (kepayahan), diserang penyakit atau kesedihan (kesusahan) sampai duri yang menusuk (tubuhnya) kecuali dengan itu Allah menghapus dosa-dosanya. (HR Bukhari)
Tiada seorang mukmin ditimpa rasa sakit, kelelahan (kepayahan), diserang penyakit atau kesedihan (kesusahan) sampai duri yang menusuk (tubuhnya) kecuali dengan itu Allah menghapus dosa-dosanya. (HR Bukhari)
Saya hanya terdiam. “Hmmm..jika demikian, berarti kita harus sering berdoa agar diberi sakit?” tanya saya. Ia pun menggeleng. “Kewajiban kita tetaplah berusaha untuk sehat. Dengan begitu, kita bisa bekerja, mencari ilmu, dan beribadah dengan baik,” jawabnya.
Ada teman saya yang lain, memiliki keikhlasan luar biasa saat diberi ujian sakit. Meski sudah divonis tidak akan berumur panjang, ia tetap bersyukur. Ia justru lebih giat bekerja. Padahal, kanker payudara yang diidapnya sudah menjalar sampai paru-paru. Ia tetap tak mengurangi aktivitasnya. Ia hanya berhenti jika harus dirawat di rumah sakit atau akan kemoterapi.
Yang paling membuat hati saya sedih adalah ketika saya dan beberapa teman menengoknya di rumah sakit. Untuk bernafas saja, ia sudah harus dibantu dengan selang oksigen. Detak jantungnya tak lagi beraturan. Ia sudah tak bisa bicara lagi, tapi masih sadar. Kami yang disampingnya hanya bisa melihatnya.
Dengan isayarat gerakan tangan, ia minta didoakan. Kami pun berdoa untuknya. Saya berdoa agar diberi jalan terbaik dari Allah. “Jika memang sehat itu lebih baik untuk dirinya, sehatkanlah. Jika meninggal lebih baik untuknya, segerakanlah, ya Allah.”
Subhanallah. Ia justru melarang kami bersedih. Dengan gerakan tangan, ia melarang kami maurung. Akhirnya, kami pun memberinya semangat, agar ia tabah. Kami juga mengingakan agar ia tak lupa untuk berdzikir seiap saat. Ia berusaha tersenyum. Malam harinya, ia benar-benar meninggalkan kami.
Sumber: Hikmah Sabar, Pracoyo Wiryoutomo.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!