Sabtu, 8 Jumadil Akhir 1446 H / 3 Juni 2023 22:48 wib
4.217 views
Perilaku Anak Semakin Sadis, Bukti Negara Abai
Oleh: Lisa Oka Rina
MHD (9), bocah kelas 2 di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (Jabar), meninggal dunia akibat dikeroyok oleh kakak kelasnya pada Senin (15/5/2023). Kakek korban, HY mengatakan, usai kejadian yang terjadi di sekolah itu, cucunya tersebut sempat mengeluh sakit.
Keesokan harinya, Selasa (16/5/2023), korban memaksa tetap masuk sekolah meski dalam keadaan sakit, namun nahas, saat itu korban kembali dikeroyok oleh kakak kelasnya. "Saya bilang, kalau sakit jangan dulu sekolah, istirahat dulu aja di rumah. Namun saat itu korban memaksa ingin sekolah. Lalu ketika saat berada di sekolah, korban kembali di keroyok oleh kakak kelasnya pada Selasa (16/5/2023)," kata HY, dikutip dari TribunJabar.id, Sabtu (20/5/2023). Akibat pengeroyokan terakhir, korban harus dilarikan ke RS Primaya pada Rabu (16/5/2023) akibat mengalami kejang-kejang.
Sempat tak mengaku dianiaya Korban sempat enggan berterus terang kepada dokter dan orangtuanya bahwa dia menjadi korban penganiayaan kakak kelas. "Akhirnya dokter pura-pura menyuruh keluarga untuk keluar ruangan, dan pihak keluarga bersembunyi di balik tirai di ruangan periksa. Dari situ korban baru mangakui bahwa dia sudah dikeroyok oleh 3 orang kakak kelasnya," ujar HY. Korban pun selanjutnya dipindahkan ke RS Hermina lantaran RS Primaya tidak menerima pasien akibat tindak kekerasan.
Mengalami kritis selama tiga hari, korban pun dinyatakan meninggal dunia pada Sabtu (20/5/2023). "Korban yang kritis tiga hari di rumah sakit, lalu pada pukul 08.00 WIB (Sabtu, 20/5/2023), meninggal di RS Hermina," ucap HY. Berdasarkan keterangan dokter, korban mengalami luka pada bagian organ dalamnya. "Hasil visum korban mengalami luka pecah pembuluh darah, dada retak, dan tulang punggung retak," jelasnya.
Kejadian kali ini, harusnya sudah bisa memberikan warning keras bagi kita semua. Pelaku masih duduk di bangku sekolah dasar. Padahal pendidikan di tingkat dasar inilah pondasi/penentuan pola pikir dan pola sikap seseorang.
Keringnya pembentukan dan pengokohan aqidah islam di lingkungan keluarga, merupakan jalan pembuka seseorang berani melakukan tindakan kekerasan. Masih banyak keluarga muslim yang belum paham tentang ajaran islam lebih dalam. Merasa cukup dilahirkan dari keluarga muslim. Sehingga hanya memahami islam hanya dari sisi ibadah ruhiah semata, seperti sholat, berpuasa, zakat dan haji. Padahal islam tidak hanya mengatur masalah ibadah individu. Tapi juga aspek mu'amalah (interaksi satu orang dengan yang lain).
Kondisi ini juga menjangkiti masyarkat yang individualis. Masyarakat sekarang semakin lalai akan tugas mulia, untuk menasehati dalam kebaikan dan mencegah keburukan. Di tengah masyarakat, sudah biasa tersuasana berbicara tidak ahsan/tidak baik, memanggil dengan sebutan yang tidak baik, membiarkan hal itu terjdi, dengan asumsi "mereka masih kecil, tidak apa-apa". Bahkan parahnya lagi, para orang dewasa di tengah-tengah masyarakat menjadi contoh kepada anak-anak dalam perbuatan tidak baik itu.
Pengajaran pendidikan agama di sekolah, ternyata tidak bisa menjadi benteng pertahanan. Hal ini wajar saja, karena landasan kurikulum sistem pendidikan kita, bukan berlandaskan aqidah islam (sekuler), yaitu membatasi ajaran-ajaran islam yang diajarkan di sekolah cukup terkait masalah ibadah ruhiyah. Tapi minim penanaman aqidah tentang Allah Maha Mengetahui setiap perbuatan yang tampak maupun tersembunyi.
Dan negara sebagai pemeran utama dalam pengatur dan pengontrol media, kalah dengan pengusaha media, yang menonjolkan aspek untuk mendapatkan untung semaksimal mungkin tanpa pertimbangan bisa berdampak buruk bagi masyarakat.
Dengan mudah kita bisa menemukan konten media, games, bahkan tontonan film kartun yang memuat adegan kekerasan, balas dendam, dan mayoritas penontonnya adalah usia produktif. Konten maupun adegan tersebut pelan tapi pasti, telah masuk ke alam bawah sadar penontonnya, dan tertancap dengan kuat dalam ingatannya. Lembaga sensor pun mandul, sekedar basa basi demi legalisasi tayangan bisa tayang dan dinikmati.
Kemajuan teknologi yang tidak dilandaskan ruhiyah, membuka jalan penyalahgunaan dan menghantarkan kepada kemudharatan. Perkembangan teknologi yang harusnya mempermudah urusan manusia, malah menjerumuskan manusia ke level terendah peradaban manusia. Karena teknologi saat ini, berbasis kepada prinsip mengakomodir kebebasan individu dalam bertingkah laku, yang merupakan "anak emas" prinsip hidup kapitalisme saat ini yang mejadi acuan dunia.
Inilah dampak buruk yang harus kita terima, di saat kehidupan kita jauh meninggalkan aturan-aturan Allah. Karena agama islam, tidak hanya memuat ibadah ritual. Namun setiap perbuatan manusia, sudah ada aturan lengkap yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Dan Beliau SAW adalah sebaik-baik contoh bagi manusia. Sebagaimana Allah firmankan "Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah." (QS. Al-Ahzab 33: Ayat 21)
Islam menetapkan dan memberikan kedudukan mulia, kepada para orang tua dalam mendidik anak-anak dan keturunannya, baik perkara aqidah dan syariat islam dalam aspek mu'amalah. Penanaman aqidah ini sebagai pondasi dasar dan utama pendidikan anak.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, "Wahai anakku! Janganlah engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar." (QS. Luqman 31: Ayat 13)
Implementasi aqidah yang kokoh, akan mendorong seseorang agar selalu merasa diawasi Allah dalam setiap amal perbuatannya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman : "(Luqman berkata), "Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Maha Halus, Maha Mengetahui." (QS. Luqman 31: Ayat 16)
Dorongan itulah yang menjadikan seseorang, ketika berinteraksi dengan orang lain, selalu mengkaitkan perbuatannya ini apakah akan mendatangkan pahala di sisi Allah ataukah nanti bisa mendatangkan dosa. Dia akan menjaga lisannya dari perbuatan yang bisa menyakiti orang lain. Dia akan menjaga tangan dan kakinya agar tidak melakukan hal yang membahayakan orang lain.
Keistiqamahan seseorang tadi agar selalu merasa diawasi Allah, juga di dukung adanya kepedulian lingkungan sekitar/masyarakat, yang selalu mengingatkan agar berbuat kebaikan dan mencegah perbuatan dosa. "Wahai anakku! Laksanakanlah sholat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting." (QS. Luqman 31: Ayat 17)
Negara sebagai pihak yang paling bertanggungjawab, dengan dorongan bahwa itu adalah amanah dari Allah, negara berupaya optimal dalam merancang dan menerapkan sistem pendidikan berbasis aqidah islam, yakni setiap tsaqafah yang diajarkan adalah harus berasal dari islam. Tsaqafah yang bertentangan dengan islam juga bisa dipelajar, untuk mengetahui kesesatan dan bahayanya. Sedangkan ilmu bisa diambil dari luar islam, asal tidak bertentangan dengan islam. Termasuk teknologi dengan basis aqidah islam, teknologi yang ada justru memudahkan manusia dalam jalan ketaatan kepada Allah. Misal teknologi informasi dunia maya. Negara akan serius dan optimal membasmi penyebaran informasi yang merusak aqidah, menghilangkan tayangan kekerasan, mistis, bahkan tayangan hiburan yang membius manusia dari ketaatan kepada Allah.
Keoptimalan sistemik ini hanya lahir dalam negara yang berlandaskan islam kaffah, yang dikenal dengan sebutan Khilafah Islam. Karena perintah Allah-lah yang mengharuskan kita umat muslim di seluruh dunia, harus memiliki satu kepemimpinan dan satu sistem kehidupan. Wallahu'alam bisshowwab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi : Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!