Rabu, 11 Rabiul Akhir 1446 H / 5 Februari 2020 22:15 wib
7.453 views
Tantangan Berhijab di Inggris untuk Profesi Dokter
Oleh: Yumna Umm Nusaybah
“I am sorry that I have to say this, due to hospital infection control policy, I am afraid that you have to shorten your long dress and roll up your sleeves. would you be okay with that?” (Mohon maaf saya harus menyampaikan hal ini, berhubung ada kebijakan RS untuk mengontrol penyebaran infeksi, kamu harus memendekkan baju panjangmu dan menggulung lengan bajumu. Gimana, ga papa kan?)
Kekhawatiranku menjadi nyata. Dua tahun sudah aku bekerja di salah satu RS besar di London timur. Namun selama itu pula aku memakai jubah dan kerudung. Awalnya, semua mata melihatku dengan tatapan aneh. Bahkan manajer yang mewawancaraiku, yang akhirnya memutuskan menerimaku sebagai bagian dari tim-nya, pun nampak kaget dengan penampilanku. Padahal aku juga memakai jubah dan kerudung saat wawancara. Hanya tambahan jas supaya nampak resmi saja. Mungkin mereka mengira, aku akan melepas jubah itu dan menukarnya dengan seragam RS berupa atasan dan celana. Yang aku lakukan justru meminta seragam dengan model jubah. Atau sekali-kali aku memakai seragam berlengan pendek di atas jilbab (jubah) hitam yang aku kenakan.
Selama dua tahun itu tak ada masalah. Hingga suatu hari, manajer yang lama pindah ke RS lain. Penggantinya masih belum resmi menjadi manajer. Tapi sekedar ‘acting manager’. Sebenarnya acting manajer baru Ms OS ini sangat baik, pengertian, lemah lembut, akomodatif, pekerja keras dan tolerir. Namun sepertinya ada pihak yang mengharuskan dia ‘mengingatkanku’ akan kebijakan RS yang berkaitan dengan baju panjang.
Aku sudah menduganya. Kalau tak sekarang mungkin tahun depan. Akhirnya tahun itu tiba juga. 2009. Jawaban juga sudah aku persiapkan jauh jauh hari sekiranya mereka bertanya. Aku siapkan mental supaya tidak terlihat takut dan terancam. Anggap saja mereka ingin kejelasan. Dengan nada meyakinkan (meski di dalam hati ada rasa gemetar) aku sampaikan,
“I am aware that there is a policy of ‘bare below the elbow’ but there is also a policy on equality where religious practice is also respected. When I am dealing with the patients, I will surely roll up my sleeves accordingly but when I am not dealing with patients there is no need for me in doing so. On top of that there is no scientific proof from any credible research that shows long sleeves contribute to the spreading of infection. All other doctors and consultants do have long sleeves but they don’t necessarily need to roll up all the time. Only when they’re dealing with patients. So I am sorry, I won’t be able to shorten both the length of my dress and sleeves for religious reasons.”
(Saya sadar bahwa ada kebijakan bare below elbow (tak ada penutup sampai siku) tetapi ada juga kebijakan tentang kesetaraan di mana praktik keagamaan juga dihormati. Ketika saya berurusan dengan pasien, saya pasti akan menyingsingkan lengan baju saya seperlunya tetapi ketika saya tidak berurusan dengan pasien, saya tidak perlu melakukannya. Selain itu, tidak ada bukti ilmiah dari penelitian terpercaya yang menunjukkan bahwa lengan panjang berkontribusi terhadap penyebaran infeksi. Semua dokter dan konsultan berpakaian dengan lengan panjang. Dan mereka hanya menggulung saat berhadapan dengan pasien. Jadi saya minta maaf, saya tidak bisa memendekkan panjang gaun dan lengan saya karena alasan agama).
“Okay, that is fine and I can understand where you’re coming from. I will pass your decision to senior manager” (Oke, baiklah dan aku bisa mengerti dengan penjelasanmu. Saya akan menyampaikan keputusanmu kepada manajer senior).
Deg!
Segampang itukah? Aku sudah membayangkan bakal ditarik ke ruang khusus. Diberi ‘kuliah’ panjang tentang infection control. Diberi surat peringatan. Bahkan mungkin diberhentikan saat itu juga. Tapi semua paranoia itu tidak terjadi. Bahkan Allah ﷻ memudahkannya. Dia menerima alasanku. Menerima keputusanku tanpa perlu penjelasan panjang lebar.
Aku sudah siap untuk memilih meninggalkan pekerjaan daripada tidak boleh berjilbab dan memakai lengan panjang. Aku juga sudah menyiapkan mental untuk dikucilkan. Dipersulit dan disia-siakan. Alhamdulillah tidak satu pun kekhawatiranku terjadi.
Dari sini aku semakin yakin. Jika kita berani menyuarakan kebenaran dengan cara yang ahsan, melengkapi diri dengan ilmu dan dalil yang meyakinkan, menunjukkan etos kerja yang bagus dan benar, maka sebenarnya jilbab dan kerudung tidak akan pernah menjadi halangan.
Kalaulah sampai terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, lalu kita diharuskan memilih antara rezeqi dan ketaatan, maka Islam sudah punya solusinya. Allah ﷻ lah yang memberi rezeqi kepada kita. Dia jualah yang bisa mengerahkan pasukanNya untuk mendukung dan memudahkan kita. Dia juga yang bisa menolong hambaNya. Maka memilih ketaatan harus menjadi prioritas. Inilah yang disebut pengorbanan. Pahala surga dan mungkin pahala dunia akan bisa kita dapatkan.
Selama kita punya Allah ﷻ maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Selama kita taat kepada aturanNya maka Dia tidak akan pernah menyia-nyiakan. Mumpung kita diberi kesempatan dan kemudahan memakai Hijab dan Jilbab, tanpa tantangan yang berarti selain kemalasan dan ego pribadi, maka bersegeralah menggapai butiran butiran pahala itu. Bayangkan! Setiap kali kita mengenakan busana muslimah karenaNya kita akan meraih pahala. Setiap kali kita menapakkan kaki keluar rumah dengan busana muslimah, malaikat mencatatnya sebagai ibadah. Sungguh indah!
Karenanya, jangan tunda! Karena kita tidak tahu kapan dan dimana ajal menghampiri.
Jangan tunda! Karena banyak saudara muslimah di negeri lain harus berhadapan dengan penjara, siksaan dan terpisah dari keluarga. Semua terjadi hanya karena keteguhan mereka mempertahankan agamanya.
Jangan tunda! Karena sudah ada negara yang melarang pemakai hijab untuk bisa bekerja, kuliah dan berkarya.
Semoga Allah ﷻ menjaga kita, membimbing kita dan selalu memudahkan kita untuk semakin taat kepada aturanNya.
London, 4 Februari 2020
Keterangan gambar: Diambil saat jalan-jalan ke London Eye
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!