Rabu, 10 Jumadil Awwal 1446 H / 1 Maret 2023 16:00 wib
12.072 views
Memberi Angin PKI
Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Kebangsaan)
Keppres No 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu ternyata mengarah pada permohonan maaf dan pemberian kompensasi kepada aktivis, simpatisan dan keluarga PKI.
Meski terkait dengan pelanggaran HAM berat lain akan tetapi yang mencuat dan hangat sejak awal adalah tuntutan agar Pemerintah memohon maaf kepada kader dan keluarga PKI.
Jokowi sendiri telah menyatakan pengakuan yang secara implisit dinilai sebagai permohonan maaf. Pengakuan yang disampaikan pada bulan Januari 2023 tersebut menuai berbagai tanggapan baik pro maupun kontra. Ketua Umum Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Gomar Gultom langsung mengusulkan penghapusan peristiwa-peristiwa tersebut dari pelajaran sejarah. Hebat sekali.
Keppres No 17 Tahun 2022 itu ternyata bertentangan dengan UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. UU tersebut tidak membuka peluang bagi terjadinya penyelesaian non-yudisial. Pelanggaran HAM berat harus diselesaikan melalui proses peradilan. Atas kesewenang-wenangan tersebut sebaiknya dilakukan Judicial Review melalui Mahkamah Agung.
Teriakan kader, simpatisan serta keluarga PKI bahwa mereka adalah korban dan PKI itu tidak bersalah adalah bertentangan dengan fakta sejarah yang sebenarnya. PKI terbukti sebagai dalang gerakan pengkhianatan negara. Melakukan pembantaian terhadap petinggi TNI dan umat Islam. PKI itu anti agama.
Pada masa Pemerintahan Jokowi ini ada nuansa memberi angin kepada PKI untuk merehabilitasi diri dan bangkit kembali. Muncul semangat untuk mencabut Ketetapan MPRS No XXV/MPRS/1966 yang melarang PKI dan penyebaran faham Komunisme-Marxisme/Leninisme. Kemudian kader atau keluarga PKI berada di Parlemen dan jabatan Pemerintahan, larangan sweeping simbol PKI dengan alasan demokrasi serta keluarga PKI yang dibolehkan masuk TNI.
Gonjang-ganjing hubungan keluarga Jokowi dengan PKI yang dikemukakan Bambang Tri belum terklarifikasi tuntas. Bambang sendiri terus-menerus menjadi pesakitan. Pembelian lukisan mahal "Petruk dadi Ratu" dari mantan Seniman Lekra sayap PKI dinilai bentuk simpati. Hingga kini belum ada satu kata pun dalam pidato Presiden Jokowi tentang perlunya mewaspadai bahaya PKI dan Komunisme.
Tidak masuk Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 dalam konsiderans RUU HIP, pemerasan Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila, Pancasila 1 Juni 1945 serta minimalisasi fungsi agama adalah indikasi adanya upaya agar RUU ini menjadi "pintu ideologis" bagi komunisme atau sekurang-kurangnya ideologi kiri untuk menginfiltrasi atau mendominasi. Untunglah gerakan MUI dan kekuatan umat Islam berhasil menggagalkan.
Buku anggota DPR RI "Aku Bangga Menjadi Anak PKI" merupakan cermin dari atmosfir ruang terbuka bagi penerimaan dan kebangkitan PKI pada rezim Jokowi. Keppres penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat untuk peristiwa tahun 1965 menjadi bagian dari agenda itu. PKI dianggap sebagai korban.
Mahfud MD minta masyarakat agar percaya kepadanya bahwa Keppres 17 tahun 2022 itu bukan untuk menghidupkan PKI, masalah utamanya saat ini adalah siapa yang percaya?
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!