Sabtu, 13 Jumadil Awwal 1447 H / 10 Juli 2010 10:10 wib
  2.065 views
								
							
								
								Melawan Animisme di Daerah Terpencil NTT 
								Sekitar 3 tahun membina dakwah di pendalaman,  angka mualaf naik  drastis. Ada sekitar 500 orang yang telah masuk Islam

Hidayatullah.com--Lelaki setengah baya terlihat  duduk sambil serius mendengarkan paparan seorang ustadz. Pandanganya  fokus ke depan. Khidmat. Setiap arahan yang disampaikan ustadz tersebut,  didengarkannya penuh seksama. Seolah, tak ada satu pun kata yang lewat.
Lelaki  itu tidak lain, Abdul Qadir Lenama. Qadir demikian akrab disapa, di  siang awal Juli lalu sedang mengikuti acara “Temu Dai Terpencil Tingkat  Nasional” yang digagas Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus (MTDK) PP.  Muhammadiyah di masjid Al-Ikhlas kota Gudeg, Yogyakarta.
MTDK   menyelenggarakan pertemuan dengan tema “Temu Da’i Terpencil Tingkat  Nasional” di sela-sela kegiatan Muktamar Muhammadiyah di Yogyakarta.   Karena sebagian da’i terpencil ini ada yang merangkap sebagai peserta  Muktamar Muhammadiyah dan sebagian lagi sebagai penggembira, maka, acara  ini sengaja diadakan mengambil momentum Muktamar Muhammadiyah agar  bisa  menghemat biaya.
Di sela-sela padatnya acara, Qadir  menyempatkan berbagi cerita perjalanan dakwahnya di daerah terpencil.  Inillah ceritanya yang ditulis wartawan hidayatullah.com.
Perjalanan  Dakwah
Qadir berperawakan sedang dengan kulit berwarna hitam.  Sorot matannya tajam. Tapi, setiap kata yang diutarakannya begitu dalam.  Ada selaksa hikmah yang terkandung di dalamnya. Qadir adalah dai asal  kec. Amanuban Timur, Kab. Timur Tengah Selatan, Kupang, Nusa Tenggara  Timur (NTT).
Ketertarikan Qadir menjadi dai timbul sejak  kecil, 8 tahun. Waktu itu, sekitar 1967, Qadir kerap mendapati penduduk  di desanya melakukan kegiatan animisme.
Sebenarnya, kegiatan itu  wajar. Pasalnya, mereka memang bukan Islam. Di desanya itu, dari jumlah  penduduk sekitar 15 ribu jiwa, yang muslim hanya kira-kira 3-4 ribu  orang. Selebihnya, kalau nggak Kristen, pasti animisme.  
Di  desanya, ada sejumlah gunung yang dikeramatkan dan dijadikan sebagai  tempat sesembahan. Di antaranya, gunung Tumbes dan gunung Fatukopa.  Gunung Fatukopa bentuknya seperti perahu. Biasanya, para penduduk  setempat, jika datang musim panen, hasilnya akan disesajikan ke dua  gunung tersebut. Kata Qadir,  hal itu dilakukan sebagai bentuk rasa  syukur atas hasil bumi yang mereka panen.
Caranya, para  penduduk membuat tempat khusus di gunung tersebut. Biasanya dengan  menggunakan batu besar yang dianggap keramat. Batu itu lalu dijadikan  tempat menaruh sesaji. Melihat hal itu, sebagai orang muslim, meski  waktu itu masih terbilang kecil, tapi telah mengusik hati kecil Qadir.
“Masa,  gunung dijadikan tuhan,” ujar Qadir tak percaya. Sejak itulah, Qadir  bercita-cita mengeluarkan mereka dari kubangan animisme itu dan mengajak  mereka menuju jalan yang benar, Islam.
Tahun 1983, usai  belajar agama di salah satu pondok pesantren, Qadir memulai debut  dakwahnya. Langkah pertama yang Qadir lakukan adalah mendekati kepala  adat atau suku. “Maklum, di daerah yang cenderung primitif, kelapa suku  berpengaruh besar bagi kaumnya” kata Qadir. Mendekat kelapa suku pun ada  caranya. Tidak sembarang mendekati. Sebab, jika salah, alih-alih dapat  simpati, justru caci yang didapat.
Dengan pelan dan lemah  lembut Qadir pun mendekati mereka. Kedekatan itu pun seolah sudah tidak  ada batas lagi. Ibarat seperti saudara kandung. Tak ada sekat. Nah,  setelah itu, baru Qadir mulai melancarkan dakwahnya. Qadir bilang bahwa  kegiatan menyembah batu dengan memberi sesaji adalah bentuk peribadatan  konservatif yang tidak masuk akal.
“Kegiatan itu, hanya  melanggengkan kebodohan,” terang Qadir.
Nampaknya, apa yang  disampaikan Qadir cukup jitu. Mereka jadi berfikir secara rasional.  Lambat laut, mereka mulai mempertanyakan jalan lain menuju keperibatana  yang lebih masuk akan dan elegan. Qadir pun kemudian menjelaskan apa itu  Islam. Dan, ternyata, mereka banyak yang tertarik. Hingga segelintir  dari mereka lambat laun mau masuk Islam. Selama sekitar 3 tahun setelah  itu, angka mualaf naik drastis. Ada sekitar 500 orang yang telah masuk  Islam.
Namun,  perjuangan Qadir mengajak mereka ke agama Islam  harus berlomba dengan kristenisasi. Apalagi, kegiatan itu dibungkus  dengan kedok kegiatan sosial. Seperti bagi-bagi sembako, duit dan lain  sebagainya. Mereka adalah adalah orang-orang LSM internasional yang  sengaja melakukan demikian. Qadir pun tak kalah semangat. Dia lebih  kencang lagi dalam berdakwah.
Untuk memuluskan dakwahnya itu,  Qadir menggunakan tehnik lain. Qadir memberangkatkan anak-anak penduduk  ke Jawa untuk di sekolahkan di pesantren di Jawa yang dikenal banyak.
“Nah,  sepulang dari pesantren di Jawa, mereka nanti yang akan mendakwahi  orangtua dan keluarga mereka masing-masing,” ujar Qadir.
Qadir pun  menjali kerjasama dengan beberapa pesantren di pulau Jawa yang menampung  anak-anak NTT tanpa dipungut biaya.
Setiap tahunnya hampir  ada sekitar 5 sampai 10 anak yang dimasukkan pondok pesantren. Hasilnya  pun jitu. Sepulang dari pesantren mereka mendakwahi keluarga mereka.  Dari cara itu, dapat mengerek angka mualaf.     
Karen rajin  berdakwah, sampai-sampai Qadir pun mendapat jodoh putri dari salah satu  kepala suku. Awalnya, Qadir tertarik pada Rince Mano, putri dari kepala  suku Mano yang bernama Yakobus. Karena waktu itu masih Kristen, maka  oleh Qadir sang putri kepala suku itu diajak masuk Islam.
Walhasil,  Rince pun mau bahkan diikuti juga ayahnya. Nama Rince kemudian diganti  jado Rahmawati sedang ayahnya Yahya. Setelah setahun masuk Islam, Qadir  pun baru menikahi Rahmawati.
Menanggalkan Bendera
Menariknya,  dalam berdakwah, Qadir tidak membawa embel-embel payung organisasi.  Meski menurut Qadir yang juga termasuk anggota dari salah satu ormas  terbesar di Indonesia, tapi dalam berdakwah dia hanya mengaku Islam  saja.
Apa pasal? Ternyata, menurutnya, jika membawa  embel-embel organisasi kurang efektif. Mudah diadu domba oleh  misionaris.
“Nanti dibilang Islam banyak aliran,” ujarnya.  Jadi, Qadir pun hanya mengajarkan Islam tanpa harus membawa  organisasinya. Di derahnya, Qadir sebenarnya tidak sendirian dalam  berdakwah. Ada banyak dai dari sejumlah organisasi Islam lainnya. Tapi,  seperti Qadir, para dai tersebut sepakat untuk tidak mengatasnamakan  bendera organisasi mereka. Mereka hanya mengaku Islam saja. Sebab,  menurutnya, pengkotak-kotakan organisasi bisa jadi makanan empuk para  misionaris untuk memecah belah umat Islam. Mengakhiri permbincangan  dengan hidayatullah.com, Qadir memohon doa kepada umat Islam agar setiap  langkahnya dimudahkan Allah, Amien. [anshor/hidayatullah.com] 
		
								
								
								Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!