Senin, 8 Rabiul Akhir 1446 H / 18 Oktober 2021 11:17 wib
20.640 views
SWF: Jalan Baru Asing Menguasai Indonesia
Oleh: Rismayanti Nurjannah
Megaproyek pemindahan Ibu Kota DKI Jakarta ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur di tengah pandemi Covid-19 masih terus berlanjut. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Suharso Monoarfa menegaskan bahwasanya target pemindahan ibu kota tetap akan terlaksana pada 2045. “Asumsi saya kan kita harus bergerak terus. Kita enggak bisa terhenti langkahnya gara-gara pandemi Covid-19,” ujar Suharso dalam wawancara di kantornya, Jakarta Pusat. (bisnis.tempo.co, 03/09/2021)
Berdasarkan masterplan Bappenas, pembangunan ibu kota diperkirakan bisa memakan waktu 15 sampai 20 tahun. Sejauh ini proyek pembangunan tersebut telah sampai pada tahap land development dan persiapan penataan kota, seperti penanaman bibit pohon hingga mempersiapkan aksesibilitas jalan menuju titik IKN. Rencana pemindahan IKN ke Kaltim sudah memasuki babak baru setelah pemerintah menyerahkan surat presiden dan draf Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rabu (29/9/2021). (nasional.kompas.com, 30/09/2021)
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri pun pernah mengkritik rencana pembangunan ibu kota di tengah pandemi corona. Dia meminta proyek-proyek yang tak mendesak ditunda agar pemerintah dapat fokus pada penanganan corona. "Indonesia tidak akan mati kalau tidak ada ibu kota baru," kata Faisal. (katadata.co.id, 14/08/2021)
Gelombang komentar dari publik pun terus bergulir seiring dengan terus berjalannya rencana pemindahan ibu kota di tengah kondisi yang serba pailit. Bahkan, ekonomi Indonesia yang sempat masuk jurang resesi. Rakyat berharap, pemerintah tak fokus mengurusi IKN yang mana berdasarkan riset INDEF, pemindahan IKN tidak memberikan dorongan terhadap pertumbuhan PDB riil nasional. Pemindahan ibu kota hanya berkontribusi di empat titik. Yakni Kalimatan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara dan Papua Barat.
Catatan Kritis untuk IKN
Walaupun pemerintah berkilah dari sisi pendanaan tak menguras APBN. Namun tetap saja ada beberapa poin yang menjadi catatan yang patut dikritisi. Pertama, terkait prioritas negara dalam menangani pandemi. Alokasi dana dari APBN sebesar 19,2% yang diperuntukkan untuk proyek IKN sebenarnya bisa dimaksimalkan untuk penanganan pandemi, pemenuhan kebutuhan masyarakat juga membantu memulihkan perekonomian negara.
Kedua, dari sisi pendanaan. Pendanaan IKN didominasi investor swasta baik dalam negeri maupun luar negeri. Pembangunan objek vital seperti IKN, seharusnya berbasis kemampuan negara sehingga bisa mandiri dari sisi pemanfaatannya untuk kemaslahatan rakyat. Bukan mengandalkan swasta yang paradigmanya berbasis keuntungan.
Selain itu, rencana pemerintah dengan mengandalkan investasi asing berpotensi mengancam keamanan negara. Pasalnya, jika aset negara didanai oleh investor asing, maka yang kemudian dikhawatirkan pemerintah akan dipaksa baik secara langsung atau pun tak langsung untuk membuka rencana tata ruang dan desain kepada investor asing yang masuk. Tentu ini bukan sekadar soal pembangunan tata ruang ibu kota semata. Tapi jauh lebih dari itu, tata ruang yang dibangun juga harus mempertimbangkan ancaman dari pertahanan negara yang berpotensi melemah akibat investasi asing tersebut.
Hal ini tentu patut diwaspadai. Pasalnya, proyek IKN yang lebih banyak terkait dengan pembangunan gedung pemerintahan yang memiliki potensi return kecil dan lambat, sementara kebutuhan dana dan risiko cukup besar, tentu risiko munculnya isu ancaman kedaulatan akibat keterlibatan investor asing seperti Cina dan UEA tidak dapat ditampik. Sebab, proyek ini tidak sekadar berbicara investasi, tetapi juga mempertaruhkan kedaulatan nasional yang berkaitan dengan keamanan negara.
Demi Asing dan Prestise: SWF Disahkan, IKN Digadaikan
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM), Bahlil Lahaladia mengatakan Lembaga Pengelola investasi atau Sovereign Wealth Fund (SWF) akan mengelola dana investasi, yang salah satu peruntukannya untuk membangun ibu kota baru di Kaltim. Dana ini bisa bersumber dari luar negeri maupun dalam negeri. (antaranews.com, 08/10/21)
Artinya, sejumlah investor yang akan terlibat dalam proyek IKN ini difasilitasi melalui SWF yang nantinya sumber investasinya akan tercatat sebagai PMA (Penanaman Modal Asing) jika bersumber dari investor asing dan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) jika bersumber dari pemodal dalam negeri. Proyek investasi yang disasar pun beragam. Mulai dari infrastruktur, pengembangan ibu kota baru dan sektor energi.
Dari sini kita melihat korelasi antara UU Omnibus Law Ciptaker, pembentukan SWF dan pembangunan ibu kota baru sebagai tiga fakta yang tak bisa dipisahkan. “Kengototan” pemerintah mengesahkan UU Omnibus Law Ciptaker walaupun penolakan rakyat yang membuahkan unjuk rasa hingga berjilid-jilid meskipun di masa pandemi, membuat pemerintah bergeming. UU Omnibus Law tetap disahkan.
Langkah selanjutnya, sebagai amanat dari UU tersebut, yakni dibentuknya SWF yang bernama Indonesia Investment Authority (INA) yang akan memfasilitasi dana asing masuk ke dalam negeri. Dana yang masuk dalam SWF kemudian akan digunakan untuk kepentingan negara, salah satunya pembangunan ibu kota baru. Itulah kenapa dalam lawatan Jokowi ke UEA awal tahun 2020 lalu, pembentukan SWF menjadi salah satu yang disepakati dan UEA menjadi salah satu sumber pendanaan SWF Indonesia. Bahkan disebut-sebut akan berinvestasi senilai US$10 miliar atau setara dengan Rp144 triliun.
Perpindahan Ibu Kota, Aspek Politis Faktor Utama
Secara historis, perpindahan ibu kota merupakan hal yang lumrah. Walaupun demikian, pemindahan ibu kota tetap memerlukan perencanaan yang luar biasa dan benar-benar matang. Bukan semata ingin meninggalkan “warisan” pemerintahan. Berbagai aspek perlu diperhatikan, baik dari sisi kota yang akan dibangun, kota yang akan ditinggalkan serta efektivitas pembangunannya yang tidak akan mengganggu aktivitas rakyat.
Dalam masa peradaban Islam, perpindahan ibu kota negara biasa terjadi. Tercatat sedikitnya, empat kali perpindahan ibu kota. Namun, yang jadi faktor perpindahan tersebut disebabkan faktor politik. Juga seluruh kebijakan yang dicanangkan berfokus pada kemaslahatan umat. Sumber pendanaan resmi dari kekuatan dalam negeri, sehingga tidak mengancam kedaulatan negara.
Sumber pendanaan difokuskan guna menjamin keselamatan jiwa sesuai pandangan syariat. Bukan dari investasi atau utang yang lagi-lagi rakyat yang harus menanggung tanggungannya secara tidak langsung. Dalam Islam, sudah diatur bagaimana negara Khilafah mendapatkan sumber pemasukan untuk membangun stabilitas dalam negeri. Salah satunya berasal dari pos kepemilikan umum. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah saw., “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air dan api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Selain pos kepemilikan umum, ada sumber lain yaitu fa’i (harta rampasan perang), kharaj, dsb.
Adapun dari sisi pembangunan tata kota, yang dikedepankan bukan sekadar tata kota yang smart city semata, melainkan tata kota yang memperhatikan aspek pertahanan terhadap ancaman dan serangan. Sebagaimana pada masa kekhilafahan Khalifah al-Mansur yang membangun empat benteng yang mengelilingi Baghdad. Masing-masing benteng tersebut diberi nama Kufah, Basrah, Khurasan dan Damaskus.
Nama ini sesuai dengan arah gerbang untuk perjalanan menuju kota-kota tersebut. Setiap gerbang memiliki pintu rangkap yang terbuat dari besi tebal, yang memerlukan beberapa laki-laki dewasa untuk membukanya. Tak heran Baghdad dengan cepat bisa menutupi kemegahan Ctesiphon, ibu kota kekaisaran Persia masa itu. Kondisi ini tentu akan sulit direalisasikan jika tata kelola negara masih berkiblat pada sistem Kapitalisme – Sekularisme. Butuh perubahan paradigma baru secara holistik yang bersumber dari Alquran dan As-Sunnah. Wallahu a’lam bi ash-shawwab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!