Jum'at, 8 Rabiul Akhir 1446 H / 5 April 2024 23:58 wib
8.447 views
Benarkah Arab Saudi Tak Jadi Ikut Miss Universe 2024?
Oleh : Desti Ritdamaya
Heboh dunia maya dengan kabar partisipasi Rumi Al Qahtani dari Arab Saudi di ajang Miss Universe 2024, diklarifikasi organisasi tersebut dalam situs resminya (1/04/2024). Organisasi tersebut menegaskan tak ada proses seleksi kontestan dari Arab Saudi tahun ini. Lantas dengan klarifikasi ini, apakah muslim bernafas lega bahwa Arab Saudi tak liberal seperti isu yang berkembang?
Haruslah diingat, Rumi Al Qahtani telah berulang kali mewakili Arab Saudi dalam kontes kecantikan internasional. Dirinya telah berpartisipasi dalam Miss Planet International di Kamboja, Miss Women International di Roma, Miss Europe Continental di Naples, Miss Arab World di Mesir, Miss Arab Unity di Aljazair, serta Miss Timur Tengah dan Afrika Utara di Irak. Hal ini menunjukkan bahwa Arab Saudi merestui dan mendukung penuh Rumi Al Qahtani.
Luka, menyaksikan Arab Saudi gegap gempita dengan Riyadh Season, saat Palestina dibombardir Israel. Luka, Arab Saudi diam-diam normalisasi dengan Israel, bahkan membantu penjajah menghentikan perjuangan mujahidin, saat syuhada Palestina tak terhitung lagi. Hari ini terluka lagi, mengetahui Arab Saudi berulang kali secara resmi mengirimkan putri kandungnya dalam ajang buka aurat dan kemaksiatan.
Wajar terluka. Syu’ur (perasaan) Islam pribadi muslim tak pernah rela, Arab Saudi sebagai tempat lahir dakwah Islam tak menjadi junnah (perisai) yang menolong saudara seiman. Sebagai tempat dua kota suci (Mekkah dan Madinah) tak menjadi teladan penerapan syari’at Islam kaffah. Sebagai tempat arah kiblat muslim sedunia, menjadi pengekor peradaban Barat.
Arab Saudi Negara Tauhid?
Masih segar dalam ingatan, tahun 2019 Arab Saudi mengizinkan bukan pasangan suami istri untuk tinggal sekamar tanpa melampirkan surat nikah. Tahun 2021, menyediakan pantai yang membebaskan perempuan berbikini dan menikmati setelan keras musik Barat. Tahun 2022, tak mewajibkan lagi perempuan berhijab dan menganggapnya sebagai urusan pribadi. Di tahun yang sama, membolehkan perayaan agama selain Islam beserta penjualan dan penggunaan ornamen perayaannya secara terbuka. Tahun 2023, membuka kasino internasional di Pulau Tiran dan Sanafir di sekitar Laut Merah. Awal tahun ini, melegalkan penjualan alkohol bagi non muslim. Pun tak terhitung lagi adanya festival musik dan tari, pemutaran film asing di bioskop, dan campur baur penonton di gedung olahraga. Miris.
Mengkaji sejarah, sejak proklamasi Kerajaan Arab Saudi (23 September 1932), syari’at Islam kaffah memang sudah ‘lepas’ dari negara ini. Dimulai dari sistem pemerintahan, dengan menerapkan monarki absolut yang menjadikan raja memiliki kewenangan mutlak. Sistem pemerintahan ini tegak ‘hasil’ kerjasama dan kolaborasi dengan penjajah Inggris saat melawan Khilafah Turki Utsmani dalam perang dunia 1.
Pemerintahan yang tak sesuai syari’at Islam ini, secara otomatis melemahkan penerapan syari’at Islam aspek lain. Dalam aspek ekonomi, politik dan pertahanan keamanan, Arab Saudi menerapkan ideologi kapitalisme. Syari’at Islam yang tersisa hanyalah ibadah ritual dan uqubat. Pun untuk uqubat realitas penerapannya tebang pilih. Berlaku untuk rakyat sipil, sedangkan level para penguasa dan kroninya ‘bebas’. Ini menunjukkan bahwa sudah sejak lama Arab Saudi sekuler (memisahkan syari’at Islam dalam pengaturan kehidupan publik). Seiring berjalannya waktu, makin kesini wajah sekuler dan liberal bertambah akut.
Perubahan Berdalih Modernitas, Benarkah?
Berdalih menuju modernitas dengan Visi 2030 menjadi proyek ambisius pemimpin de facto Arab Saudi dua dekade terakhir. Hal yang menjadi target, yaitu perekonomian yang tak tergantung minyak, peningkatan taraf hidup rakyat dan kedudukan teratas di pentas dunia. Untuk mencapai target ini, Arab Saudi memasifkan sektor pariwisata bercitra internasional. Dengan mereformasi kehidupan sosial yang semula dianggap konservatif menuju keterbukaan (baca : sekuler dan liberal).
Telaah kebijakan penguasa Arab Saudi tersebut dari sudut pandang ideologi Islam, harus diakui terjadi penyimpangan. Yaitu penyimpangan dalam mafahim (pemahaman), maqayis (standar) dan qanaat (keyakinan/penerimaan) Islam. Pemikiran dan tsaqafah Islam terkait aturan interaksi manusia dengan manusia, tak lagi dijadikan pemahaman (diyakini kebenarannya) sehingga tak diamalkan dalam kehidupan publik. Pemikiran dan tsaqafah Islam sekadar menjadi tulisan di kitab-kitab yang dibaca dan dipelajari para ulama. Tak dianggap kebenaran oleh para penguasa sehingga berlepas diri dalam mengamalkannya. Terbukti para ulama yang mengkritisi kebijakan penguasa ditangkap dan dibunuh berdalih makar.
Efeknya standar dan tolak ukur negara (penguasa) dalam menilai haq dan batil bukan lagi ideologi Islam, tapi pemikran dan tsaqafah Barat. Ideologi Islam dianggap usang dan keterbelakangan. Akhirnya penerimaan/keridhaan negara (penguasa) terhadap ideologi Islam luntur dalam kehidupan. Lebih memilih penerimaan pandangan global yang dikuasai ideologi kapitalisme dengan nilai sekuler. Mengapa ini terjadi?
Tak ada sebab lain kecuali lemahnya pegangan negara (penguasa) dalam akidah Islam. Negara (penguasa) tak menjadikan akidah Islam sebagai qaidah fikriyyah (landasan/cara berpikir) dan qiyadah fikriyyah (tuntunan/kepemimpinan peradaban). Hanya mencukupkan akidah Islam sebagai keyakinan individual antara hamba dan Allah. Imbasnya pengabaian terhadap keterikatan dan penerapan syari’at Islam dalam kehidupan. Dapat dikatakan kacamata kehidupan semata dunia bukan lagi akhirat.
Ditambah lagi adanya penyakit inferiority complex dalam tubuh kaum muslim. Terlalu silau pada kemajuan sains teknologi Barat. Menganggap kemajuan, keunggulan dan kejayaan berbasis pada nilai dan tsaqafah Barat. Sehingga mengejar ketertinggalan dengan mengadopsi peradaban Barat seraya meninggalkan ideologi Islam warisan agung Rasulullah SAW.
Penerapan Syari’at Islam Kaffah Kebutuhan Umat
“Sesungguhnya kita adalah kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam, maka janganlah kita mencari kemuliaan dengan selainnya.”
Benarlah perkataan khalifah Umar bin Khattab di atas, bahwa kemuliaan dunia akhirat hanya diraih dengan Islam. Terbukti selama 13 abad masa keemasan dan keagungan peradaban Islam. Yaitu sejak masa kepemimpinan Rasulullah SAW di Madinah (622-632 M) sampai runtuhnya Kekhilafahan Turki Utsmani (3 Maret 1924 M). Peradaban Islam menguasai 2/3 wilayah dunia dengan jaminan kesejahteraan dan keamanan. Peradaban Islam lentera ilmu, yang melahirkan banyak ilmuwan berkaliber internasional dengan torehan karya-karya luar biasa dan bermanfaat bagi umat. Peradaban Islam dinamo penggerak kebangkitan peradaban dunia. Ya apabila jujur melihat sejarah, sesungguhnya dunia hari ini berutang pada peradaban Islam.
Keagungan tersebut karena ideologi Islam diamalkan dan diemban secara harmoni oleh individu, masyarakat dan negara. Baik dalam aspek hablumminAllah (ibadah ritual), hablumbinnafs (makanan, minuman, pakaian) dan hablumminannas (pendidikan, ekonomi, pergaulan, sosial, budaya, hukum, pemerintahan dan sebagainya). Kaum muslim pun bangga dengan identitas iman dan takwa. Ya tak ada jalan lain, untuk meraih khaira ummah (umat terbaik) hanya dengan penerapan syari’at Islam kaffah dan membuang kapitalisme sekuler ke tong sampah peradaban. Allah berfirman :
وَلَا تَهِنُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَنْتُمُ الْاَعْلَوْنَ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
Artinya : Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman (QS. Ali 'Imran ayat 139). Wallahu a’lam bish-shawabi. (rf/voa-islam.com)
ILustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!