Sabtu, 10 Jumadil Akhir 1446 H / 14 Oktober 2023 22:08 wib
31.596 views
Kisah Keikhlasan Seorang Pemuda
Dekat kota Mekkah saat itu. Perut pemuda itu kosong. Tak ada yang bisa ia makan hari ini.Sepeserpun uang tak ada di tangan. Dengan penuh harap ia terus berdzikir, barangkali dengan itu ia bisa melupakan sedikit kelaparannya.
Tiba-tiba ia menemukan sebuah kantong sutera yang dipintal dengan rumbai dari sutera juga. Diambillah kantong itu.Dibawanya ke rumah.Ia memeriksa isinya dan menemukan sebuah kalung yang sangat indah dengan hiasan mutiara. “Aku belum pernah melihat yang seperti ini” katanya.
Maka keluarlah ia dari rumahnya, dengan perut yang masih keroncongan.
Sayup-sayup ia mendengar seruan seorang tua yang sedang mencari barangnya yang hilang, “siapa yang mengembalikan kantong yang berisi mutiara itu kepadaku, maka aku akan berikan ia ini” sambil menyodorkan sebuah kentong berisi lima ratus dinar.
“Aku adalah orang yang membutuhkan, aku sedang kelaparan, maka bisa saja aku ambil emas pemberiannya itu dan ku kembalikan kantong suteranya,” gumam pemuda itu dalam hati.
Maka pemuda itu menemui orang tua tadi dan mengajaknya untuk mengambil barangnya yang telah ia temukan. Sebelum memberinya, ia menguji orang itu untuk menyebut satu persatu ciri dari barang-barang yang ada dalam kantong itu, berharap ia tak memberikan kantong temuannya itu pada orang yang salah.
Orang tua itu menjelaskan dengan detail ciri dari barang tersebut.Tak ada yang salah.Semuanya tepat.Lengkap dengan bentuk dan warna. Jumlah dan lapisan-lapisannya.Pemuda itu percaya dan memberikan kembali barang itu pada pemiliknya.
Sesaat ketika pemuda itu ingin pergi, orang tua itu menahannya, “ini untukmu nak, karena kau telah baik karena mengembalikan barangku yang sangat berharga ini.” Sambil menyodorkannya uang sebanyak lima ratus dinar.
“Pak, mengembalikan barang itu adalah kewajiban saya, maka tidak perlu bayaran untuk sebuah kewajiban.” Jawabnya, orang tua itu kembali memaksanya untuk menerima tanda terima kasih darinya, tapi pemuda itu tetap menolaknya, baginya itulah kewajiban, maka tak pantas bagi ia untuk mengambil imbalan.
Hingga pada akhirnya, orang tua itu menyerah, dan pergi meninggalkan pemuda jujur tersebut.
Suatu waktu, pemuda itu berlayar di lautan dengan sebuah kapal, Qodarullah kapal yang ia tumpangi terbelah, hingga banyak orang-orang yang berlayar bersamanya tenggelam, sedangkan ia meraih sebuah potongan dari kapal tersebut, mencoba menyelamatkan diri dengannya.
Untuk beberapa saat Ia terombang-ambing di lautan, tak tau ke mana ia akan ditiup angin dan diterpa ombak, hingga pada akhirnya ia terdampar pada sebuah pulau berpenduduk. Pemuda itu segera membersikan dirinya, dan mencari masjid sebagai tempat bernaung untuk beberapa saat.
Suatu kali ia membaca hafalan Qur’annya, tiba-tiba ada yang mendengar bacaanya yang merdu, hal itu menjadi buah bibir orang-orang di pulau, menceritakan kefasihan dan kemerduan bacaan Quran pemuda tersebut.
Dalam waktu singkat, “tidak ada seorangpun di pulau itu, kecuali datang kepadaku untuk memintaku mengajarkannya membaca Al-Qur’an” kata pemuda itu berkisah. Dari mengajarkan Quran itu ia mendapatkan harta yang sangat banyak dari para penduduk pulau tersebut.
Kemudian suatu kali ia melihat sebuah kertas bertuliskan Al-Quran di masjid tersebut, dan mulai membacanya. Orang-orang pun datang kepadanya dan bertanya “apakah kau juga bisa menulis dengan baik?”, “iya aku bisa” jawabnya, maka datanglah para penduduk pulau itu kepadanya bersama anak-anak mereka baik yang masih kecil maupun yang remaja meminta diajarkan menulis. Lagi-lagi ia mendapatkan harta yang banyak dari pekerjaannya itu.
Hingga sampailah di suatu hari, para penduduk itu berkata padanya, “nak, kami memiliki seorang gadis yang telah kehilangan orang tuanya, ia memiliki harta warisan yang sangat banyak dari mereka, kami ingin engkau menikahinya, maukah kau menerima tawaran kami ini?.” Karena kaget dan tak percaya apa yang sedang terjadi, spontan pemuda itu menyatakan keengganannya untuk menikahi gadis tersebut.
Para penduduk pulau itu memaksanya, “kamu harus menikahinya nak.” Mereka memelas kepadanya, karena mereka pikir, pemuda inilah yang paling pantas untuk menjadi pendamping hidup gadis yang sangat mereka sayangi itu. Hingga pada akhirnya pemuda itu menyanggupi permintaan mereka.
Tibalah saat dimana mereka mempertemukan pemuda tersebut dengan gadis kesayangan mereka, untuk melakukan nadzor (melihat calon pasangan sebelum melanjutkan ke tahap selanjutnya dalam pernikahan).
Duduklah pemuda tersebut dalam sebuah ruangan bersama dengan orang-orang yang mendampinginya, dan dipangillah gadis tersebut untuk keluar menemui sang pemuda. Tak disangka, pemuda tersebut takjub, tak berkedip, melihat ke arah gadis itu, tapi bukan karena kecantikannya yang membuat takjub, tapi yang membuatnya begitu kaget dan terkejut adalah kalung mutiara yang sedang melingkar indah di lehernya. Ternyata itu adalah kalung yang sama persis dengan kalung yang dulu pernah ia temukan.
“Wahai anak muda,” kata seseorang di sekitarnya, “kau telah mematahkan hati gadis itu, karena kau hanya memandang ke kalungnya dan tidak memandang dirinya.” Maka mulailah pemuda itu mengisahkan kejadian yang telah ia alami. Tiba-tiba orang-orang di situ menangis, bertakbir, bertahlil mendengar cerita pemuda itu.
“Ada apa dengan kalian?” Pemuda itu bertanya keheranan, “orang tua yang telah kau kembalikan kepadanya barang yang hilang itu adalah ayah dari gadis ini, pada suatu kali ia datang dengan air mata bercucuran, dan berkata ‘aku tidak pernah bertemu dengan seorang pemuda seperti pemuda yang telah mengembalikan kalung ini padaku.’ Kemudian ia berdoa ‘ya Allah pertemukanlah aku lagi dengan pemuda itu agar aku nikahkan ia dengan putriku’ dan hari ini hal itu benar-benar terjadi!” kata salah seorang di sekitarnya. Mendengar itu pemuda tersebut menangis terharu bersama orang-orang tersebut.
Singkat cerita, menikahlah ia dengan gadis itu, mereka dikaruniai dua orang anak. Dan nama pemuda itu adalah Al-Qadhi Abu Bakar ibn Muhammad ibn Abdul Baqi Al-Baghdadi Rahimahullah. 442-535 Bagdad.
Kisah ini terdapat dalam kitab Safhat Min Sabril ‘Ulama ‘Ala Syadaidil ‘Ilmi Wa Tahshil, karya Abdul Fatah Abu Guddah Rahimahullah. Halaman 222. [PurWD/IKAMMI/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!