Sabtu, 5 Rabiul Akhir 1446 H / 22 Agutus 2020 13:29 wib
3.764 views
Oligarki Berjubah Demokrasi
Oleh:
Zaenal Abidin Riam || Koordinator Presidium Demokrasiana Institute
SEPEKAN terakhir ini ruang publik diramaikan dengan isu oligarki. Pemerintahan yang sedang menjalankan kekuasaan dituding menjalankan praktik oligarki terselubung. Seperti biasa, respon pendukung kekuasaan sudah bisa ditebak, menolak tuduhan tersebut.
Isu oligarki memang selayaknya diurai secara jernih. Dibutuhkan beberapa penjelasan awal guna mendudukkan posisi oligarki dalam ruang pemerintahan yang sementara berlangsung. Kata oligarki berasal dari Bahasa Yunani “oligarkhia” bila dirunut ke akarnya ada dua kata yang menyusunnya yakni “ologon” yang berarti sedikit dan “arkho” yang memiliki arti memerintah. Oligarki kemudian didefinisikan sebagai bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dikendalikan oleh sekelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer.
Mark Bovens dan Anchrit Wille dalam sebuah karya yang berjudul Diploma Democracy: The Rise of Political Meritocracy menekankan bahwa demokrasi sesungguhnya merupakan sistem yang dicetuskan sebagai bentuk penentangan terhadap kekuasaan yang diwariskan secara turun temurun. Kekuasaan secara turun temurun merupakan praktik oligarki yang nyata.
Di berbagai Negara Eropa yang menerapkan demokrasi golongan bangsawan yang turun temurun perlahan digantikan oleh kelompok elit terdidik selama abad ke-20. Mekanisme pemilihan umum oleh rakyat dalam Negara demokrasi diharapkan bertindak sebagai senjata pamungkas untuk memutus mata rantai oligarki. Harapannya melalui pemilu, rakyat dari semua kalangan punya kesempatan sama menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Sehingga pemerintahan diisi oleh orang dari berbagai latar belakang, situasi ini diharapkan mampu mencegah munculnya sekelompok elit kecil yang mengontrol kekuasaan.
Sayangnya cita ideal tersebut tidak seindah dengan kenyataan di lapangan demokrasi. Tesis tersebut lupa memperhitungkan bahwa untuk ikut dalam perhelatan pemilu, khususnya pemilihan langsung dalam konteks Indonesia, membutuhkan biaya yang amat besar. Pada posisi ini kekuatan uang memainkan peran penting. Rata-rata yang tampil sebagai pemenang dalam kontestasi pemilihan langsung adalah mereka yang punya kekuatan uang yang besar. Yang tidak punya uang banyak, walaupun memiliki kompetensi, akhirnya terpental dari ring pemilihan langsung.
Diakui atau tidak, situasi ini membuka ruang bagi munculnya oligarki terselubung. Kekuasaan dikendalikan oleh mereka yang memiliki kekuatan uang yang besar. Sebab hanya mereka yang bisa masuk ke dalam gelanggang pemerintahan yang dihasilkan lewat sistem pemilu.
Mereka yang menang dalam pemilihan langsung belum tentu bertindak sebagai penguasa penuh. Dalam banyak kasus, uang berlimpah yang digunakan selama kontestasi pemilu merupakan uang “pinjaman” dari para bohir. Para bohir ini bisa saja berlatar belakang pengusaha atau orang yang memiliki kekuatan besar dalam kekuasaan. Sewaktu-waktu mereka harus siap menerima perintah bohir saat telah menjabat. Hal ini menegaskan bahwa untuk memahami oligarki tidak cukup hanya dengan memetakan aparat pemerintah. Sebab jejaring oligarki mengular hingga di luar struktur kekuasaan. Bahkan boleh jadi yang di luar kekuasaan justru lebih berkuasa dibandingkan yang di dalam kekuasaan.
Demokrasi dalam kenyataannya juga tidak bisa sepenuhnya memutus mata rantai politik dinasti. Politik kekuasaan yang diwariskan secara turun temurun, caranya memang lebih halus, tidak menggunakan pelimpahan kekuasaan ala zaman monarki. Tetapi beraksi dengan cara menunggangi prosedur demokrasi. Dalam sistem demokrasi tidak ada larangan bagi siapapun untuk maju dalam perhelatan pemilihan langsung, baik itu pilkades, pilkada, sampai pilpres.
Aturan ini dimanfaatkan dengan sangat baik oleh petahana yang berkeinginan merawat dinasti politiknya. Didukung oleh pengaruh kekuasaan dan kemampuan modal, para petahana tersebut bisa leluasa mendorong keluarga mereka maju dalam pemilihan. Hasilnya walaupun tidak semua berhasil namun banyak yang menjadi pemenang. Akhirnya kekuasaan secara turun-temurun kembali terjadi. Dan ini merupakan bentuk oligarki, bahkan dalam daerah tertentu ditemukan kasus di mana pimpinan eksekutif dipegang sang ayah sedangkan legislatif dipimpin sang anak.
Jika beranggapan bahwa praktik oligarki wajar di Indonesia karena kita merupakan Negara yang belum lama mengadopsi demokrasi. Maka anggapan itu keliru. Faktanya di Negara yang sudah sangat lama menerapkan demokrasi, contohnya di Amerika Serikat, praktik oligarki juga terjadi.
Dalam sebuah artikel di majalah the economist yang berjudul An Hereditary Meritocracy, meski penempatan orang sesuai kemampuan atau meritokrasi, menjadi standar untuk menduduki posisi penting di Amerika Serikat. Namun hal tersebut tidak mampu membendung praktik politik turun temurun, hanya saja bentuknya menjadi lebih canggih.
Agar kualifikasi meritokrasi terpenuhi, kelompok elit yang berkuasa tidak asal memberi jabatan kepeda keturunan mereka. Tetapi anak-anak mereka terlebih dahulu diberi pendidikan tinggi, sehingga nampak layak menduduki sebuah posisi. Tentu mereka bisa melakukannya dengan mudah karena memiliki sumber finansial. Situasi ini pada dasarnya juga membentuk oligarki dalam lingkaran kekuasaan. Fakta ini sekaligus menjelaskan betapa susahnya warga biasa AS. Yang meskipun punya bakat, tetapi tidak terlahir dari kalangan elit, untuk keluar dari kelas bawah, lalu mendapatkan posisi dalam pemerintahan.
Isu oligarki yang ramai digoreng belakangan ini, sepatutnya tidak usah memancing pihak tertentu bersikap reaktif. Faktanya oligarki memang masih tumbuh subur dengan menggunakan jubah demokrasi. Ini adalah jenis “oligarki malu-malu”. Yang mesti diseriusi adalah bagaimana memusnahkan oligarki jenis ini, agar tidak menjadi duri demokrasi.
Oligarki hanya bisa diatasi dengan idealisme berdemokrasi. Idealisme akan menuntun kita untuk tidak lagi menjadikan politik uang sebagai jalan pintas meraih kekuasaan. Politik uang merupakan penyebab utama kandasnya figur kompeten namun minim dana dalam pemilihan langsung. Politik uanglah yang menjadikan biaya politik amat sangat mahal. Selain idealisme berdemokrasi, dibutuhkan juga moral dan etika berdemokrasi. Seorang petahana meski memiliki kekuasaan dan sumber dana. Namun ia memiliki kekuatan etika dan moral, tentu tidak akan tertarik mendirikan dinasti politik. Sebab moral dan etika yang ia punya, akan menuntunnya mendistribusikan peluang kekuasaan kepada semua kalangan.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!