Jum'at, 11 Rabiul Akhir 1446 H / 16 Mei 2014 10:50 wib
11.744 views
Kritik Pada Bambang Harimurti: Agama & Jurnalistik, Haruskah Dipertentangkan?
Oleh: Surya Fachrizal Ginting
BELUM lama ini Penulis mengikuti acara “Lokakarya Peliputan di Wilayah Konflik”, kerjasama Komite Internasional Palang Merah (ICRC) dengan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), 13 – 14 Mei 2014 di Jakarta.
Peserta lokakarya adalah para wartawan dari media massa – media massa berbasis agama. Pihak penyelenggara berpendapat, tema lokakarya ini penting untuk dipahami oleh media massa berbasis agama karena media jenis ini punya peran signifikan dalam pemberitaan masalah konflik. Entah pemberitaan tersebut membantu penyelesaian konflik atau malah memparah.
Para pembicara adalah para praktisi yang kaya pengalaman. Baik pengalaman lapangan dan pengalaman akademis. Contoh-contoh kasus yang dihadirkan berdasarkan pengalaman, hingga membuat lokakarya terasa dinamis dan tidak membosankan.
Ide-ide yang disampaikan pembicara adalah, media massa dan jurnalisnya agar bisa bersikap netral, berpihak kepada masyarakat sipil yang menjadi korban, mengakomodasi seluruh pihak yang terkait, membuat laporan yang konprehensif, dan lain sebagainya.
Penyelenggara juga memberikan pendekatan ajaran-ajaran agama yang dianggap selaras dengan Hukum Humaniter Internasional. Para peserta umumnya bisa menerima gagasan tersebut secara global.
Yang menjadi sorotan Penulis adalah, pandangan sebagian pembicara -yang notabene wartawan senior dari media yang cukup beken di negeri ini – bahwa agama yang dianut seorang wartawan / jurnalis adalah faktor yang membuat berita tentang konflik berpotensi besar menjadi bias.
Para pembicara itu tentu tidak mengatakan mereka adalah Ateis. Bahkan mereka tak sungkan mengaku sebagai Muslim. Tapi pembicara tersebut mengakui, agama yang mereka anut punya potensi membuat karya jurnalistik mereka menjadi bias. Sehingga jurnalis perlu cermat memposisikan antara dirinya dengan agama yang dianutnya.
Konsekuensinya, sejumlah pembicara tersebut mengaku menjadikan jurnalisme sebagai identitas utama mereka. Agama, suku, ras, golongan, dan lainnya adalah nomor kesekian. Sebagai seorang jurnalis harus bisa menyampaikan fakta meskipun itu tidak menguntungkan agama mereka.
Lebih jauh lagi, ada seorang pembicara yang memulai diskusinya dengan menanyakan seorang peserta lokakarya; apakah Tuhan itu fakta jurnalistik? Pembicara itu juga mengatakan, orang yang taat beragama itu akan sulit menjadi wartawan yang profesional.
Alih-alih membicarakan teknik jurnalistik, diskusi itu malah menjadi debat filsafat ketuhanan yang menyulut banyak tanggapan dan sanggahan.
Penulis menanggapi pernyataannya dengan mengatakan, jika orang yang taat beragama sulit menjadi jurnalis profesional, maka orang yang suka maksiat akan mudah menjadi wartawan profesional. Sehingga seorang wartawan profesional harus doyan mabuk, berzina, dan aksi-aksi maksiat lainnya.
Sang Pembicara menanggapi kesimpulan Penulis dan menganggap melompat terlalu jauh. Karena pernyataanya itu tidak semestinya bisa diartikan secara terbalik. Malah katanya, meski sulit, orang yang taat beragama mampu berkontemplasi dalam melakukan tugas jurnalistiknya. Dan bisa menjadi wartawan yang baik sekali.
Namun, pembahasan soal apakah Tuhan itu fakta jurnalis atau bukan, belum selesai. Sang Pembicara berkeras meyakini Tuhan bukanlah fakta jurnalistik. “Walaupun saya seorang Muslim,” kata wartawan senior itu.
Katanya, meskipun bukan fakta jurnalistik bukan berarti Tuhan itu fiksi. Fakta harus bisa dilihat dan diibuktikan keberadaanya dengan alat indera manusia. Dia menjelaskan, fakta dalam jurnalistik tidak bisa berhenti atau tidak adalah istilah “titik” dalam fakta jurnalistik.
Dia mencontohkan, fakta yang ditulis media hari ini boleh jadi dibatalkan dengan fakta yang mungkin hadir di masa datang.
Apapun alasanya, Penulis menilai, pendapat tentang Tuhan dan Fakta oleh pembicara tersebut sarat masalah. Terlebih jika pendapat itu juga disetujui para punggawa dan institusi pers negeri ini. Apalagi jika keyakinan si Pembicara itu benar-benar dijadikan ukuran kompetensi dan profesionalitas seorang jurnalis.
Karena dengan hal itu, Pembicara seolah tengah memaksakan standar/keyakinan mereka sendiri kepada orang tidak sejalan dengan mereka. Padahal mereka selalu mengaku sebagai pejuang kebebasan, termasuk kebebasan keyakinan dan berpendapat.
Dengan berkeras berpendapat, ‘Tuhan bukan fakta jurnalistik’, seolah menunjukkan adanya usaha dari sang Pembicara untuk menilai, bahwa jurnalis yang percaya Tuhan sebagai fakta, maka dia bukanlah jurnalis profesional.
Atau lebih parah lagi, jika hal itu berujung pada penilaian, orang yang yakin Tuhan sebagai fakta maka dia bukan jurnalis dan medianya bukanlah produk jurnalistik. Dan, anggapan seperti itu memang telah diadopsi sebagian wartawan “profesional” terhadap media massa berbasi agama, khususnya media massa Islam.
Penulis berkesimpulan, para Pembicara tersebut memandang media Islam dan wartawannya menghalalkan pembelaan membabi-buta terhadap segala hal tentang Islam tanpa melihat fakta, rasa, dan keadilan. Apa benar begitu?
Tanpa bermaksud menghakimi, penulis merasa Pembicara itu tidak memahami atau tidak mau memahami tuntunan Islam -agama yang dianutnya sendiri- dalam memandang konflik.
Padahal sejarah Islam tidak melulu menulis orang Islam tidak pernah berbuat salah. Sejarah Islam yang ditulis para ulama dan ahli sejarah Islam juga mencatat kesalan-kesalahan kaum muslimin.
Sejarah Islam mencatat Khalifah Ali bin Abi Thalib pernah kalah perkara di pengadilan karena tidak bisa membuktikan seorang Yahudi telah mencuri baju perangnya. Padahal pengadilan itu berlangsung di bawah kekhalifahannya.
Contoh lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam juga pernah menyalahkan seorang sahabat yang membunuh seorang tentara musuh padalah tentara itu telah menyerah dan mengucapkan syahadat.
Tak Perlu “Kafir” atau Atheis
Persoalan netralitas dalam kerja jurnalistik selama ini memang menjadi bahasan hangat. Tapi umumnya meyakini, seorang jurnalis profesional harusnya ‘melepaskan identitas/iman agama yang dianutnya’ ketika hendak menggali dan menulis fakta, seolah dengan begitu semua bisa fair. Padahal faktanya tidak.
Kasus ini juga menjadi kajian menarik di Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), yang percaya seseorang bisa netral dari agama, namun tak akan mungkin bisa netral dari orientasi paham yang diikutinya.
Biasanya, pemikiran seperti ini dipilih wartawan yang cenderung memiliki paham liberal, di mana ia bisa netral terhadap agamanya sendiri, tapi ia tetap berkecenderungan membela paham liberal-nya.
Sementara dalam Islam (jika memang mengaku seorang Muslim yang benar), masalah iman adalah inti dari agama. Melepas ‘keimanan’ atas nama netralitas walau sekejab, sudah tergolong kafir (secara harfiah kafir berarti orang yang mengingkari kebenaran). Jika netral itu harus tidak ‘beriman’ pilihannya dia pasti kafir atau Atheis.
Meminjam istilah Dr Adian Husaini, seseorang bisa saja menjadi Muslim sekaligus wartawan yang baik pada saat yang sama tanpa perlu jadi kafir atau Atheis. Sebab seseorang tidaklah mungkin pernah netral, karena orang pasti berpihak.
Namun paling mendasar dari lokakarya itu adalah, bagaimana seharusnya kita menempatkan jurnalistik atau jurnalisme sambil menjadi seseorang yang taat dalam beragama. Lebih spesifik lagi, bagaimana seorang Muslim menempatkan jurnalisme dan semua nilainya?
Kalau lembaga-lembaga pers masih mesti mensyaratkan seorang jurnalis haruslah bisa ‘menyingkirkan keyakinan agamanya’ saat bertugas sebagai jurnalis, maka media Islam dan para wartawannya tidak sepatutnya menerimanya.
Lebih jauh, media Islam dan para wartawannya juga tidak perlu ‘mengemis-ngemis’ meminta pengakuan sebagai seorang jurnalis dengan menyingkirkan agamanya dan berusaha gemar berbuat maksiat demi mencapai predikat “jurnalis profesional”.
Tulisan ini adalah rintisan gagasan yang belum lengkap dan final tentang bagaimana menyeleraskan secara hakiki antara agama dan jurnalistik (me).*
Penulis adalah sartawan Kelompok Media Hidayatullah, Aktivis Jurnalis Islam Bersatu (JITU)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!