Kamis, 13 Jumadil Awwal 1447 H / 12 Agutus 2010 13:08 wib
  3.452 views
								
							
								
								Sikap Ambigu SBY Soal ''Terorisme''
								Aparat selalu mengkaitkan umat Islam, jihad, dakwah, dan Islam, dengan “terorisme”
Oleh: Harits Abu Ulya*
 
AKHIRNYA Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) angkat bicara juga soal  terorisme. Sebelumnya, lewat  Jubir Presiden, Julian A Pasha, menyatakan  bahwa Presiden SBY sudah mengetahui perihal penangkapan Abubakar  Ba’asyir melalui Kapolri hari Senin (9/8). Sebelumnya, juga dijelaskan  bahwa penangkapan tersebut bukan intruksi dari SBY. Dalam rapat  Kabinet  di Sekretariat Negara, SBY bahkan kembali mengatakan bahwa  kasus  terorisme tidak bisa dikaitkan dengan agama maupun politik.
"Saya tidak pernah membawa terorisme ke politik, karena bukan politik."
"Dan kita tidak boleh mengaitkan teroris dengan agama, karena itu bukan agama," ujar SBY.
SBY  juga mempercayakan kepada penegak hukum untuk menangani dengan cara  tepat, profesional, akuntabel, dan dapat dijelaskan kepada publik.  Bahkan menambahkan bahwa masalah ini sensitif dan sering melahirkan  salah paham di antara masyarakat terhadap apa yang dilakukan penegak  hukum.
Jejak Sikap SBY
Rasanya kelewat wajar kalau  sebagian orang mengkritik sikap SBY yang ambigu. Bahkan ada yang  mengatakan lebay. Dalam kasus terorisme, masih terekam beberapa jejak  sikap SBY yang ditampilkan di hadapan publik yang menunjukkan  ambiguitasnya.
Menjelang Pemilu Presiden di tahun 2009 silam, SBY  mengomentari peristiwa bom di JW Marriott dan The Ritz Carlton, 17 Juli  2009.   SBY mengatakan secara eksplisit, dirinya termasuk salah satu  target incaran penembakan oleh kelompok yang ingin menggagalkan  pemerintahan yang demokratis.
“Berdasarkan laporan intelijen, ada  upaya yang sistematis menggagalkan kelangsungan pemerintahan yang  demokratis ini,” ungkap SBY merespon tragedi  pengeboman di kawasan Mega  Kuningan 17 Juli 2009.
Hal yang sama sebelum penangkapan  orang-orang yang diduga teroris dan kemudian disusul penangkapan ustad  ABB, SBY juga mengeluh menyatakan dirinya menjadi sasaran kelompok  teroris.  “Saya dapat laporan tadi malam dari jajaran pengamanan, ada di  antara anak bangsa yang punya niat tidak baik yang sekarang ada di  sekitar Ciwidey,” ujarnya. (Detiknews, 7/10/2010).
Di  tahun 2010, tepatnya di bulan Mei Presiden SBY juga mengeluarkan  pernyataan terkait kasus terorisme juga. Dalam keterangan persnya di  Bandara Halim Perdanakusumah, Senin (17/5/2010) sebelum bertolak ke  Singapura dan Malaysia, Presiden SBY menegaskan tujuan dari para teroris  adalah mendirikan negara Islam. Padahal, menurut SBY, perdebatan  tentang pendirian negara Islam sudah rampung dalam sejarah Indonesia.  Aksi teroris juga bergeser dari target asing ke pemerintah. Ciri lain,  menurut Presiden, para teroris menolak kehidupan berdemokrasi yang ada  di negeri ini. Padahal, demokrasi adalah sebuah pilihan atau hasil dari  sebuah reformasi. Karena itu menurut Presiden keinginan mendirikan  negara Islam dan sikap antidemokrasi, tidak bisa diterima rakyat  Indonesia.
Di satu sisi kita memang bisa menyaksikan keberanian  luar biasa pihak Polri menangkap kesekian kalinya ustad ABB. Sebagian  pihak menganggap tentu langkah ini dengan pertimbangan matang dan tidak  gegabah. Terutama ketika Polri merasa memiliki bukti (data) yang  meyakinkan untuk kembali menjerat Ustad ABB. Dan akan menjadi beban  moral yang sangat besar sekiranya kalau aksinya kali ini  tidak bisa  membuktikan di depan pengadilan. Sebaliknya, jika mampu menunjukkan itu,  tidak menutup kemungkinan Ustad ABB akan dikenakan hukuman penjara  seumur hidup atau hukuman mati. Dengan tuduhan pasal berlapis UU  Terorisme, yakni, pasal 14 jo pasal 7, 9, 11, dan atau pasal 11 dan atau  pasal 15 jo pasal 7, 9, 11, dan atau pasal 13 huruf a, huruf b, huruf c  UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,  ancaman maksimalnya hukuman mati.
Jika ini sukses, maka bisa  dipastikan, pemerintah AS, Australia, Singapura dan sekutu AS lainnya,  akan mengulum senyum dan memberi warning bahwa tugas ‘kontra-terorisme’ tidak boleh berhenti sampai di situ.
Di  sisi lain yang tidak bisa diabaikan bahwa selama ini narasi tentang  terorisme datangnya dari sepihak (Polri). Lebih khusus datang dari  Densus 88,  wabil khusus lagi di sana ada Satgas Antiteror di  luar “struktur” yang dikendalikan oleh  Gories Mere, sekalipun saat ini  dia ada di BNN (Badan Narkotika Nasional).
Dan disinyalir karena kedekatan Gories Mere dengan  Karni Ilyas (TV One), menyebabkan isu terorisme masuk barisan terdepan untuk news update berita di TV One.
Oleh  karena itu, pada konteks ini  penanganan kasus terorisme ini patut  diduga  sarat rekayasa, seperti pada kasus-kasus besar yang menghantam  institusi Polri. Misalkan pada kasus rekening gendut, Century gate,  markus, dan semisalnya. Maka jika benar ada dugaan itu, akan susah  membedakan lagi  mana yang salah dan mana yang benar. 
Lebih-lebih  aksi kontra-terorisme selama ini sering dituduhkan olah banyak pihak  sebagai  ‘proyek yang berkelindan di dalamnya kepentingan asing’ dan  dijadikan ajang menunjukkan ‘prestasi’ mencari dana atau langkah  pengalihan isu oleh para “komprador” asing dan kelompok opurtunis lokal.
Pertanyaan untuk SBY
Perlu  kiranya SBY menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut, sekiranya betul  bahwa isu terorisme adalah murni kejahatan dan masuk ranah hukum. Atau  terorisme bukan persoalan politik, juga bukan masalah agama, sebagaimana  yang baru saja ia sebutkan.
Pertama, kalau ada pernyataan  penangkapan ustad ABB bukan intruksi SBY sebagai Presiden, maka artinya  ada distorsi dalam penegakan hukum. Aneh jika Presiden menyatakan  terkejut dengan penangkapan ABB, padahal Densus 88 berada di bawah  kendali Polri, di mana institusi ini bertanggung jawab langsung kepada  presiden. Jadi Densus bekerja untuk siapa?
Sementara dari tahun  2003-2009 Polri sudah menangkap lebih dari 500 orang dalam kasus  terorisme. Dan di masa pemerintahan SBY banyak orang mati. Sekitar 40  orang dieksekusi dengan cara “ekstra judicial killing”. Dan minim sekali  suara yang berteriak untuk mengatakan ini adalah “kezaliman” atau  pelanggaran HAM. Para penggiat HAM juga setengah hati, menyikapi soal  korban proyek kontra-terorisme ini.
Kedua, bukankah  kontra-terorisme telah diadopsi SBY menjadi salah satu prioritas 100  hari kerja pemerintahannya? Diupayakan lahirnya blueprint penanganan  secara komprehensif, yang terbaru dengan dibentuknya  Badan Nasional  Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui Peraturan Presiden no 46 tahun  2010 yang ditandatangani SBY pada 16 Juli lalu, sekaligus ini bukti  implementasi komitmen SBY yang pernah dibicarakan bersama Presiden AS  Obama tentang  terorisme.
Kalau sudah seperti ini, apakah sebagai  Presiden tidak tahu menahu bagaimana langkah demi langkah, tahapan demi  tahapan yang akan dioperasikan institusi terngait yang notabene-nya  semua di bawah kendali Presiden? Bahkan kita yakin, target-target antara  dan puncak target dari proyek kontra-terorisme SBY juga mengetahui.  Jika  SBY tidak mengetahuinya, memangnya beliau anak buahnya siapa?
Ketiga,  jika Presiden SBY menyatakan kasus terorisme tidak ada relevansinya  dengan persoalan politik atau tidak akan menggeret ke ranah politik.  Lantas, kenapa juga membicarakan tentang motif  “negara Islam” dan  terancamnya “demokrasi” dalam konteks ini?
Kelompok yang dicap  “teroris” hendak mendirikan negara Islam, dan SBY sendiri memberikan  prespektifnya bahwa wacana negara Islam bagi Indonesia sudah menjadi  sejarah masa lalu. Begitu juga, tentang ancaman kelompok tersebut  terhadap kelangsungan demokrasi.
Di sisi lain, SBY  menempatkan  dirinya sebagai obyek yang terancam dan pernah mengkaitkan kelompok  terorisme terhadap kelangsungan Pemilu di tahun 2009. Ambigu bukan? Atau  mungkin ada tafsiran lain tentang politik versi Presiden SBY?
Keempat,  kalau SBY menjelaskan kasus ini adalah kejahatan dan tidak terkait  dengan agama, maka ada pertanyaan penting lain. Mengapa SBY tidak pernah  menegur insan media yang sedemikian rupa membangun opini dan persepsi  masyarakat secara kontinyu dan simultan yang  menstigmatisasi Islam  dengan teroris?
Contoh terbaru upaya membangun stigma negatif terhadap Islam, salah satunya tampak dari pemberitaan detik.com dengan judul: “Penggerebekan Teroris di Bandung, Ditemukan Lembaran Kertas Arab Gundul Soal Hijrah dan Jihad.” (Detik.com , 8/8/2010). Di mana dilaporkan dalam mobil milik Fahri, yang ditangkap  Densus 88 karena diduga “teroris”, ditemukan ceceran kertas berisi  tulisan Arab gundul, antara lain soal kumpulan fatwa Ibnu Taimiyyah soal  jihad, hijrah, dan dakwah. Lebih lanjut dilaporkan, ceceran kertas itu  ada yang berupa tulisan tangan dan berupa print out, dengan beragam  ukuran. Semua berisi tulisan Arab gundul.
Wartawan memang tidak  salah, tapi pencantuman istilah Arab, fatwa Ibnu Taimiyyah, jihad,  hijrah, tentu bukan tanpa motif. Sebab pasti ada niat tersembunyi di  dalamnya.  Jika setiap orang membawa kitab Arab gundul dan buku-buku   Ibnu Taimiyyah soal jihad, hijrah dan dakwah itu “teroris”, mengapa tak  sekalian saja datang ke ribuan pondok pesantren di Indonesia yang  jelas-jelas berceceran kitab-kitab Arab gundul untuk menemukan  “teroris”?
Contoh lain, mantan PM Inggris Tony Blair, di hadapan Konggres Partai Buruh pernah menyatakan Islam sebagai ideologi iblis (BBC News, 16 Juli 2005) dengan ciri-ciri : (1) ingin mengeliminasi Israel ; (2)  menjadikan syariat Islam sebagai sumber hukum; (3) menegakkan khilafah;  (4) bertentang dengan nilai-nilai liberal. 
Dan apakah presiden  SBY tidak pernah merasa adanya fakta pengkambinghitaman Islam dan kaum  muslimin dalam persoalan ini? Seharusnya SBY sadar, betapa umat Islam di  Indonesia nyaris tidak bisa memberikan pembelaan, bahkan menerima  kekalahan (apologis) dengan istilah “teroris” itu yang identik dengan;  orang berjenggot, celana cingkrang, gamis, cadar, jidat hitam, orang  yang sering aktif ke masjid, pengajian-pengajian kecil,  pesantren, atau  aktifis yang mengusung penegakkan syariat dalam koridor negara, atau  ketika menempatkan AS adalah musuh Islam.
Peran media dan  wartawan, sudah sangat jelas-jelas mengkaitkan agama dengan isu  “teroris”, tapi oleh SBY umat Islam dilarang mengkaitkan hal itu.  Adilkah hal seperti ini?
Lebih jauh, kalau mau jujur, bukankah  ketika pihak penegak hukum dan lebih khusus Densus 88 atau Satgas Anti  Teror ketika melakukan pemetaan (maping) tentang ancaman, baik  dalam kontek global atau lokal (Indonesia), maka kesimpulanya adalah  Islam sebagai ancaman? Lebih spesifik lagi Islam ideologis, atau  gerakan-gerakan dan kelompok-kelompok yang mengusung Islam sebagai  ideologi, bukan Islam moderat atau Islam Liberal. Lantas bagaimana bisa  SBY mengatakan bahwa perkara terorisme tidak terkait agama? Aneh bukan?
Kelima,  di institusi yang terkait dengan proyek kontra-terorisme di bawah  Kementerian Polhukman, terlihat paradigma yang dibangun ketika berbicara  tentang terorisme selalu dikaitkan dengan pemahaman agama yang dianggap  radikal dan fundamentalis. Karenanya perlu langkah-lengkah  deradikalisasi dengan beberapa strategi yang soft, misalkan dengan  mengarusutamakan tokoh-tokoh Islam moderat, menggalakkan interfaith dialog (dialog antar iman), diterbitkannya buku-buku yang moderat, dan  mengubah kurikulum pesantren atau sekolah, serta strategi lainya yang  semuanya dianggap bisa mempertahankan format Indonesia yang pluralis,  liberal, demokratis yang berdiri di atas ideologi kapitalis-sekuler.  Amat mudah mencari statemen tokoh, pakar, buku atau makalah tentang hal  itu.
Maka bagaimana  SBY menjelaskan ini semua? Rakyat semua  ingat, sikap yang ditampilkan SBY di hadapan publik selama ini adalah  mengedepankan dialog dalam menyelesaikan persoalan, lantas bagaimana  dengan persoalan “teroris”.  Beranikah SBY dialog dan debat terbuka  dengan kelompok-kelompok yang dicap “radikal” dan “fundamentalis” untuk  bicara problem kenegaraan dan politik secara fair dalam rangka  mencari solusi terbaik untuk Indonesia, sehingga SBY dan jajaran di  bawahnya tidak selalu su’udzan dengan apa yang diperjuangkan oleh  kelompok tersebut.
Sekali lagi, wajar kalau akhirnya Presiden SBY  dianggap sangat ambigu dalam kasus “terorisme” ini atau bahkan terkesan  mau “cuci tangan”. Semoga semua pemimpin institusi yang terlibat proyek  kontra-terorisme it, kalau mereka orang muslim, masih tersisa iman dan  Islamnya, hingga sadar tidak ada satu pun perkataan yang keluar dari  mulut mereka, kecuali ada dua malaikat yang mencatatnya dan hisab Allah  SWT adalah seadil-adil hisab.
Umat Islam Indonesia butuh pemimpin  yang bisa melindungi agama dan harga dirinya, bukan sebaliknya.  Yakni  pemimpin yang jadi “hamba” dari penguasa imperialis dan mendzalimi  umatnya sendiri. Wallahu a’lam bisshowab.
Penulis adalah Directur  Halqoh Islam dan Peradaban (HIP), Jakarta dan Ketua Lajnah Siyasiah DPP-HTI 
		
								
								
								Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!