Selasa, 12 Jumadil Awwal 1447 H / 24 Agutus 2010 11:36 wib
  11.077 views
								
							
								
								Imam Hanafi, Ulama yang Berani Menolak Tawaran Penguasa
								Abu Hanifah, hilang rasa lunaknya dan merah kedua matanya, ketika melihat kejahatan atau kemungkaran yang diketahuinya
 

IMAM Abu Hanifah atau Imam Hanafi dikenal sebagai seorang alim dalam ilmu  fiqh di Iraq. Beliau seorang imam Mazhab yang besar dalam dunia Islam.  Diantara empat mazhab yang terkenal, hanya ia yang bukan orang Arab,  yaitu dari Persia.
Lahir di sebuah kota bernama Kufah  pada tahun  80 Hijrah,  bertepatan dengan 699 Masehi. Ketika itu pemerintahan Islam  di tangan Abdul Malik bin Marwan, dari keturunan Bani Umaiyyah.
Kepandaiannya  tidak diragukan lagi. Ia dikenal sebagai seorang yang mengerti betul  tentang ilmu fiqih, ilmu tauhid, ilmu kalam, dan juga ilmu hadith. Juga  padai dalam ilmu kesusasteraan dan hikmah.
Dalam kesehariannya,  ia dikenal sebagai seorang yang bertakwa dan shaleh. Seluruh waktunya  lebih banyak diisi dengan amal ibadah. Jika berdoa, matanya bercucuran  air mata demi mengharapkan keredhaan Allah SWT.
Dia adalah  seorang yang kokoh dan kuat jiwanya, selalu mendekatkan diri kepada  Allah dengan jalan beribadat dan beraklaq karimah. Setiap harinya,  disamping sangat rajin menunaikan kewajiban, beliaupun jarang tidur  dengan pulas meski malam hari. Tiap-tiap malam yang akhir, beliau selalu  shalat lail dan membaca Al-Qur'an sampai khatam.
Imam Syaqiq al  Balkhi berkata: "Imam Abu Hanifah adalah seorang yang terhindar jauh  dari perbuatan yang dilarang oleh agama; ia sepandai-pandai orang  tentang ilmu agama dan seorang yang banyak ibadahnya kepada Allah; amat  berhati-hati tentang hukum-hukum agama."
Imam Ibrahim bin Ikrimah  berkata: "Di masa hidupku, belum pernah aku melihat seorang alim yang  amat benci kemewahan hidup dan yang lebih banyak ibadahnya kepada Allah  dan yang lebih pandai tentang urusan agama, selain Imam Abu Hanifah."
Ujiab Berat
Imam  Abu Hanifah terkenal berani dalam menegakan kebenaran yang telah  diyakini. Berani dalam pengertian yang sebenarnya, berani yang  berdasarkan bimbingan wahyu Ilahi. Beliau tak bagitu cinta terhadap  kemewahan hidup, maka dari itu tak sedikitpun hatinya khawatir menderita  sengsara. Karena menurutnya, sunnatulah masih berlaku bagi manusia,  yaitu bahwa orang yang cinta kemewahan hidup di dunia biasanya menjadi  panakut, tidak berani menegakan kebenaran yang diridhai Allah.
Beliau  adalah seorang yang apabila melihat kemungkaran atau maksiat, dengan  seketika itu juga berusaha memusnahkannya. Sifat kelunakan segera lenyap  dari hatinya, dan merah kedua matanya, kemudian bertindak keras  terhadap kejahatan atau kemungkaran yang diketahuinya.
Beliau  berani menolak kedudukan yang diberikan oleh kepala negara; berani  menolak pangkat yang ditawarkan oleh pihak penguasa waktu itu dan tidak  sagggup menerima hadiah dari pemerintah berupa apapun juga. Hingga  karenyanya beliau ditangkap dan ditahan dalam penjara, dipukul, didera  dan dianiaya di penjara sampai menyebabkan kematiannya. Yang demikian  itu karena beliau seorang pemberani dalam menegakan kebenaran yang  diyakininya.
Suatu hari Gubernur Iraq Yazid bin Amr menawarkan  jabatan Qadli kepada Imam Hanafi, tetapi beliau menolaknya. Tentu saja  sang Gubernur tersingggung dan kurang senang. Perasaan kurang senang itu  menumbuhkan rasa curiga. Oleh sebab itu, segala gerak-gerik Imam Hanafi  diamat-amati. Kemudian pada suatu hari beliau diberi ancaman hukum  cambuk atau penjara manakala masih jua menolak tawaran itu. Sewaktu  mendengar ancaman tersebut, Imam Hanafi menjawab: "Demi Allah, aku tidak  akan menduduki jabatan yang itu, sekalipun aku sampai dibunuh  karenanya."
Akibat penolakan tersebut, Imam hanafi dimasukkan  penjara dan dicambuk sebanyak 110 kali. Sekalipun demikian beliau tetap  bersikeras pada pendirian semula.
Ketika keluar penjara, tampak  di wajahnya bengkak-bengkak bekas cambukan. Hukuman cambuk itu memang  semacam hukuman yang hina. Gubernur sengaja hendak menghinakan diri  beliau yang sebenarnya mulia itu.
Hukuman itu oleh Imam Hanafi  disambut dengan penuh kesabaran serta dengan suara bersemangat beliau  berkata: "Hukuman dunia dengan cemeti masih lebih baik dan lebih ringan  bagiku tinimbang cemeti di akherat nanti."
Demikian hal ihwal  Sang Imam tatkala menghadapi ujian berat pada pertama kali. Padahal  beliau sudah berusia agak lanjut, kurang lebih 50 tahun.
Imam Abu  Hanifah di usia itu sempat menyaksikan peralihan kekuasaan negara, dari  tangan bani Umayyah ke tangan bani Abbasiyyah. Sebagai kepala negara  pertama adalah Abu Abbas as Saffah. Sesudah itu digantikan oleh Abu  Ja'far al Manshur, saudara muda dari Khalifah sendiri.
Pada masa  pemerintahan Abu Ja'far, Imam Abu Hanifah mendapat panggilan ke Bagdad.  Sesampai di istana, beliau di tunjuk dan diangkat menjadi hakim (qadhi)  kerajaan di Baghdad. Waktu itu Abu Ja’far bersumpah bahwa Imam Hanafi  harus menerima jabatan itu. Tawaran jabatan setinggi itu beliau tolak  dan bersumpah tidak akan sanggup mengerjakannya.
Di tengah  pertemuan ada seorang yang pernah menjadi santrinya dan sekarang menjadi  pegawai kerajaan, tiba-tiba memberanikan diri berkata kepada beliau:  "Apakah guru akan tetap menolak kehendak Baginda, padahal Baginda telah  bersumpah akan memberikan kedudukan tinggi kepada guru.
Imam  Hanafi dengan tegas menjawab: "Amirul mu'minin lebih kuat membayar  kifarat sumpahnya dari pada saya membayar kifarat sumpah saya."
Oleh  karena tetap menolak pengakatan itu, maka sebagai ganjarannya Imam Abu  HAniafah ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara Baghdad. Suatu hari  ia dipanggil menghadap istana. Abu Ja’far berkata: "Adakah engkau telah  suka dalam keadaan seperti ini?"
Jawabnya tenang, "Semoga Allah  memperbaiki Amirul Mu'minin! Wahai Amirul Mu'minin takutlah engkau  kepada Allah, dan janganlah engkau bersekutu dalam kepercayaan engkau  dengan orang yang tidak takut kepada Allah! Demi Allah, saya bukanlah  orang yang bisa dipercaya di waktu tenang. Maka bagaimana mungkin saya  menjadi orang yang bisa dipercaya diwaktu marah? Sungguh saya tidak  sepatutnya diberi jabatan yang sedemikian itu!"
Baginda berkata: "Kamu berdusta, karena kamu patut memegang jabatan itu!"
"Ya  Amirul Mu'minin! Sesungguhnya baginda telah menetapkan sendiri (bahwa  saya seorang pendusta). Jika saya benar, saya telah menyatakan bahwa  saya tidak patut menjabat itu, dan jika saya berdusta, maka bagaimana  Baginda akan mengangkat seorang hakim yang berdusta? Di samping itu,  saya ini adalah seorang hamba yang dipandang rendah oleh bangsa Arab,  dan mereka tidak akan rela diadili oleh seorang golongan hamba (maula)  seperti saya ini."
Amirul mu'minin merasa tak mampu lagi membujuk  dan melunakan ketegaran pendirian sang Imam. Maka ia bermaksud  memangggil ibunda Imam Abu Hanifah yang waktu itu hidup pada usia sepuh.  Sang Ibu diperintahkan agar berkenan membujuk anaknya agar menerima  jabatan tersebut. Tetapi segala macam bujukan dan daya upaya sang Ibu  selalu ditolak dengan halus dan keterangan yang sopan.
Pada suatu  hari sang Ibu berkata, "Wahai Nu'man! Anakku yang kucintai! Buang dan  lemparkan jauh-jauh pengetahuan yang telah engkau punyai ini, melainkan  penjara, pukulan cambuk dan kalung rantai besi!"
Perkataan yang  sedemikian itu, hanya dijawab oleh beliau dengan lemah lembut dan  senyuman manis: "O... ibu! Jika saya menghendaki akan kemewahan hidup di  dunia ini, tentu saya tidak dipukuli dan tidak dipenjarakan. Tetapi  saya menghendaki akan keridhlaan Allah swt semata-mata, dan memelihara  ilmu pengetahuan yang telah saya dapati. Saya tidak akan memalingkan  pengetahuan yang selama ini saya pelihara kepada kebinasaan yang  dimurkai Allah. [Masruli Abidin/aql/hidayatullah.com]
IMAM Abu Hanifah atau Imam Hanafi dikenal sebagai  seorang alim dalam ilmu  fiqh di Iraq. Beliau seorang imam Mazhab yang  besar dalam dunia Islam.
		
								
								
								Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!