Menurut seorang pedagang, dari beberapa kali pergantian presiden tidak banyak perbedaannya
Hidayatullah.com--Siang itu, Rabu, (20/10) hujan deras mengguyur daerah sekitar bundaran HI. Terlihat sejumlah pedagang asongan berteduh di jembatan penyebrangan tak jauh dari tempat itu. Mereka datang dari berbagai tempat di sekitar Jakarta dan berencana menjual dagangan mereka saat aksi demo memperingati setahun pemerintahan SBY-Boediono berlangsung di bundaran HI dan depan Istana Negara.
Ternyata, tidak saja para pendemo yang memiliki berbagai penilaian terhadap pemerintahan SBY-Boediono, para pedagang kecil juga demikian. Seperti yang dikatakan Robi, pedagang tahu asal Karawang ini mengaku kecewa atas kepemimpinan SBY. “Nggak puas lah, mas. Barang-barang serba mahal. Sedangkan pendapat nggak cukup untuk biaya hidup,” ujar ayah dari satu anak ini kepada hidayatullah.com.
Robi merasa, orang kecil seperti dirinya sulit hidup dalam kondisi seperti ini. Kendati sudah bekerja maksimal dan keras, tapi tetap saja belum cukup. Robi menilai, hanya orang yang memiliki modal saja yang makin sejahtera, sedangkan orang seperti dia semakin terpuruk. “Presiden harus tegas dan peduli pada rakyat kecil seperti kita,” pesan Robi.
Pendapat berbeda diungkapkan Asep. Pedagang tahu ini tidak mau berkomentar apa-apa soal SBY-Boediono. “Kalau saya sih tergantung orangnya. Pedagang ya begini, kadang lancar kadang juga seret,” ujar Asep. Menurut Asep dari beberapa kali pergantian presiden tidak banyak perbedaannya. Perubahan itu, ujar Asep tergantung usaha masing-masing orang.
Pedagang kaca mata yang tidak mau disebutkan namanya juga punya penilaian lain. Menurutnya, di masa pemerintahan SBY-Boediono hukum tidak dijalankan secara adil. Hukum seolah hanya untuk rakyat kecil, sedangkan untuk para koruptor dan sebagainya seolah tidak berlaku.
Pria berkumis tebal dan berjenggot tipis ini bercerita. Pernah ada seorang anggota dewan yang melanggar dengan melaju mobil di jalan khusus Bus Way. Ketika ditanya, anggota dewan itu justru bilang, “Bilang itu UU kan yang bikin saya, jadi saya bisa melanggar.” “Itu kan aneh, seolah UU bisa dilanggar oleh mereka,” sesalnya.
Lelaki yang mengaku sering mengaji di sebuah masjid di daerah Tanjung Priok ini mengatakan, Indonesia selamanya akan seperti ini jika UU-nya masih buatan manusia. “Apapun presidennya, jika UU buatan manusia, akan tetap sama,” tegasnya. Dia pun berpesan agar UU diganti dengan al-Qur’an dan sunnah.
“Jika ke dua kitab itu dijadikan UU, niscaya Allah akan turunkan rahmat-Nya dari langit,” ujarnya sambil menyitir sebuah ayat. Hidayatullah.com pun sempat terperanjat, seorang pedagang kaca mata yang seharga Rp. 10 ribu perbiji itu punya alasan demikian. [ans/hidayatullah.com]