Kamis, 4 Rabiul Akhir 1446 H / 17 Februari 2011 14:15 wib
5.802 views
MUI Bentuk TPF Kasus Cikeusik
JAKARTA (voa-islam) - Kemarin, Rabu (16/2), Jajaran tinggi Polri melakukan pertemuan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di sekretariat MUI di Jl. Proklamasi, Jakarta. Tampak hadir, Asisten Operasi Kapolri, Irjen Pol Soenarko dan Kepala Bagian Penerangan Umum Divhumas Polri, Kombes Pol Boy Rafli Amar. Dari pihak MUI hadir KH. Ma’ruf Amin (Ketua MUI), KH. Cholil Ridwan, KH. Slamet Effendi Yusuf (Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI) dan beberapa pengurus MUI lainnya.
Usai rapat, sejak pagi hingga siang hari, digelar konferensi pers. Kepada wartawan KH. Ma’ruf Amin mengatakan, pertemuan hari ini untuk memperdalam insiden Cikeusik dan Temanggung yang terjadi beberapa waktu lalu. MUI sendiri telah membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) yang diketuai oleh Prof. Utang Ranuwijaya.
”MUI berupaya mencari tahu akar masalah dari kedua peristiwa tersebut. TPF sendiri terbentuk dua hari setelah kasus Cikeusik. Agar datanya lebih lengkap dan komprehensif, MUI perlu melakukan pertemuan dengan pihak Polri,” kata KH. Ma’ruf Amin.
Dalam pertemuan itu, tidak ada pembicaraan soal wacana tuntutan pembubaran ormas Islam. MUI menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme hukum yang ada. MUI tidak ingin terpancing dengan desakan kaum liberal yang ingin ormas Islam, seperti FPI dibubarkan.
”Jika ada yang bertindak anarkis, tentu yang akan ditindak personalnya, bukan institusi atau ormas Islamnya. Sejak awal, MUI tidak mentolerir siapapun yang bertindak anarkis. Yang jelas, supremasi hukum harus ditegakkan,” kata kiai NU ini.
Lebih lanjut, KH. Ma’ruf Amin menolak anggapan, jika fatwa MUI terkait kesesatan Ahmadiyah sebagai pemicu terjadinya kekerasan. MUI tetap konsisten, bahwa Ahmadiyah adalah ajaran yang sesat menyesatkan. Bahkan MUI merekomendasikan kepada pemerintah agar Ahmadiyah dibubarkan. MUI tidak setuju, jika SKB tiga Menteri dicabut. Justru SKB itu harus ditingkatkan statusnya menjadi Undang-undang.
Ketika ditanya apakah Ahmadiyah bisa dijerat pasal penodaan agama? KH. Ma’ruf Amin menjawab, ”Oh iya. Karena memang Ahmadiyah itu menyimpang.” Jika dikenai pasal penodaan agama, berarti pimpinan Ahmadiyah bisa ditangkap dan dipenjara seperti halnya Lia Aminuddin (pimpinan Komunitas Eden) dan Ahmad Mushoddiq yang mengaku nabi palsu? ”Seharusnya begitu. Persoalannya, yang bisa mengeksekusi kan pemerintah, termasuk aparat kepolisian. Sedangkan MUI tidak punya wewenang untuk melakukan eksekusi.
Saat ditanya wartawan, kenapa umat Islam akhir-akhir ini mudah terprovokasi? KH. Ma’ruf dengan enteng menjawab,”Nah itu dia, yang ingin dikaji oleh MUI bersama polisi. MUI selama ini berupaya mensosialisasikan program deradikalisasi untuk meluruskan pemahaman yang distortif atau menyimpang. Kalau ditanya kenapa umat Islam mudah terprovokasi? Itu karena ada pihak yang memprovokasi.
..MUI berupaya mencari tahu akar masalah dari kedua peristiwa tersebut. TPF sendiri terbentuk dua hari setelah kasus Cikeusik. Agar datanya lebih lengkap dan komprehensif, MUI perlu melakukan pertemuan dengan pihak Polri..
Bentuk TPF
Dikatakan Ketua Tim Pencari Fakta (TPF) MUI Prof. Utang Ranuwijaya, TPF ini berjumlah 11 orang. Anggotanya direkrut dari PP MUI, MUI Provinsi Banten, dan MUI Pandeglang. Temuan TPF MUI ini akan digabung dengan temua polisi sehingga lebih komprehensif.
”Sejak hari kedua pasca Insiden Cikeusik, TPF telah terbentuk dan melakukan peninjauan ke lokasi. Untuk saat ini baru didapatkan laporan sementara. Karena itu temuan MUI akan dilengkapi oleh temuan dari aparat kepolisian. Dalam satu bulan ini, sudah bisa diumumkan hasilnya,” kata Utang.
Yang menarik, Ketua TPF MUI ini menyatakan, bahwa insiden yang terjadi Cikeusik bukanlah penyerangan, melainkan bentrokan. Alasannya, seperti disampaikan pihak kepolisian berdasarkan saksi dari warga setempat, pihak Ahmadiyah ada yang datang dari luar Cikeusik. Juga didapat informasi, mereka telah mempersiapkan senjata tajam Bahkan, yang melempar lebih dulu ternyata dari dalam rumah, dalam hal ini pihak Ahmadiyah.
MUI juga menyebutkan, bahwa seseorang yang melakukan perekaman gambar ternyata dari Ahmadiyah bernama Arief. Gambar inilah yang kemudian diunggah ke Youtube, sehingga mendapat respon dari Amnesty International. Bukti gambar ini tentu saja menguntungkan Ahmadiyah, dan menyudutkan umat Islam. ”Soal pita hijau yang dikenakan pihak penyerang, MUI belum menemukan bukti itu. Kami juga tidak menemukan ormas Islam tertentu yang melakukan penyerangan,” tukas Utang.
Utang tidak mempersolkan jika temua TPF MUI berbeda dengan temuan Komnas HAM. Menurutnya, masing pihak mempunyai parameter yang berbeda. Jadi logis saja. Tapi bila mengacu pada fakta yang sama, temuan itu tidak akan berbeda. Mungkin hanya penafsiran saja yang berbeda.
Lebih jauh, Utang sangat menyayangkan, jika ada komentar-komentar mengenai masalah Cikeusik yang tidak diinput oleh data yang lengkap. Ada kecenderungan data yang diungkap itu begitu bias, sumir, tidak berimbang, bahkan terkesan provokatif. Itulah sebabnya, TPF MUI akan bersikap objektif dengan mengurai fakta yang sebenarnya.
..Insiden yang terjadi Cikeusik bukanlah penyerangan, melainkan bentrokan. Saksi dari warga setempat mengatakan, pihak Ahmadiyah ada yang datang dari luar Cikeusik, dan telah mempersiapkan senjata tajam. Bahkan, yang melempar lebih dulu ternyata dari dalam rumah, dalam hal ini pihak Ahmadiyah..
SKB Ditingkatkan Menjadi UU
Sementara itu, Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI, KH. Slamet Effendi Yusuf menegaskan, pihak-pihak yang menuntut agar SKB Tiga Menteri dicabut, adalah sebuah tuntutan yang tidak membaca realitas sosial. Tuntutan itu tidak memberi solusi yang baik.
”Jangan hanya karena tidak puas, lalu mereka merasa berhak menjadi hakim sendiri. Seharusnya, SKB itu perlu ditingkatkan menjadi undang-undang. Namun harus diakui, proses menuju UU memerlukan perjalanan yang panjang. Pihak-pihak yang ingin SKB dicabut hanya ingin memanfaatkan pemberitaan saja. Isu HAM yang selalu diusung selama ini sesungguhnya hanya pada level konsep saja. Terpenting, jangan ganggu kenyamanan umat Islam, seperti mengaku ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad Saw. Termasuk Kitab Tadzkirah yang diakui sebagai kitab suci oleh Ahmadiyah."
Soal tuntutan pembubaran ormas Islam, kata Slamet, tentu polisi bukan pengambil keputusan. Yang jelas, harus ada solusi di tingkat masyarakat dan negara. Dalam hal ini negara harus ikut campur, karena ada konflik di dalamnya. Mengenai dialog antara MUI dan Ahmadiyah yang digelar oleh Komisi VIII DPR RI, menyambut baik, selama ada kejujuran dari pihak Ahmadiyah. ”Sebenarnya kan sudah ada 12 point yang sudah menjadi kesepakatan, tapi kenapa Ahmadiyah tetap melanggar dan tidak dilaksanakan,” kata KH. Slamet. (Desastian)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!