Jum'at, 13 Jumadil Akhir 1446 H / 20 Mei 2022 17:09 wib
40.462 views
Masa Depan Indonesia dalam Cengkeraman Kapitalisme (AS)
Oleh: Sunarti
Tak ada asap jika tidak ada api, tidak ada akibat jika tidak ada sebab. Inilah yang terjadi di Bumi Pertiwi saat ini. Di tengah banyaknya persoalan yang tumpang tindih, mulai dari persoalan migor, kenaikan beberapa jenis pajak dan BBM, kian menggunungnya utang luar negeri dan masih sederet persoalan lain; yang kesemuanya berujung pada makin memuncaknya krisis figur kepemimpinan, secara tiba-tiba AS menunjukkan taringnya dengan menyoroti sejumlah dugaan pelanggaran HAM oleh pemerintah Indonesia.
Situs resmi Kedubes AS di Indonesia memaparkan bahwa terdapat pelanggaran HAM oleh pemerintah Indonesia. Dalam paparannya terdapat tujuh poin yang menjadi perhatian mereka. Diantaranya tidak menghormati integritas individu, tidak menghormati kebebasan sipil, tidak ada kebebasan untuk berpartisipasi dalam proses politik, kurangnya transparansi dalam kasus korupsi, intimidasi terhadap LSM, definisi soal pemerkosaan yang memberatkan pihak perempuan dan yang terakhir adalah rendahnya hak pekerja untuk berunding bersama. (RMOL.ID, 18 April 2022)
Semua yang disampaikan oleh AS ini berangkat dari beberapa peristiwa dalam negeri yang telah dinilai telah melanggar HAM. Seperti yang diberitakan dalam CNN Indonesia, 18 April 2022, bahwa sejumlah dugaan pelanggaran HAM ditunjukkan dengan kelakuan Dewan Pengawas KPK atas Lili Pintauli dan Tes Wawasan Kebangsaan yang berakibat didepaknya 75 orang pegawainya Novel Baswedan. Ditambah lagi dengan pemanggilan terhadap ketua BEM UI yang memberi "cap" Presiden Joko Widodo sebagai "Lip King Service alias Raja Pembual beberapa kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilaporkan Aliansi Jurnalis Indo hingga pembunuhan KM 50.
Berbeda dengan apa yang dikatakan oleh jubir Kemenlu Teuku Faizasyah justru balik memberikan sindiran tajam, "Apakah tidak ada kasus HAM di AS?" Demikian juga dengan Menko Polhukam Mahfud MD. yang menjelaskan justru pelanggaran HAM atas AS lebih banyak. Misalnya saja, menurut Special Procedure Mandate Holders (SPMH), dalam kurun waktu 2018-2021, Indonesia dilaporkan melanggar HAM 19 kali , sedang AS 76 kali dalam kurun waktu yang sama (CNN Indonesia, 18 April 2022).
Sudah menjadi pembahasan umum jika AS memang belepotan dalam urusan pelanggaran HAM, baik di dalam maupun luar negerinya, namun bukan kalo ini saja, AS "galak" menyoroti dugaan pelanggaran HAM di Indonesia. Serupa seruan tersebut misalnya DOM Papua (1963-2003), DIM Aceh (1989-1998) dan kasus tergulingnya Soeharto serta kasus lain yang juga dipersoalkan oleh AS. Lantas layak kita pertanyakan, "untuk apa semua dilakukan AS untuk negeri ini?"
Di Balik Kepentingan AS
KTT ASEAN-AS Special Summit yang berlangsung 12-13 Mei 2022 di Washington DC, AS; yang dihadiri oleh anggota kongres AS, para CEO besar, Wapres Kamala Haris dan Presiden Joe Biden; baru saja diberlangsungkan. "KTT ASEAN-AS merupakan upaya pemerintah Biden untuk meningkatkan investasi dan keterlibatannya di Asia Tenggara," kata Kurt Campbell Koordinator Lembaga Think Thank Indo-Pasifik AS.
Sebagai penguasa besar, AS adalah negara utama yang memiliki dan pemegang kartu "A". Hal ini sudah jamak diketahui oleh khalayak. AS adalah negara utama dan saat ini sedang mempresentasikan dan telah membuktikan tujuan nasionalnya. Dan sebagai negara utama, AS memiliki ambisi untuk mewujudkan tercapainya tujuan utama dengan "diamini" oleh negara mitranya; termasuk Indonesia dan ASEAN pada umumnya.
Sebenarnya bukan saja Indonesia sebagai mitranya, akan tetapi banyak negera yang dikatakan mitra oleh AS sebagai bentuk entitasnya di negara-negara lainnya. Diantaranya Cina dan Australia. Meski demikian AS adalah negara yang berpengaruh di tingkat global. Dan posisi Australia ya sebagai negara satelit bagi AS. Yaitu negara yang dalam skala tertentu digunakan sebagai alat untuk kepentingan AS dalam merealisasikan tujuannya di kawasan Asia Pasifik.
Arti dari "Negara Mitra" dalam konstelasi politik internasional sebenarnya bukanlah bermakna negara yang dalam posisi sejajar, dimana keduanya memiliki posisi tawar yang sama dan punya peluang saling mempengaruhi. Terlebih bagi Indonesia yang hanya sebagai negara pengekor, istilah "Negara Mitra" hanyalah untuk menunjukkan di sisi negara besar mana saat ini sedang berada.
Ada upaya-upaya agresif dari Cina yang hendak mengambil alih kepemimpinan kawasan. Hal ini dipastikan oleh AS akan posisinya dengan "teguran" yang dilontarkannya dan berbagai alasan untuk Indonesia. Dan ASEAN masih dalam posisi aman di genggamannya. Atas dasar itu, AS akan terus menggencarkan jalinan kerjasama dan kemitraan komprehensif dengan Indonesia. Termasuk di dalamnya rencana latihan militer tahunan yang diselenggarakan 1-14 Agustus 2022 mendatang, yang melibatkan militer Indonesia, AS dan 12 negara lainnya (seperti Inggris, Australia dan Jepang). Rencana latihan militer tahunan tersebut akan dilaksanakan di Sumatera Selatan, berdekatan dengan wilayah konflik Laut Cina Selatan dan Kalimantan Timur yang merupakan cikal bakal IKN baru.
Dalam kitab Takattul Hizb, karya Syekh Taqiyuddin an Nabbani disebutkan diantara teknik penjajahan dalam menancapkan pengaruhnya adalah dengan menanam "negara antek" di samping jebakan utang luar negeri dan pemikiran/pengetahuan/peradaban mereka. Dan saat ini AS sedang memastikan bahwa penguasa yang menjadi "mitranya" masih setia terhadapnya, masih menjalankan perintahnya dan loyal terhadapnya serta masih dicintai rakyat setempat.
Berbagai peristiwa ini bisa jadi adalah "water taste" AS terhadap negeri ini. Adakah kesetiaan terhadap negara utama, yaitu AS, ataukah Indonesia sudah "pindah ke lain hati"? Jika ditilik dari sisi ini, kesetiaan terhadap AS masih terlihat loyal. Tinggal bagaimana keloyalan pemerintah saat ini terhadap rakyat. Akankah berbagai persoalan rakyat diselesaikan dengan solusi yang berpihak pada rakyat ataukah justru solusi berpihak pada oligarki?
Yang jelas kita sebagai warga negara dan sebagai muslim yang taat sudah saatnya kita sadar akan konstelasi politik internasional yang sebenarnya. Bahwa konstelasi politik internasional akan selalu dinamis. Mengetahui bagaimana posisi negara-negara dunia dan siapa yang bermain serta berpengaruh dalam konstelasi politik internasional hari ini, adalah sebuah keharusan. Karena sebuah kebangkitan tidak hanya cukup dengan perubahan kepemimpinan saja. Akan tetapi bangkitnya taraf berpikir juga diperlukan, agar peradaban manusia menuju peradaban yang lebih baik. Waalllahu alam bisawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!