Senin, 2 Rabiul Akhir 1446 H / 4 Juli 2022 15:52 wib
5.964 views
Potensi Diskriminasi dibalik RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA)
Oleh: Dewi Royani, MH
Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) telah disetujui menjadi RUU inisiatif DPR RI. Persetujuan itu diambil dalam rapat paripurna DPR yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/6), cnnindonesia.com (30/6/2022).
Salah satu angin segar yang dibawa dalam RUU KIA adalah cuti maternitas bagi perempuan diperpanjang. Sebelumnya,cuti maternitas diatur dalam pasal 82 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan. Sementara di RUU KIA cuti melahirkan berubah menjadi 6 bulan.
Menukil dari dpr.go.id, Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Luluk Nur Hamidah menjelaskan beberapa alasan mengapa cuti maternitas ini perlu diatur dalam RUU KIA, diantaranya karena memprioritaskan masa pertumbuhan emas anak yang merupakan periode krusial tumbuh kembang anak, yakni pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). Sehingga negara perlu menjamin kesejahteraan ibu dan anak yang dimulai sejak ibu dalam masa persiapan kehamilan, masa kehamilan, saat melahirkan dan pasca melahirkan sampai dengan anak mencapai usia tertentu yang dianggap belum dewasa. Selain itu, penyusunan RUU KIA juga untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan stunting yang masih tinggi.
Sekilas, RUU KIA ini tidak bermasalah. Namun, RUU ini diprediksi berpotensi menimbulkan masalah pada ranah implementasi RUU kelak. Dikutip dari hukumonline.com, Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara mengingatkan usulan normatif secara yuridis jangan mengabaikan kenyataan sosiologis. Ia mengatakan banyak urusan yang secara hukum sudah diatur negara, namun justru gagal dalam implementasi.
Beberapa isu yang menjadi sorotan adalah adanya diskriminasi terhadap pekerja atau pencari kerja perempuan. Dengan ketentuan cuti enam bulan diprediksi para pengusaha tidak mau merekrut pekerja perempuan atau mensyaratkan belum menikah atau tidak boleh menikah selama terikat dengan kontrak kerja. Selain itu, usulan hak cuti melahirkan dengan tetap mendapat gaji dinilai memberatkan perusahaan. Yang dikhawatirkan pekerja perempuan terancam jalan pintas pemecatan karena perusahaan tidak mau terbebani.
Munculnya isu diskriminasi perempuan dalam RUU KIA menunjukkan adanya dilema bagi sebagian perempuan, terlebih jika perempuan menjadi tulang punggung keluarga. Kondisi ini menunjukkan sistem kehidupan saat ini yaitu ideologi kapitalisme gagal menjamin kesejahteraan perempuan.
Pangkal kegagalan ini karena ideologi kapitalisme mengukur kesuksesan perempuan dari capaian materi dan posisi publik. Sementara tolok ukur spiritual dan tugas utamanya sebagai umm wa rabatul bait (ibu rumah tangga) tidak dimasukan kedalam parameter keberhasilan perempuan. Ketika perempuan tidak bekerja maka dianggap tidak produktif apalagi ketika perempuan berada dalam himpitan ekonomi. Maka tawaran bekerja adalah solusi realistis untuk menghadapi persoalan tersebut. Ketika perempuan bekerja dikatakan sebagai perempuan berdaya dan terhindar diskriminasi.
Disisi lain, ideologi kapitalisme tidak bisa menghilangkan kodrat perempuan melahirkan anak dan mengurus keluarga. Sehingga ketika karyawan perempuan terlalu lama mengambil cuti maka industri merasa dirugikan. Oleh karena itu wajar para perempuan merasa khawatir dengan RUU KIA ini karena perempuan akan kehilangan kesempatan bekerja sekalipun cuti melahirkan adalah hak mereka.
Dilema ini tidak akan menjadi masalah jika diatur dengan sistem yang shahih yaitu sistem Islam yang disebut sistem khilafah. Sebagai hamba Allah laki-laki dan perempuan posisinya sama, maka hak dan kewajibannya sama. Namun dari sisi kodratnya Islam tidak mensejajarkan laki-laki dan perempuan karena Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan tabiat dan karakter yang berbeda. Karenanya hak dan kewajibannya berbeda, seperti menanggung nafkah adalah kewajiban laki-laki bukan perempuan. Disinilah negara bertanggung jawab untuk memastikan agar laki-laki mendapatkan pekerjaan yang layak.
Adapun posisi mulia seorang perempuan adalah sebagai umm wa rabbatul bait sehingga perempuan tidak dibebani dengan menanggung nafkah. Islam menetapkan bekerja bagi perempuan hukumnya boleh (mubah). Pada prakteknya dalam peradaban Islam perempuan bekerja bukan karena himpitan ekonomi tapi karena mengamalkan ilmu mereka.
Islam melalui khilafah akan menempatkan perempuan dengan memperhatikan sisi feminitas perempuan seperti profesi perawat, dokter, guru dll. Jam kerjapun akan disesuaikan sehingga tidak melalaikan tugas utamanya sebagai ibu rumah tangga. Sehingga ketika mereka harus cuti karena melahirkan maka tidak akan menjadi masalah karena nafkahnya ditanggung walinya.
Inilah salah satu bukti satu-satunya sistem kehidupan yang mampu memberikan penghargaan dan kemuliaan pada perempuan adalah sistem Islam. Wallahu a'lam bishshawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!