Jum'at, 20 Rabiul Akhir 1447 H / 10 Oktober 2025 10:49 wib
1.760 views
Gencatan Senjata Gaza: Antara Deklarasi Politik dan Realitas di Lapangan
Oleh: Peiman Salehi
Gencatan senjata yang diumumkan pada 9 Oktober 2025 tampaknya menjadi titik balik setelah dua tahun kehancuran militer dan kemanusiaan yang melelahkan di Gaza. Namun, jika dilihat lebih dekat, hal ini justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Menurut pernyataan resmi, “tahap pertama” dari kesepakatan ini mencakup penghentian permusuhan, pertukaran tawanan dan sandera, serta penarikan sebagian pasukan Israel dari beberapa wilayah Gaza (Al Jazeera). Jika langkah-langkah ini benar-benar diverifikasi dan dilaksanakan dengan itikad baik, maka biaya jangka pendek perang dapat berkurang. Namun, arsitektur politik dari perjanjian ini—mekanisme penegakan, pemantauan, serta kaitannya dengan isu-isu yang belum terselesaikan seperti pemerintahan, rekonstruksi, dan masa depan keamanan Gaza—akan menentukan apakah gencatan senjata ini bisa bertahan melampaui tahap deklarasi.
Pengalaman menunjukkan sedikit alasan untuk optimisme. Amerika Serikat berulang kali mundur dari komitmennya sendiri dalam beberapa tahun terakhir: menarik diri secara sepihak dari JCPOA, mengabaikan kewajiban pasca-perjanjian, dan membuka jalan bagi pengaktifan kembali sanksi PBB melalui apa yang disebut “mekanisme snapback.” Ketika pihak yang mengklaim dirinya sebagai penjaga “tatanan berbasis aturan” bertindak secara selektif terhadap perjanjian internasional, maka kepercayaan terhadap jaminan politik bagi gencatan senjata Gaza menjadi sangat tipis.
Di dalam Israel sendiri, logika politik domestik hampir tidak selaras dengan kedisiplinan yang dibutuhkan untuk pelaksanaan yang tepat. Perdana Menteri Netanyahu, yang terpojok oleh ketidakpuasan publik, koalisi yang rapuh, dan masalah hukum yang sedang berlangsung, memiliki insentif untuk lebih mementingkan citra dibanding substansi. Dinamika serupa pernah terjadi sebelumnya: setelah masa tenang singkat di perbatasan Lebanon tahun lalu (Atlantic Council), siklus eskalasi segera berulang. Tanpa kerangka pemantauan yang transparan dan sanksi nyata terhadap pelanggaran, risiko kembalinya konflik tetap tinggi.
Pertanyaan inti, dengan demikian, adalah apakah gencatan senjata ini merupakan awal dari proses politik yang berkelanjutan atau sekadar jeda taktis untuk penataan ulang posisi. Dua kondisi akan menentukan jawabannya.
Pertama, verifikasi langkah demi langkah: pembebasan sandera dan pelonggaran pembatasan kemanusiaan harus mengikuti jadwal yang terukur di bawah pengawasan netral. Jika tidak, ketidakpercayaan akan muncul kembali seketika.
Kedua, kejelasan struktur pemerintahan Gaza: kecuali tercapai formula yang layak di antara aktor-aktor Palestina untuk mengelola wilayah tersebut, gencatan senjata ini hanya akan menjadi “penundaan krisis,” bukan penyelesaian.
Perdebatan tentang perlucutan senjata Hamas mencerminkan ketegangan struktural yang sama. Beberapa mediator berasumsi bahwa pengurangan kapasitas militer Hamas akan menjamin stabilitas. Namun sejarah sejak 1948 menunjukkan bahwa akar konflik tidak semata-mata bersifat militer; ia terletak pada pendudukan, ketidaksetaraan, dan keluhan berbasis identitas (The Guardian). Pelucutan senjata secara cepat tanpa kerangka pemerintahan yang kredibel atau jaminan keamanan manusia hanya akan menciptakan kekosongan kekuasaan yang melahirkan kembali siklus dominasi dan ketidakstabilan. Keamanan yang berkelanjutan merupakan hasil dari arsitektur politik, bukan sekadar ketiadaan senjata.
Dari sisi ekonomi, jika dilaksanakan, gencatan senjata ini dapat sementara mengurangi “premi perang” pada pasar energi dan asuransi maritim, menurunkan biaya transportasi melalui Laut Merah dan Mediterania Timur. Namun efek ini rapuh; setiap kemunduran di lapangan bisa membatalkannya dalam semalam. Peluang nyata justru ada pada rekonstruksi. Qatar, Turki, dan Cina memiliki kapasitas finansial dan teknis untuk memulai proyek infrastruktur multinasional, tetapi tanpa transparansi, jaminan keamanan, dan peta jalan pemerintahan lokal yang kredibel, para investor serius akan menilai risikonya terlalu tinggi. Ekonomi perdamaian hanya dapat ada jika politik perdamaian dilembagakan.
Di dalam Israel, gencatan senjata ini mungkin bukan menandai akhir krisis, melainkan awal dari pertarungan politik baru. Netanyahu dapat menggunakan jeda ini untuk mengklaim keberhasilan dalam membebaskan sandera dan mengurangi tekanan internasional, guna memulihkan sebagian legitimasi politiknya yang hilang. Namun blok sayap kanan ekstrem melihat setiap konsesi nyata sebagai kerugian politik. Di pihak Palestina, Hamas harus menunjukkan hasil nyata dalam bidang kemanusiaan dan tata kelola untuk mempertahankan legitimasi publik. Dalam konteks ini, mediasi pihak ketiga dan pengawasan kredibel menjadi faktor penentu: tanpa tolok ukur pelaksanaan yang jelas, kedua belah pihak akan “menang dalam permainan saling menyalahkan,” sementara gencatan senjata itu sendiri yang kalah.
Pada akhirnya, gencatan ini tetap merupakan perdamaian di atas kertas—sebuah deklarasi politik dengan potensi nyata namun disertai risiko besar. Jika pembebasan sandera, penyaluran bantuan, dan penarikan pasukan dijalankan sesuai jadwal yang dapat diverifikasi dan di bawah pengawasan netral, maka transisi dari manajemen krisis menuju manajemen transisi bisa terjadi. Tetapi jika Washington kembali membiarkan kesenjangan antara deklarasi dan pelaksanaan, atau jika Tel Aviv tetap berpegang pada logika keamanan keras alih-alih membangun perdamaian institusional, gencatan senjata ini kemungkinan besar hanya akan menjadi episode penundaan krisis, bukan penyelesaiannya.
Sejarah sudah menunjukkan dengan jelas: perdamaian tanpa keadilan dan tata kelola yang sah tidak akan bertahan lama—dan perlucutan senjata sepihak tidak membawa stabilitas atau keamanan, melainkan hanya memberi wajah baru pada krisis lama. (MeMo/Ab)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!