Jum'at, 10 Jumadil Awwal 1447 H / 31 Oktober 2025 20:00 wib
  419 views
								
							
								
								Pakar PBB: Kekejaman di Sudan Bukan Tindakan Perang yang Kebetulan, tapi Pola yang Disengaja
								AMERIKA SERIKAT (voa-islam.com) - Para penyelidik PBB pada Kamis (30/10/2025) menyatakan bahwa kekejaman yang terjadi di Sudan bukanlah korban perang yang bersifat acak, melainkan “pola yang disengaja” untuk menebar teror dan kelaparan terhadap warga sipil, dengan sasaran khusus terhadap kelompok etnis non-Arab.
“Ini bukan tindakan perang yang terjadi secara kebetulan. Ini membentuk pola. Ini merupakan strategi yang disengaja untuk menakut-nakuti dan membuat warga sipil kelaparan, terutama dari kelompok etnis tertentu,” kata Mona Rishmawi, anggota Independent International Fact-Finding Mission on Sudan (Misi Pencari Fakta Internasional Independen untuk Sudan), kepada para wartawan.
Rishmawi menggambarkan situasi di El-Fasher sebagai “sangat sulit,” dengan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) dan milisi sekutunya mengepung kota tersebut selama lebih dari 500 hari sebelum akhirnya merebutnya pekan ini.
RSF, katanya, telah “memutus pasokan makanan, obat-obatan, dan bantuan,” sambil menyerang kamp-kamp pengungsian termasuk Zamzam dan Abu Shouk, yang menyebabkan ribuan orang tewas, terluka, atau mengungsi.
Rishmawi menambahkan bahwa misi tersebut terus menerima laporan kredibel tentang eksekusi berdasarkan etnis, kekerasan seksual, penjarahan besar-besaran, penghancuran infrastruktur, dan pengusiran paksa secara massal. Ia juga mencatat bahwa Rumah Sakit Saudi diserang 25 kali selama pengepungan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Rabu melaporkan bahwa lebih dari 460 pasien dan pendampingnya tewas di Rumah Sakit Bersalin Saudi di El-Fasher.
“Kekejaman yang terus berlangsung ini menandai eskalasi berbahaya dari kampanye kebrutalan RSF,” kata Rishmawi, seraya menambahkan bahwa akses kemanusiaan masih diblokir, memperparah kelaparan dan wabah penyakit bagi warga sipil yang terperangkap.
Anggota misi lainnya, Joy Ezeilo, mempresentasikan laporan berjudul “Paths to Justice: Accountability for Atrocities in Sudan” (Jalan Menuju Keadilan: Akuntabilitas atas Kekejaman di Sudan), yang menggambarkan kondisi negara di mana supremasi hukum telah runtuh.
“Kami menyimpulkan bahwa Sudan saat ini tidak mau dan tidak mampu melakukan penyelidikan atau penuntutan yang tulus terhadap kejahatan internasional,” kata Ezeilo.
Ia menjelaskan bahwa temuan misi menunjukkan “impunitas telah merajalela” dan “pengadilan hanya memberikan keadilan selektif tanpa proses peradilan yang adil.”
Para penyelidik merekomendasikan agar jurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional (ICC) diperluas mencakup seluruh wilayah Sudan, membentuk mekanisme peradilan independen yang bermitra dengan ICC, serta mendirikan kantor dukungan dan reparasi bagi korban.
Ezeilo juga menyarankan sanksi yang ditargetkan dan embargo senjata terhadap “mereka yang bertanggung jawab.”
Ketika ditanya tentang janji pemimpin RSF untuk menyelidiki prajuritnya yang melakukan kekejaman, Rishmawi menyampaikan keraguannya.
“Kami belum melihat apa pun. Institusi-institusi ini tertutup, tidak transparan, dan kami sama sekali tidak memiliki keyakinan bahwa hal itu akan menghasilkan sesuatu,” ujarnya.
“Kami tidak percaya … bahwa para pelaku akan dihukum sebagaimana mestinya,” tambah Ezeilo.
Misi tersebut memperingatkan adanya penghancuran bukti dan intimidasi saksi, dengan pengadilan, arsip, dan infrastruktur yang hancur, serta pengacara dan hakim yang ditangkap.
Meski menghadapi berbagai tantangan, Rishmawi menegaskan: “Bukti itu ada … Akuntabilitas akan datang.”
Sejak 15 April 2023, tentara Sudan dan RSF terlibat dalam perang yang sejauh ini gagal diakhiri oleh berbagai upaya mediasi regional dan internasional.
Konflik tersebut telah menewaskan 20.000 orang dan memaksa lebih dari 15 juta orang mengungsi, baik sebagai pengungsi lintas batas maupun pengungsi internal, menurut laporan PBB dan sumber lokal.
RSF merebut kota El-Fasher pada Minggu setelah pertempuran sengit dengan tentara.
Kota itu sebelumnya telah berada di bawah pengepungan kelompok pemberontak sejak Mei 2024. Sejumlah laporan lokal dan internasional menunjukkan adanya pembunuhan massal, pembersihan etnis sistematis, dan penyiksaan terhadap warga sipil oleh RSF di kota tersebut. (AA/Ab)
		
								
								
								Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!