Selasa, 8 Rabiul Akhir 1446 H / 3 Januari 2023 20:40 wib
61.746 views
Kecurangan Pemilu dalam Demokrasi, Mustahil Dihindari
Oleh: Susi Firdausa, S.Hut
Beberapa waktu lagi, Indonesia menyelenggarakan hajat besar lima tahunan sebagaimana biasanya. Sebanyak 17 partai politik (parpol) dipastikan melenggang ke panggung pemilu 2024 yang akan datang. Sebagaimana yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Rabu, 14 Desember 2022 lalu. Parpol yang dinyatakan lolos tersebut terdiri dari sembilan parpol yang saat ini ada di parlemen, empat parpol peserta pemilu sebelumnya, dan empat lagi adalah parpol baru. Penetapan ini diwarnai berbagai tudingan adanya kecurangan yang dilakukan berbagai parpol sebagai upaya agar lolos verifikasi.
Kecurangan pemilu dalam sistem politik demokrasi adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari. Sebagaimana diakui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, dalam Seminar Nasional “Menuju Demokrasi Berkualitas: Tantangan dan Agenda Aksi” di Balai Senat UGM, Yogyakarta, pada Sabtu, 27 Agustus 2022 lalu. Menurutnya, ada perbedaan pola kecurangan pemilu di masa kini dan era Orde Baru. Kecurangan pemilu era Orde Baru dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan saat ini, kecurangan dilakukan oleh partai politik. Hal ini terbukti dengan ditemukannya ratusan kasus kecurangan yang ditangani Mahkamah Konstitusi.
Pasalnya untuk merebut kursi kekuasaan, modal yang dibutuhkan sebuah partai peserta pemilu tidak sedikit. Tentu kita masih ingat dengan salah satu caleg bernama Agnesal Jona Putra Silaban yang kelimpungan mencari modal untuk maju sebagai calon anggota legislative pada pemilu 2019 lalu. Ia menggalang dana masyarakat dengan membuka patungan public di situs online dengan judul “Galang Dana untuk Politik Bersih”. Karyawan perusahaan asuransi keuangan itu mencantumkan target donasi sebesar 250 juta rupiah. Uang sejumlah itu diperlukan Nesal untuk memenuhi biaya transportasi, cetak kartu nama, spanduk, biaya saksi dan relawan, serta akomodasi bertemu warga. Angka 250 juta tersebut adalah versi biaya super hemat untuk menjadi caleg DPRD.
Sebuah riset yang dilakukan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) pada tahun 2014 mencatat, bahwa biaya yang dibutuhkan seorang caleg DPRD berkisar 250 – 500 juta rupiah. Sementara biaya caleg tingkat DPR mencapai 750 juta hingga 4 milyar rupiah.
Politik demokrasi sangat identik dengan biaya yang mahal. Sementara untuk mendapatkan sokongan dana tidaklah mudah. Namun partai yang kekurangan dana pemilu tidak kehilangan akal. Mereka menggunakan cara-cara kotor untuk memperoleh dukungan. Salah satunya adalah dengan mencatut nama masyarakat sebagai anggota partai tersebut. Tidak hanya di Malang, kasus pencatutan nama ini juga terjadi di daerah lain seperti Bulukumba, Bali, Mojokerto, Cianjur, Majalengka dan sebagainya.
Sebagaimana dilansir laman Republika.co.id (16/12/2022), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI menemukan lebih dari 20 ribu identitas warga dicatut menjadi kader partai dalam proses pendaftaran partai politik peserta Pemilu 2024. Lebih parahnya, tiga ribu di antaranya lolos ketika KPU melakukan verifikasi faktual keanggotaan partai politik. Sementara itu, Komisioner Bawaslu RI Lolly Suhenty mengatakan menemukan 20.565 identitas warga (nama dan NIK) dicatut ke dalam Sistem Informasi Partai Politik (Sipol), sebuah kanal bagi partai mengunggah data keanggotaannya. Pencatut 20 ribu lebih identitas warga itu diketahui lewat posko aduan Bawaslu dan lewat petugas Bawaslu yang mengawasi langsung pelaksanaan verifikasi faktual. Dia mengatakan, dari 20 ribu lebih identitas warga yang dicatut, sebanyak 15.824 di antaranya masuk ke dalam sampel keanggotaan verifikasi faktual. Artinya, petugas KPU menemui langsung 15.824 warga yang identitas dicatut untuk mengonfirmasi apakah dia benar anggota partai tertentu.
Dengan melakukan kecurangan ini, partai tersebut akhirnya bisa memenuhi standar sebagai partai dan dipandang sebagai partai besar yang layak didukung. Tentu ini menjadi kenyataan miris yang tak terelakkan dalam sistem demokrasi. Apalagi kekuasaan tidak dipandang sebagai amanah untuk mengurusi urusan rakyat, tetapi wadah untuk mendapatkan kemanfaatan semata, di antaranya berupa kekayaan materi yang sebesar-besarnya. Hal ini mendapat dukungan penuh dengan legislasi hukum yang ada di tangan penguasa dalam sistem bobrok ini.
Praktik kotor politik demokrasi memang sejalan dengan penolakannya terhadap peran agama dalam kehidupan. Sekularisme menjadi asasnya. Sedangkan kemanfaatan materi adalah tolak ukur amalnya. Dalam sistem ini pula, liberalisme mendapat panggung luas untuk diwujudkan, tanpa batas dan kendali. Wajar jika nilai kebebasan begitu diagung-agungkan. Sedangkan nilai-nilai akhlak tidak mendapat tempat, kecuali jika dibutuhkan sebagai alat menarik dukungan.
Inilah yang harus dipahami oleh umat saat ini, bahwa demokrasi sudah cacat sejak lahir, sebagai produk jalan tengah antara pihak gereja dengan penguasa Eropa di abad pertengahan kala itu. Sebagai produk akal manusia yang memiliki keterbatasan, tentu saja sistem demokrasi ini tidak layak digunakan untuk menghukumi manusia, sehingga tidak boleh menggantungkan sedikit pun pada sistem ini.
Umat harus kembali kepada sistem politik yang mampu membawa kehidupan umat pada keberkahan. Sistem yang mampu mengantarkan terwujudnya Baldatun Thayyibatun wa Robbun Ghofur. Sistem yang berasal dari Dzat yang paling memahami manusia dan apa yang terbaik untuknya. Sistem tersebut adalah sistem politik Khilafah. Sistem warisan Rasulullah SAW yang telah terbukti berabad-abad mampu menyejahterakan umat manusia.
Dalam Islam, kedudukan pemilu hanyalah salah satu dari sekian prosedur praktis dalam pengangkatan Khalifah (kepala negara Khilafah). Pemilu dibuat sedemikian rupa hingga tidak menelan biaya besar. Bercermin dari apa yang dilakukan para sahabat Nabi Muhammad SAW yang mulia, maksimal tiga hari saja waktu yang dibolehkan dalam penyelenggaraannya. Sungguh sangat efektif dan efisien. Sekali lagi, bahwa Islam memandang pemilu hanyalah uslub. Sebab, satu-satunya metode pengangkatan Khalifah yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah adalah baiat. Kaum muslim berbaiat kepada Khalifah untuk memerintah berdasarkan Kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.
Sistem politik Islam dibangun berdasarkan akidah Islam sehingga ikatan yang terjalin adalah ikatan akidah, bukan maslahat. Dengan demikian, individu yang terlibat dalam pemerintahan adalah individu yang menginginkan berkhidmat lebih dalam pada penciptanya. Sebab, jabatan dalam sistem Islam adalah amanah tempat mendulang pahala besar dengan tugas utamanya mengurusi urusan rakyat. Memastikan rakyat memperoleh jaminan kesejahteraan, keadilan dan keamanan. Adapun kecurangan dalam pemilihan dalam sistem Islam diharamkan. Jika ada sekelompok orang alias oligarki yang mencurangi suara, lalu dengannya ia memimpin maka sejatinya Allah SWT sedang menghimpun mereka di neraka. Inilah seburuk-buruk balasan bagi penguasa yang curang dan menipu rakyatnya.
Sudah saatnya umat kembali kepada sistem politik yang diwajibkan Allah SWT ini. Sistem yang tidak akan memberi ruang kecurangan jenis apapun. Sistem yang akan membawa umat pada kesejahteraan tidak hanya di dunia, namun hingga ke akhirat sana. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!