Home | Redaksi | Advertisement | Kirim Naskah | Pedoman Pemberitaan Media Siber
Facebook RSS
4.382 views

Peluang Bebaskan HRS dkk dalam Perkara RS Ummi

 

Oleh:

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. || Direktur HRS Center dan Ahli Hukum Pidana
 


PERKARA RS Ummi memiliki karakteristik (gradasi) yang berbeda dengan perkara sebelumnya yakni perkara Petamburan dan Megamedung, walaupun pada masing-masingnya terdapat persamaan. Letak persamaannya menunjuk diterapkannya Pasal 14 (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Pasal 216 ayat (1) KUHP. Masing-masingnya sebagai dakwaan alternatif kedua dan ketiga. Adapun perbedaannya adalah tidak digunakannya Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Kita ketahui, kemudian Pengadilan memutus HRS dengan pidana denda sebesar Rp.20.000.000 (duapuluh juta rupiah) pada perkara Megamendung dan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan pada perkara Megamendung. Keduanya didasarkan Pasal 93 Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Dengan demikian, pasal yang sama diterapkan untuk objek yang sama dengan subjek yang sama pula (in casu HRS). Perkara RS Ummi yang mengandung delik penyertaan, terhadap HRS, Habib Hanif Alatas dan dr. Andi Tatat juga didakwa dengan delik berita bohong. Delik tersebut disebutkan dalam dakwaan pertama, primair; Pasal 14 ayat (1), subsidair; Pasal 14 ayat (2), lebih subsidair; Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
 
Penuntut Umum dalam dakwaan RS Ummi menyatakan bahwa akibat perbuatan terdakwa telah menimbulkan penyebaran COVID-19 di wilayah Kota Bogor yang mengalami peningkatan. Adanya peningkatan tersebut didasarkan atas penetapan Gugus Tugas Nasional Kota Bogor masuk dalam zona resiko sedang/zona orange. Pertanggal 1 Desember 2020, disebutkan jumlah pasien COVID-19 yang sudah terkonfirmasi positif sebanyak 3398 orang, meninggal sebanyak 98 orang, masih sakit sebanyak 540 orang dan sembuh sebanyak 2760 orang.
 
Dalam kepentingan analisis perkara RS Ummi, maka pendekatan teori yang dilakukan adalah sama dengan perkara Petamburan, yakni menggunakan teori individualisasi dan teori generalisasi. Dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, teori generalisasi. Dalam hal ini melihat fakta sebelum kejadian, yakni sebelum HRS dirawat di RS Ummi. Klaim Penuntut Umum sama dengan perkara Petamburan sebab adanya penghasutan yang kemudian menimbulkan terjadinya Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Penuntut Umum membebankan sebab terjadinya peningkatan penyebaran COVID-19 di wilayah Kota Bogor hanya semata-mata kepada terdakwa. Pembebanan yang demikian itu tidak proporsional dan tentunya tidak valid.
 
Peningkatan penyebaran COVID-19 bukan hanya terjadi pada wilayah Kota Bogor, melainkan terjadi diberbagai wilayah Indonesia. Dengan adanya pergerakan orang melintas batas wilayah - sebab tidak ada penerapan karantina wilayah - telah menjadikan penyebaran wabah Corona yang demikian cepat dan meluas.

Lain halnya jika pemerintah melakukan tindakan karantina wilayah dan dengannya ditetapkan daerah tertentu (in casu Kota Bogor) sebagai “daerah wabah” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Wabah Penyakit Menular. Terlebih lagi Presiden telah mendeklarasikan terjadinya status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat sebagai Bencana Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020.

Deklarasi Presiden tersebut menandakan bahwa terjadinya penularan/penyebaran virus Corona tidak lagi bersifat lokal (parsial), melainkan terjadi di berbagai wilayah Indonesia, jelas sifatnya nasional. Dengan demikian tidak dapat dibenarkan dalil terjadinya peningkatan penyebaran COVID-19 di Kota Bogor sebab perbuatan HRS sebagaimana didakwakan. Justru penyebabnya adalah tidak dilakukan penetapan status daerah wabah dan penerapan karantina wilayah.

Kedua, teori individualisasi. Dalam hal ini mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat pada faktor yang ada atau terdapat setelah perbuatan dilakukan. Dengan kata lain peristiwa dan akibatnya benar-benar terjadi secara konkret (post factum). Menurut teori ini tidak semua faktor merupakan penyebab. Faktor penyebab itu sendiri adalah faktor yang sangat dominan atau memiliki peran terkuat terhadap timbulnya suatu akibat.

Berdasarkan teori ini, maka dipertanyakan adanya pembuktian peningkatan penularan COVID-19 di Kota Bogor. Apakah dapat dibuktikan peningkatan tersebut sebab semata-mata HRS meninggalkan RS Ummi dan kemudian terjadi kontak dengan masyarakat banyak sehingga terjadi peningkatan penularan.

Fakta menunjukkan bahwa yang bersangkutan masuk RS Ummi pada tanggal 24 Nopember 2020 jam 21.00 WIB dan menempati kamar president suite yang tentunya sangat steril untuk dikunjungi untuk kalangan umum. Kemudian dirinya meninggalkan RS Ummi pada tanggal 28 Nopember 2020, malam hari. Selama masa perawatan yang bersangkutan sangat terbatas bertemu dengan orang lain, selain keluarganya sendiri. Begitupun pada saat dirinya berada di kawasan Sentul hingga kemudian hendak menuju tempat tertentu dan bersamaan dengan itu terjadi peristiwa KM 50.

Rentang waktu yang relatif singkat tanpa ada kontak dengan masyarakat umum sangat mustahil didalilkan yang bersangkutan sebagai penyebab utama terjadinya peningkatan penyebaran COVID-19 di Kota Bogor. Disini bagaimana pembuktian terhadap korban yang terpapar COVID-19 sebab adanya kontak dengan yang bersangkutan.  Fakta yang terungkap di persidangan tidak pernah ada ditemukan korban penularan COVID-19 akibat kontak langsung dengannya.

Seandainya memang ada peningkatan penularan, maka arus dibuktikan secara hukum apakah memang benar terjadinya peningkatan tersebut sebab adanya kontak dengan terdakwa (in casu HRS). Sejalan dengan itu, bukankah penularan Corona telah ada dan berlaku secara meluas di berbagai wilayah. Bisa saja terjadi peningkatan tersebut sebab adanya kerumunan dan kontak dengan orang lain yang terpapar COVID-19 pada tempat dan waktu yang berlainan.

Penuntut Umum tidak mampu membuktikan bahwa sebab paling dominan dan berpengaruh terjadinya peningkatan penularan tersebut memang disebabkan oleh HRS. Pembuktian dimaksud tidak akan mampu dilakukan sebab hal itu sesuatu yang mustahil. Fakta adanya peningkatan penularan tersebut memang benar terjadi, sebagaimana terjadi di berbagai wilayah lainnya. Namun hal itu tidak mungkin dibebankan kepada para terdakwa.
 
Lebih lanjut terkait dengan dakwaan yang menyatakan bahwa terdakwa telah sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Wabah Penyakit Menular juga tidak dapat dibuktikan dalam proses persidangan. Tidak ditemui adanya fakta bahwa Satgas COVID-19 Kota Bogor dan Dinas Kesehatan Kota Bogor terhalangi dalam menjalankan tugasnya guna penyelenggaraan penanggulangan COVID-19.

Tidak ada hubungan kausalitas antara penolakan terdakwa terhadap pemeriksaan swab PCR test dan permintaannya untuk merahasiakan hasil swab PCR test. Hubungan kausalitas menunjuk pada adanya hubungan langsung antara perbuatan dan akibat yang terjadi. Demikian itu tidak penah terjadi.

Perbuatan menghalangi mengandung makna tidak dapatnya penyelenggaraan penanggulangan wabah dilakukan sebab adanya perbuatan konkrit dan aktif dari pelaku. Tidak dapatnya penyelenggaraan penanggulangan wabah berlaku untuk kepentingan masyarakat luas. Kepentingan tersebut menunjuk pada ketentuan penanggulangan wabah sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Wabah Penyakit Menular, yakni kedelapan upaya penanggulangan wabah. Dengan demikian bukan dimaksudkan terhadap pasien yang terpapar COVID-19 (in casu HRS).

Tidak pula dapat dibenarkan perbuatan menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah telah menyebabkan Satgas COVID-19 Kota Bogor dan Dinas Kesehatan Kota Bogor tidak dapat melakukan metode tracing. Dikatakan demikian oleh karena metode tracing merupakan bagian dari tindakan penyelidikan epidemiologis. Penyelidikan epidemiologis digunakan sebagai dasar “penetapan dan pencabutan daerah wabah.” Dengan demikian tidak ada hubungan kausalitas. Disisi lain Menteri Kesehatan tidak menetapkan Kota Bogor sebagai “daerah wabah” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Wabah Penyakit Menular.
 
Perkara RS Ummi yang pemeriksaannya dilakukan secara terpisah, menyisakan pertanyaan apakah putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan berupa pemidanaan pidana denda, pidana penjara atau pembebasan, setidak-tidaknya segala tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima. Publik juga menanti tuntutan apa yang diterapkan Penuntut Umum. Menurut perkiraan penulis Penuntut Umum akan menggunakan dakwaan pertama primair. Ancaman maksimal dalam pasal tersebut adalah paling lama 10 (sepuluh) tahun penjara.

Berdasarkan uraian yang telah penulis sampaikan di atas, menurut hemat penulis tidak ada hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan dan akibat. Penolakan HRS terhadap pemeriksaan swab PCR test dan permintaannya untuk merahasiakan hasil swab PCR test bukan merupakan sebagai perbuatan aktif menghalangi upaya penanggulangan wabah. Menyangkut delik berita bohong juga tidak mengandung adanya sikap batin (mens rea) untuk mewujudkan perbuatan pidana dan akibatnya. Didalam hukum tidak dapat dipidana seseorang karena atas dasar keadaaan batin seseorang. Hal ini sesuai dengan asas “cogitationis poenam nemo patitur”, artinya “tidak seorang pun dipidana atas yang ada dalam pikirannya”. Oleh karena itu terhadap suatu perbuatan, maka didalamnya harus terkandung adanya kesalahan. Perihal ucapan bohong sebagaimana didakwakan bertentangan dengan asas “tidak seorang pun dipidana atas yang ada dalam pikirannya”. 

Ucapan tersebut adalah termasuk bagian dalam pikiran sebab dirinya merasakan sudah sehat. Penilaian tersebut adalah penilaian yang wajar sebagaimana penilaian pada umumnya seseorang yang merasakan sudah pulih dari rasa sakitnya. Tidak dimaksudkan terdakwa menggunakan pikirannya secara salah yang kemudian mengarahkan pikirannya dan tindakannya untuk mewujudkan perbuatan terlarang beserta akibatnya. Tidak pula ada akibat konkrit terjadinya peristiwa keonaran atau kekacauan di berbagai wilayah Indonesia sebagai syarat terpenuhinya unusr Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Pertaturan Hukum Pidana.

Sepanjang tidak terpenuhinya unsur sebagaimana dimaksudkan, maka terhadap para terdakwa harus dibebaskan. Setidak-tidaknya dilepaskan dari segala tuntutan Penuntut Umum. Dikatakan demikian, walaupun terhadap perbuatannya memang terbukti, namun perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana. Demikian, semoga mencerahkan dan bermanfaat.*

Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!

Analysis lainnya:

+Pasang iklan

Gamis Syari Murah Terbaru Original

FREE ONGKIR. Belanja Gamis syari dan jilbab terbaru via online tanpa khawatir ongkos kirim. Siap kirim seluruh Indonesia. Model kekinian, warna beragam. Adem dan nyaman dipakai.
http://beautysyari.id

Cari Obat Herbal Murah & Berkualitas?

Di sini tempatnya-kiosherbalku.com. Melayani grosir & eceran herbal dari berbagai produsen dengan >1.500 jenis produk yang kami distribusikan dengan diskon sd 60% Hub: 0857-1024-0471
http://www.kiosherbalku.com

Dicari, Reseller & Dropshipper Tas Online

Mau penghasilan tambahan? Yuk jadi reseller tas TBMR. Tanpa modal, bisa dikerjakan siapa saja dari rumah atau di waktu senggang. Daftar sekarang dan dapatkan diskon khusus reseller
http://www.tasbrandedmurahriri.com

NABAWI HERBA

Suplier dan Distributor Aneka Obat Herbal & Pengobatan Islami. Melayani Eceran & Grosir Minimal 350,000 dengan diskon s.d 60%. Pembelian bisa campur produk >1.300 jenis produk.
http://www.anekaobatherbal.com

Innalillahi..!! Ustadzah Pesantren Tahfizh Kecelakaan, Kepala Gegar Otak Koma 5 Hari

Innalillahi..!! Ustadzah Pesantren Tahfizh Kecelakaan, Kepala Gegar Otak Koma 5 Hari

Ustadzah Salma Khoirunnisa, salah satu pengajar di Pesantren Tahfizul Quran Darul Arqom Sukoharjo mengalami kecelakaan. Kondisinya masih belum sadar, dan sempat koma selama 5 hari karena diperkirakan...

Tutup Tahun Dengan Bakti Sosial Kesehatan di Pelosok Negeri

Tutup Tahun Dengan Bakti Sosial Kesehatan di Pelosok Negeri

Diawali dengan berniat karena Allah, berperan aktif menebarkan amal sholeh dan turut serta membantu pemerintah memberikan kemudahan kepada umat mendapatkan pelayanan kesehatan, maka Ulurtangan...

Ayah Wafat, Ibu Cacat, Bayu Anak Yatim Ingin Terus Bersekolah

Ayah Wafat, Ibu Cacat, Bayu Anak Yatim Ingin Terus Bersekolah

Rafli Bayu Aryanto (11) anak yatim asal Weru, Sukoharjo ini membutuhkan biaya masuk sekolah tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama). Namun kondisi ibu Wiyati (44) yang cacat kaki tak mampu untuk...

Program Sedekah Barang Ulurtangan Sukses Menyebarkan Kasih dan Berkah Bagi Muallaf di Kampung Pupunjul

Program Sedekah Barang Ulurtangan Sukses Menyebarkan Kasih dan Berkah Bagi Muallaf di Kampung Pupunjul

Alhamdulillah, pada Sabtu, (18/11/2023), Yayasan Ulurtangan.com dengan penuh rasa syukur berhasil melaksanakan program Sedekah Barangku sebagai wujud nyata kepedulian terhadap sesama umat Islam....

Merengek Kesakitan, Bayi Arga Muhammad Tak Kuat Perutnya Terus Membesar. Yuk Bantu..!!

Merengek Kesakitan, Bayi Arga Muhammad Tak Kuat Perutnya Terus Membesar. Yuk Bantu..!!

Sungguh miris kondisi Arga Muhammad Akbar (2) anak kedua pasangan Misran dan Sudarti ini, sudah sebulan ini perutnya terus membesar bagai balon yang mau meletus. Keluarganya butuh biaya berobat...

Latest News

MUI

Sedekah Al Quran

Sedekah Air untuk Pondok Pesantren

Must Read!
X