Ahad, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 12 Januari 2014 15:59 wib
25.090 views
Murtad Tanpa Sadar Karena Taat Hukum Positif
Oleh Amir Bahar
Pendahuluan :
Kewenangan membuat Hukum bagi manusia adalah semata-mata milik Allah. Banyak sekali ayat-ayat Allah yang bersifat qat’i tentang hal ini antara lain :
وَلا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا (٢٦
Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan".( QS Kaffi ayat 26)
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَعَلَيْهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ (٦٧
keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri". (QS Ysuf 67).
Namun dalam perkembangan ilmu hukum yang kemudian masuk ke Indonesia melalui penjajah Barat muncullah hukum positif, yaitu, hukum baru berlaku setelah diundangkan. Artinya setelah mendapat persetujuan dari legislatif.
Inilah yang berlaku di Indonesia sejak zaman penjajahan. Pada zaman pejajahan Belanda berdasarkan Indishe Staatregeling (IS, oleh Prof, Hazairin disebut sebagai singkatan dari teori Iblis) hukum Islam baru boleh berlaku bila mana telah diterima (receptie) oleh hukum adat. Pada zaman ini hukum Islam baru bisa berlaku setelah mendapat persetujuan dari legislatif (DPR dan Presiden). Karena sampai saat ini mereka (legislator) belum berkenan memperlekakukan hukum syari’ah maka jadilah syariat Islam masih sebagai wacana di negeri mayoritas muslim.
Musyrik Dalam Hukum.
Taat adalah salah satu bentuk dari ibadah. Ketaatan hanya boleh diberikan kepada Allah, Rasul-Nya, dan Ulil Amri dari kaum mukmin yang menegakkan Quran dan Hadis. Walau pun Ulil Amri (pemimpin) itu dari seorang mukmin namun bila perintahnya tidak sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka tidak wajib ditaati. Mentaati perintah manusia yang menyelisihi hukum Allah adalah musyrik. Allah berfirman :
وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ (١٢١)
Janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. ( QS Al-An’am ayat 121).
Tentang ayat ini Al Hakim dan yang lainnya meriwatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas: Bahwa orang-orang membantah kaum muslimin tentang sembelihan dan pengharaman bangkai, mereka berkata: “Kalian makan apa yang kalian bunuh dan tidak makan dari apa yang Allah bunuh” yaitu bangkai, maka Allah berfirman “Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsir ayat ini: “Dimana kamu berpaling dari perintah Allah dan aturan-Nya kepada yang lainnya, terus kamu mendahulukan terhadap aturan Allah yang lainnya, maka inilah syirik itu”.
Allah juga berfirman :
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ (٣١)
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS At-Taubah ayat 31).
Imam At Tirmidzi meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan ‘Adiy ibnu Hatim (seorang hahabat yang asalnya Nashrani kemudian masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan: “Kami (orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat atau sujud kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”, Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis kami telah mempertuhankan mereka atau kami telah beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau memohon-mohon kepada mereka. Maka Rasul mengatakan: “Bukankah mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”. Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”, Rasul berkata lagi: Itulah bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib)
Pemurtadan Melalui Sumpah
Di negeri Pancasila ini mau menduduki jabatan apa pun harus dilakukan melalui sumpah terlebih dahulu. Acara pengambilan sumpah selama ini dianggap suatu acara yang religius. Sumpah dilakukan sesuai dengan agama orang yang akan disumpah dengan menghadirkan rohaniawan masing-masing agama sebagai saksi dan bertugas meletakkan kitab suci di atas kepala orang yang bersumpah atau di tangannya. Suasananya benar-benar takzim. Setelah pengucapan sumpah diikuti dengan pemberian ucapan selamat. Terlihatlah wajah-wajah ceria dan bahagia.
Namun renungkanlah lafal sumpah di negeri ini mulai dari sumpah Presiden sampai sumpah CPNS, petugas TPS. Semuanya bersumpah menyebut nama Allah, namun tidak satu pun kata untuk taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mereka bersumpah dengan menyebut nama Allah namun memberikan ketaatannya kepada hukum positif yang menyelisihi hukum Allah. Inilah kemusyrikan tanpa sadar. Kita ambil contoh sumpah jabatan presiden yang dimuat dalam pasal 9 UUD 1945 yang berbunyi :
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-beiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar dan menjalankan segala Undang-undang dan Peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”
Kemudian Sumpah dan janji anggota MPR berdasarkan pasal 7 ayat (1) UU No. 27 tahun 2009 tentang MPR,DPR, dan DPRD, sebagai berikut :
“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam pasal 76 UU No. 27 tahun 2009 tentang MPR,DPR, dan DPRD dimuat sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam sebagai berikut:
”Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Dalam UU Pokok Kepegawaian disebutkan sahnya suatu jabatan setelah dilakukan pengambilan sumpah jabatan sebagai berikut :
“Demi Allah”,
“Saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat pada jabatan ini, baik langsung mau pun tidak langsung, dengan rupa atau dalih apa pun juga, tidak memberi atau menyanggupi, akan memberi sesuatu kepada siapa pun juga”,
“Bahwa saya, akan setia dan taat, kepada negara RI,”
“Bahwa saya, akan memegang rahasia, sesuatu yang menurut sifatnya, dan menurut perintah, harus saya rahasiakan, “
“Bahwa saya, tidak akan menerima hadiah, atau sesuatu pemberian, berupa apa saja, dari siapa pun juga, yang saya tahu, atau patut dapat dikira bahwa ia mempunyai hal yang bersangkutan atau mungkin berangkutan dengan jabatan atau pekerjaan saya,”
”Bahwa saya, dalam menjalankan jabatan atau pekerjaan saya, saya senantiasa, akan mementingkan Negara dari kepentingan saya sendiri seseorang atau golongan”
“Bahwa saya, senantiasa akan menjungjung tinggi kehormatan Negara, pemerintah, atau pegawai negeri,”
”Bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan semangat, untuk kepentingan Negara,”
Demikian juga halnya bagi calon PNS yang akan diangkat menjadi PNS harus melafalkan sumpah sebagai berikut :
Demi Allah, saya bersumpah/berjanji :
bahwa saya, untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah;
bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab;
bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan martabat Pegawai Negeri Sipil, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan Negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan;
bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan;
bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara.
Dari contoh-contoh lafal jabatan tersebut dapat kita lihat bahwa :
1) Setiap sumpah selalu menyebut nama Allah. Namun tidak satu kata pun dari lafal sumpah jabatan tersebut yang memberikan ketaatan kepada Allah. Lafal sumpah hanya ikrar untuk memberikan ketaatan kepada hukum buatan manusia yang menyelisihi hukum Allah. Itulah kalimat kekufuran sebagai firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 74 :
يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلامِهِمْ
Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan Perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam
2) Dalam proses pengambilan sumpah seorang rohaniawan mendampingi orang yang bersumpah dengan meletakkan al-Quran di atas kepala orang yang bersumpah. Karena lafal sumpah tidak satu pun berupa ikrar untuk mentaati al-Quran bahkan dapat diartikan sebaliknya yaitu berikrar untuk meninggalkan al-Quran maka perbuatan meletakkan al-Quran tersebut dapat dikatakan sebagai istihza (berolok-olok) yang menyebabkan seseorang menjadi kafir sebagai firman Allah QS at-Taubah ayat 65 :
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (٦٥)
لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ (٦٦)
65. dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan
manjawab, "Sesungguhnya Kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja." Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?"
66. tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.
Kesimpulan:
Setiap pejabat yang ber-KTP Islam di negeri ini yang telah mengangkat sumpah jabatan telah terjatuh menjadi Murtad Tanpa Sadar. Konsekuensinya sangat besar dalam berbagai bidang seperti : pernikahan, penyembelihan, imam dan dan khotib dalam sholat, kewarisan dan sebagainya.
Tentunya kita berharap ada kesadaran dari penyelenggara negeri ini bertaubat dan berhimmah untuk menegakkan syariat Islam.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!