Kamis, 11 Rabiul Akhir 1446 H / 4 Juli 2019 08:53 wib
7.425 views
Keluarga Berencana, Keluarga Sejahtera?
Oleh:
Ifa Mufida, Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Masalah Sosial
KELUARGA adalah ujung tombak pencetak generasi pengisi peradaban. Selain itu, keluarga adalah institusi terakhir yang diharapkan menjadi benteng bagi setiap anggota keluarga dari kerusakan moral yang ada di masyarakat. Dalam membangun keluarga, pastinya membutuhkan perencanaan agar tujuan mulia keluarga bisa terwujud. Saat ini, program Keluarga Berencana (KB) telah menjadi program unggulan demi mewujudkan kesejahteraan keluarga. Pertanyaannya, benarkah demikian?
Tema "Hari Keluarga, Hari Kita Semua" dan slogan " Cinta Keluarga, Cinta Terencana" telah terpilih menjadi tema dan slogan yang diusung tahun ini dalam peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) pada tanggal 29 Juni. Peringatan Harganas kali ini dilaksanakan di Kalsel dengan menghadirkan tamu dari 33 propinsi dengan puncak seremoni pada tanggal 3 sampai 6 Juli.
Dalam web BKKBN (keluargaindonesia.id), dijelaskan bahwa tanggal 29 Juni dinyatakan sebagai tanggal dimulainya Gerakan KB Nasional. Kemudian, hari itu dinyatakan sebagai hari kebangkitan keluarga Indonesia. Artinya, Harganas adalah tindak lanjut program KB yang tidak lain adalah upaya pembatasan angka kelahiran. Hal ini ditegaskan kembali oleh Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) jelang peringatan Harganas ke 26 ini.
"Ingat bumi kita ini stagnan, dia tidak berubah, tidak akan bertambah luas. Tanah yang ada dimanfaatkan oleh warga bumi dan semakin berkurang karena populasi manusia yang selalu bertambah. Salah satu upaya untuk meminimalkannya, dengan melaksanakan program Keluarga Berencana," Demikian keterangan gubernur Kalsel dalam siaran pers yang diterima Beritasatu.com, Senin (4/2).
Dari pernyataan beliau, dapat ditarik sebuah premi bahwa sumber daya alam yang ada di bumi dianggap terbatas. Sedang pertambahan penduduk jika tidak ditekan berakibat tidak akan terpenuhi kebutuhan hidupnya, atau dengan kata lain tidak sejahtera. Pada faktanya sebagian besar kekayaan di bumi ini, justru dikuasai hanya oleh segelintir orang. Inilah ketimpangan yang terjadi, tidak meratanya pemanfaatan sumber daya alam menjadikan sebagian besar penduduk dunia berada di dalam ketidaksejahteraan.
Bermodal fakta banyaknya keluarga yang tidak sejahtera, sistem kapitalis justru menyodorkan pembatasan kelahiran sebagai solusi andalan. Tak sebatas dipromosikan bahkan cenderung dipaksakan. Hingga akhirnya, solusi ini tampak logis untuk diterima. Bahwa masalah ekonomi itu muncul akibat kelangkaan yang disebabkan ketidakseimbangan laju pertambahan manusia dan alat pemuas kebutuhannya. Karenanya pertumbuhan manusia harus dihambat sedemikian rupa, program KB-lah realisasinya.
Solusi lain yang ditawarkan adalah mendorong peningkatan produksi barang dan jasa agar bisa memenuhi kebutuhan manusia. Dan berdasarkan prinsip ekonomi maka agar produksi bisa tercapai dengan modal yang paling rendah adalah dengan memanfaatkan tenaga perempuan yang sejatinya dikenal sebagai pekerja murah. Maka dengan segala iming-iming yang cantik perempuan terus didorong untuk bisa memenuhi market produksi dengan promo kesetaraan gender. Inilah lingkaran setan yang dibuat sistem global saat ini untuk menekan penambahan penduduk dengan mengatasnamakan keluarga berencana, untuk meraih kesejahteraan.
Jika kita mau mengamati lebih dalam faktanya justru tidak demikian. Dengan semakin banyaknya perempuan yang bekerja untuk mendorong roda perekonomian, justru melahirkan masalah baru yang tak ada habisnya. Bagaimana kita melihat banyak sekali anak yang tidak terurus bahkan tidak mendapatkan didikan yang optimal sehingga kerusakan remaja begitu luar biasa merebak. Angka perceraian juga sangat besar akibat jargon yang mengatasnamakan emansipasi hingga perempuan melupakan batas-batas hak dan kewajiban nya di dalam keluarga.
Dari sini bisa saya katakan bahwa kesejahteraan masyarakat tidak akan terwujud dengan adanya program KB ataupun program emansipasi wanita. Justru ini menimbulkan banyak permasalahan baru yang merusak tatanan masyarakat. Sebaliknya, kita harusnya bisa memetik bahwa adanya kesejahteraan yang tidak merata jutru karena penerapan sistem kapitalisme-sekuler yang memfasilitasi orang-orang yang rakus dan membenci Islam.
Adapun Islam, sejak 14 abad silam pun telah memiliki perencanaan dalam membangun keluarga. Bahkan, dimulai sejak pencarian pasangan hingga masa depan keluarga di dunia ini. Sebagaimana firman Allah dalam surah Ath-Tahrim ayat 6, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu."
Namun, syariat Islam justru menganjurkan untuk mengawali perencanaan sebuah keluarga dengan memilih calon pasangan yang subur. Sebab, kelak Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam akan membanggakan jumlah umatnya di sisi Rabb-Nya (HR. An-Nasa'i). Sebab, Islam memandang masalah kesejahteraan keluarga sama sekali tidak ada hubungannya dengan banyak dan sedikitnya jumlah anak. Sesuai firman Allah, “Dan tidak ada satupun makhluk yang berjalan di muka bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya” (TQS. Huud: 6).
Dalam Islam, kemiskinan tidak disebabkan oleh kelangkaan melainkan akibat distribusi kekayaan yang tidak berjalan. Menumpuk pada segelintir orang. Fakta ini tak dapat diingkari. Liputan6.com tahun 2018 pernah merilis sebuah artikel yang memperkirakan tahun 2030 nanti, satu persen orang terkaya di dunia akan menguasai 64% kekayaan dunia.
Maka saat terjadi masalah ekonomi pada keluarga (tidak sejahtera), Islam tidak menyelesaikan dengan mengurangi kelahiran. Selain juga, tidak menyerahkan penyelesaiannya pada keluarga semata. Apalagi sampai memberdayakan perempuan. Masalah ekonomi dibebankan pada laki-laki sebagai kepala keluarga dan kepada penguasa sebagai kepala negara.
Negara akan membuka lapangan kerja dan usaha untuk para laki-laki. Juga, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk kelancaran setiap usaha warga negaranya. Maka di dalam Islam, laki-laki yang wajib bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sedang wanita, boleh berkiprah di dalam masyarakat dengan tanpa melupakan tugas utama di dalam rumah dan bukan mengatasnamakan tujuan ekonomi.
Syariat Islam juga akan mengembalikan pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan masyarakat semua, dan tidak boleh dikuasi oleh segelintir orang saja. Sebagaimana hadist nabi, "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api" (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Demikianlah gambaran singkat bagaimana Islam mensejahterakan keluarga. Dalam catatan sejarah, peradaban Islam juga melahirkan pada ilmuwan muslim tangguh yang lahir dari keluarga muslim. Hanya saja, keluarga berencana versi Islam ini hanya akan terwujud dengan penerapan syariat Islam secara totalitas. Wallahu A'lam bi shawab.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!