Seluruh nabi dan rasul sepanjang zaman memiliki sebuah agama, dengan misi dan tujuan yang sama. Meskipun berbeda masa dan bahasa, juga berbeda kondisi dan geografi, inti ajaran para nabi hanya satu yaitu mengajak manusia untuk membebaskan diri dari penyembahan kepada sesama makhluk dan hanya menyembah kepada Allah subhanahu wata’ala belaka. Itulah agama yang dijarkan oleh Allah ta’ala kepada seluruh nabi. Dan agama itu hanyalah Islam.

Memang, antara Islam yang diajarkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Islam yang diajarkan kepada nabi-nabi sebelumnya ada perbedaan. Islam kepada nabi-nabi sebelum nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Islam dalam sifat. Hal ini memungkinkan demikian, karena mereka memiliki bahasa yang berbeda-beda sedangkan Islam adalah bahasa Arab. Sedangkan islam yang dibawa oleh nabi Muhammad adalah Islam dalam makna bahasa maupun sifat.

Meskipun memiliki inti yang sama, Islam yang dibawa oleh masing-masing nabi memiliki syari’ah yang berbeda. Nabi yang datang belakangan memiliki syari’ah yang lebih sempurna dari nabi sebelumnya. Syari’ah yang diturunkan kepada nabi Musa ’alaihissalam lebih lengkap dan lebih sempurna dari pada syari’ah yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim ’alaihissalam. Syari’ah Nabi Isa ’alaihissalam lebih lengkap dan lebih sempurna dari syari’ah yang dibawa oleh nabi Musa ’alaihissalam. Dan Syari’ah Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah syari’ah terakhir, maka syari’ah ini telah lengkap dan sempurna, sehingga Allah berfirman;

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. (al-Maidah:3)

Sebagai syari’ah terakhir yang telah disempurnakan oleh Allah subhanahu wata’ala, syari’ah yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menghapuskan berlakunya seluruh syari’at yang dibawa oleh para rasul as yang diutus sebelumnya. Allah ta’ala berfirman;

تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا [الفرقان/1]

Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam, (al-Furqan;1)

وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا وَكَفَى بِاللهِ شَهِيدًا [النساء/79]

Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi. (an-Nisa’:79)

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا [الأعراف/158].

Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, (al-A’raf:158)

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berlaku untuk seluruh manusia. Dan jika di setiap umat masih ada syariat nabi-nabi terdahulu yang tersisa, maka syari’at itu dihapuskan berlakunya oleh syari’at nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga syariat yang ada sudah tidak berlaku lagi, dan yang harus diberlakukan adalah syari’at nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Apabila saat ini orang yang berkeyakinan bahwa ia bisa beribadah kepada Allah ta’ala menggunakan syari’at selain syari’at yang diturunkan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam maka ia telah kafir. Sebab syariat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah syari’at yang berlaku kepada seluruh umat manusia secara keseluruhan, baik yang berbangsa Arab maupun non-Arab, bahkan juga berlaku kepada jin.

Di sinilah letak perbedaan syariat nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan syariat nabi-nabi sebelumnya. Nabi-nabi terdahulu memiliki syariat yang hanya berlaku untuk kalangan tertentu. Sehingga bisa jadi syari’at seorang nabi tidak berlaku untuk orang yang bukan ummat nabi tersebut. Sebagai contoh nabi Musa ‘alaihissalam diutus membawa sebuah syari’at, tetapi Khidlir tidak harus tunduk kepada syari’at nabi Musa ‘alaihisalam, karena Khidlir bukan ummat Nabi Musa ‘alaihisalam.

Saat ini di beberapa kalangan umat Islam saat ini ada keyakinan, bahwa Khidlir masih hidup. Lalu orang yang bisa bertemu dengan khidlir, ia boleh tidak mengikuti syri’at nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana Khidlir tidak mengikuti syari’at nabi Musa ‘alaihisalam. Keyakinan seperti ini, termasuk keyakinan yang membatalkan keislaman.

Sebagai contoh, kalau orang Islam wajib shalat lima waktu, lalu dengan mengatasnamakan ma’rifat seseorang menyatakan sudah tidak wajib lagi shalat lima waktu. Kalau islam mengharamkan khamar, ada orang yang mengatakan karena tingginya ilmu, ia bisa meminum khamar tetapi ketika khamar masuk ke dalam mulutnya akan menjadi aqua. Ini jelas sebuah alasan yang mengada-ada. Dan tampak jelas sebagai sebuah pandangan yang menyeleweng dari ajaran Islam.

Kita bisa melihat beberapa aspek untuk menunjukkan kekeliruan pandangan tersebut ;

1. Bahwa syari’at Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam bersifat umum, sedangkan syari’at nabi Musa ‘alaihisalam bersifat khusus.

2. Khidlir bukan bani Isra’il yang harus tunduk kepada Nabi Musa ‘alaihisalam, sedangkan kita termasuk ummat yang harus tunduk kepada syriat nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari sini bisa dijelaskan pula bahwa ketidaktundukan Khidlir terhadap syariat nabi Musa ‘alaihisalam bukan berarti Khidlir tidak tunduk kepada syariat Allah. Khidlir tetap tunduk pada syari’at Allah, yang diberlakukan baginya, bukan yang diturunkan kepada nabi Musa ‘alaihisalam, sebab masing-masing memiliki syari’at tersendiri.

3. Khidlir memungkinkan seorang nabi, kalau bukan seorang nabi adalah umat seorang nabi yang memiliki syariat tersendiri, dan dalam saat yang sama nabi Musa adalah seorang nabi yang memiliki syariat yang lain lagi. Sementara kita bukan nabi yang memiliki syari’at, tetapi ummat nabi muhamad yang harus mengikti syari’at beliau.

Jika ada orang yang berkeyakinan bolehnya seseorang mengikuti syariat selain syariat nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalam, berarti ia tidak mengimani nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalam dengan benar. Termasuk dalam makna iman kepada nabi Muhamad shallallahu ‘alaihi wasalam adalah iman bahwa beliau adalah penutup para nabi, dan risalah yang beliau bawa berlaku untuk semua manusia.

Selain ayat-ayat yang telah disebutkan di atas, yang menunjukkan bahwa risalah beliau untuk seluruh manusia, lebih terinci lagi hadis ini menunjukkan kewajiban menerima syari’at beliau; Sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam

وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً (رواه البخاري والنسائي وأحمد والدارمي)

Dahulu seorang Nabi diutus khusus untuk kaumnya, dan aku diutus untuk seluruh umat manusia (HR al-Bukhari, an-Nasa’i, Ahmad dan ad-Darimi)

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ (رواه مسلم وأحمد)

Demi dzat yang jiwaku ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari ummatku mendengar tentang aku, baik yahudi maupun nashrani, kemudan ia mati dalam keadaan tidak beriman kepada pa yang akhu bawa, melainkan ia termasuk penghuni neraka. (HR Muslim dan Ahmad)

Umat nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalam  sebagaimana yang ditunjukkan di dalam hadis ini maksudnya adalah ummat da’wah. Yaitu umat manusia yang harus didakwahi, baik dia akhirnya menerima seruan dakwah ataupun menolak. Maka umat da’wah yang bersedia tunduk kepada syari’at yang dibawa oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalam, ia akan masuk sorga, dan ummat da’wah yang akhirnya menentang dan menyimbongkan diri ia akan masuk ke dalam neraka.

Oleh : Ustad Budi Prasetyo

pengajar di Ponpes Assalaam Surakarta