Selasa, 7 Rabiul Akhir 1446 H / 3 Juni 2014 21:51 wib
14.913 views
Nasib Buruk Bukan Harga Mati!
Ada yang curhat,
“Sudah nasibku miskin begini. Memang ini yang dikehendaki takdir untuk menimpaku.”
“Memang sudah dari bawaan lahir aku ini bodoh. Mau berusaha seperti apapun juga tetap nggak akan pintar.”
Sobat muda, tak ada yang namanya ‘terjebak’ dalam nasib. Manusia selalu punya upaya untuk keluar dari kondisi yang menurutnya tidak menyenangkan. Ungkapan pasrah bukan menunjukkan ketakwaan seseorang tetapi sebaliknya. Kalimat-kalimat di atas adalah sebuah ekpresi kemalasan dari seorang manusia untuk berusaha mengambil posisi terbaik dalam kehidupannya.
Miskin dan bodoh adalah kondisi yang tidak ada hubungannya dengan keturunan. Dua hal ini bukan penyakit menular apalagi ada garis nasab di dalamnya. Miskin dan bodoh seolah-olah menjadi ciri khas karena memang dalam keluarga tersebut menganut pemahaman yang melestarikan kemiskinan dan kebodohan.
Misalnya saja pola didik terhadap anak yang salah. Sedari kecil anak tidak diajari untuk mencintai belajar, memunyai cita-cita tinggi dan meraihnya dengan segala upaya. Sedari orok, anak sudah melihat betapa orang tuanya dan lingkungan sekitar adalah jenis orang-orang pemalas yang hanya puas ketika ada jatah untuk makan hari itu. Bila ada kelebihan uang, pasti dibelikan untuk hal-hal yang tidak berguna. Tak ada uang yang disisihkan untuk pendidikan anak-anaknya, untuk membantu meraih cita-cita yang diajarkan untuk diraih setinggi mungkin.
Anak pun tumbuh menjadi pribadi yang pemalas, menganggap sekolah dan belajar tak penting, suka memboroskan waktu dan uang, serta tak punya cita-cita dan harapan hidup yang tinggi. Sikap inilah yang membentuk lingkaran setan dalam masyarakat ketika kebodohan dan kemiskinan seolah menjadi tradisi. Padahal bila saja dia berkemauan, mudah memberantas akar kebodohan dan kemiskinan ini.
Belajar dan bekerja keras adalah jalan keluar untuk mematahkan ‘penyakit’ turunan ini. Memang tidak mudah, tapi harus diupayakan. Terutama bila ingin memotong rantai yang selama ini membelenggu anak turun. Belajar tak harus dari sektor formal. Sikap dan mental yang positif harus ditumbuhkan dulu. Selebihnya akan ada ‘keajaiban’ yang menyertai ketika kita ada kemauan untuk berubah.
Ingat, usaha saja tanpa doa seperti buta. Sedangkan doa saja tanpa usaha itu namanya pemalas. Doa harus terus dilantunkan agar terbuka pintu kecerdasan sehingga memudahkan manusia untuk memahami ayat-ayatNya. Bila ayat-ayatNya sudah dipahami, maka akan mudah memahami kehidupan dan mudah pula ilmu merasuk ke dalam jiwa. Begitu juga dengan rezeki. Akan terbuka pintu-pintu yang tak pernah diduga sebelumnya ketika ada ‘kekuatan’ dari luar diri yang bergerak.
Bukan kita yang menggerakkan hati manusia lain untuk memberi pekerjaan. Bukan sekadar ijazah atau kepandaian kita ketika orang lain tiba-tiba menawarkan posisi yang kita inginkan selama ini. Bukan juga karena mahirnya kita berbicara atau menawarkan produk ketika orang berbondong-bondong membeli produk yang kita jual. Itu semua semata-mata karena ada Allah yang Maha menggerakkan hati untuk membuka jalan bagi pintu rezeki.
Tak pantas manusia sombong karena ikhtiyarnya bukan harga mati. Tetap kita butuh sentuhan Ilahi untuk membuat lancar dan barokahnya rezeki. Wallahu alam. (riafariana)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!