Sabtu, 1 Jumadil Akhir 1446 H / 16 Agutus 2014 17:22 wib
26.743 views
Syiah, Dari Kawin Sementara Sampai Negara Sementara
Oleh : DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM.
Al-Ustadz Drs. A. Subki Saiman, MA.
(Pendiri dan Pengkaji Ahli LKS Al-Maqashid Syarial & Lisan Hal)
Artikel yang mengetengahkan “kawin sementara”, tentu sudah tidak asing lagi bagi pembaca, namun “negara sementara” menjadi bahan rerungan untuk kita melihat apa dan bagaimana sebenarnya Syi’ah. Oleh karena itu, judul artikel ini penekanannya dengan kata kunci “sampai negara sementara”. Letak kesementaraan negara yang dimasudkan disini adalah “Republik Taqiyya Iran” yang berdiri pasca Revolusi Khomeini tahun 1979 dengan dukungan faksi Ushuli. Melalui revolusi itu, Khomeini kembali menggagas konsep Wilayat al-Faqih yang sebelumnya pernah disampaikan oleh Muhaqqiq Al-Karaki (W.1561M). Al-Karaki adalah pemikir Syi’ah pertama yang secara komprehensif mengelaborasi konsep Wilayat al-Faqih sebagai konsep kepemimpinan di zaman kegaiban Imam Keduabelas. Khomeini kemudian menampilkan Syi’ah dalam bentuk yang lebih politis ketimbang teologis. Dikatakan demikian, oleh karena konsep Wilayat al-Faqih merupakan hasil ijtihad politis faksi Ushuli terkait dengan mempertahankan Revolusi Iran dengan Khomeini sebagai Waly al-Faqih atau lazim disebut Rahbar. Keberlakuannya berlangsung terus-menerus tidak dapat diubah sepanjang masa (lihat: Pasal 2 jo Pasal 57 Konstitusi). Hal ini mengisyaratkan, tidak dapat diubahnya sepanjang masa terkait dengan absennya Imam Keduabelas. Perlu dicatat bahwa ideologi Imamah pada mulanya tidak mengenal adanya kekuasan Waly al-Faqih (Iran: Na’eb-e Imam / wakil Imam Keduabelas) sepanjang ketidakhadiran Imam Keduabelas, sebagaimana dianut faksi Akhbari. Setelah Imam Keduabelas menghilang, kaum Syi’ah secara hipotesis, hanya menunggu akhir zaman, tanpa harapan akan hadirnya pemerintahan yang sah. Namun, dengan kelicikan Khomeini melalui konsep Wilayat al-Faqih - yang sebenarnya bersifat kepemimpinan kolektif - direduksi menjadi kepemimpinan tunggal yakni Waly al-Faqih.
Dalam rangka pendirian negara Syi’ah Iran, Khomeini mengatakan bahwa usaha-usaha pendirian negara Syi’ah merupakan bagian dari aplikasi iman terhadap wilayah (keimamahan). Untuk menegakkan pemerintahan yang bersendikan Imamah, maka diperlukan cara-cara politik untuk meneguhkan keberadaannya. Untuk kepentingan itu, para intelektual Syi’ah Iran berupaya mencari “dalil ilmiah” dengan mengacu pada teori Teo-Demokrasi, suatu perpaduan antara teori “Kedaulatan Tuhan” dan “Kedaulatan Rakyat” dalam perspektif “Demokrasi Religius” sebagai pembelaan akedemis yang rapuh. Dengan demikian, terdapat dua pilar pemikiran – keduanya saling mendukung (mempertautkan) – yaitu, masyruiyyah (legitimasi religius/penunjukkan Tuhan) dengan maqbuliyyah (akseptabilitas publik/penerimaan umat). Pemikiran inilah yan diadopsi dalam pemerintahan Iran pasca revolusi, prinsip maqbuliyyah disimbolkan oleh republik sedangkan prinsip masyruiyyah disimbolkan dengan Imamah. Kemudian, dalam praktek pendirian pemerintahan Iran, Khomeini meminta pelaksanaan referendum dan pemilihan umum untuk mencapai aspek maqbuliyyah (akseptabilitas publik). Padahal, mayoritas rakyat Iran kala itu telah bulat berada di belakang Khomeini. Dua pilar di atas menimbulkan kontradiksi, menjadikan aspek maqbuliyyah sebagai penentu prinsip masyruiyyah, sejurus dengan itu secara teoritis dua teori kedaulatan tersebut – yang sangat berbeda prinsip – tidak dapat dimplementasikan dalam satu negara, apalagi yang berbentuk Republik!, kecuali memang telah rekayasa sedemikian rupa, sebagaimana dilakukan oleh Khomeini.
Sebenarnya, maksud dari masyruiyyah dan maqbuliyyah adalah untuk kepentingan Syi’ah Iran belaka, tidak ada hubungannya dengan Islam. Dua dimensi itu berkaitan erat dengan ekspansi ideologi dan integrasi ideologi Syi’ah. Melalui Waly al-Faqih, semua marja yang ada di dunia tunduk dan patuh kepadanya, kemudian para pengikut (muqallid) “berserah diri kepadnya”, tidak terkecuali yang ada di Indonesia. Sebagai contoh aktual, adalah organisasi Hizbullah, dari sejak kemunculan hingga sekarang, fungsi Wilayat al-Faqih senantiasa tidak terpisahkan dari ideologinya. Hizbullah berpandangan, semua dalil dan kemaslahatan yang meniscayakan kehadiran Nabi SAW dan pengganti beliau dengan semua sifat dan kualifikasi tertentu yang wajib mereka miliki - dalam bobot yang sama - juga meniscayakan kehadiran Wakil Imam di zaman kegaiban ini. Dengan demikian, keniscayaan ini mengantarkan Hizbullah untuk berpegang pada Waly al-Faqih yang mampu memimpin kepada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Ali Khamenei selaku Waly Al-Faqih mengangkat Hasan Nashrallah sebagai wakil umum (wakil ‘am) di Lebanon dalam ranah hisbi (perkara-perkara uang Allah tidak ridha bila diabaikan) dan syar’i (keagamaan). Melalui pengangkatan ini, semua urusan yang terkait dengan pelaksanaan kewajiban agama demi kemaslahatan umat, pengumpulan dana khumus, dan sistem administrasinya dan lain sebagainya dipindahkan dari Iran ke Lebanon. Kewenangan Waly al-Faqih dalam hubungannya dengan Hizbullah ini lebih mendekati corak “residu of power” (kewenangan sisa), hal ini dapat dilihat dari klaim Hizbullah bahwa Waly al-Faqih hanya mengeluarkan “panduan umum” bagi kerja politik, dimana kewenangan politik seorang Waly al-Faqih tetaplah relatif terbatas. Dapat dikatakan Lebanon – melalui Hizbullah – dijadikan sebagai “Negara Bagian Iran” dengan pendekatan kewenangan sisa tersebut, sebagaimana berlaku dalam sistem Negara Federal, seperti Amerika Serikat. Menurut Hizbullah, generalitas petunjuk-petunjuk Waly al-Faqih memberi ruang yang luas bagi Hizbullah untuk mengambil keputusannya sendiri. Jadi kewenangan Waly al-Faqih terbatas pada isu-isu strategis seperti jihad, aturan politik dan penentuan kawan dan lawan. Ideologi jihad Hizbullah terikat secara keagamaan dengan Waly al-Faqih yang berfungsi sebagai pengendali strategis dalam segenap aktivitas jihad. Dengan demikian, Hizbullah meletakkan ideologi dan strategi jihadnya dalam kerangka legitimasi keagamaan dan tidak membiarkan ideologi berjalan secara terpisah dari strateginya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan Waly al-Faqih dalam pemikiran ideologi Syi’ah merupakan konsekuensi logis ketidakhadiran Imam Keduabelas, sehingga dapat dikatakan bahwa peranan dan fungsi Waly al-Faqih berada di bawah kondisi darurat. Ketika nanti sang Imam Mahdi yang diklaim oleh Syi’ah muncul, maka segala kekuasaan dan termasuk semua aset yang dihasilkan termasuk khumus akan diserahkan kepada sang Imam. Tidaklah mengherankan ketika Ahmadinejad dinobatkan sebagai Presiden Iran, dia menginstruksikan kabinetnya untuk menandatangani secara simbolis sebuah ikrar kesetiaan terhadap Imam Keduabelas. Dia mengatakan, bahwa penguasa pada dasarnya adalah Imam Keduabelas dan kebijakan pemerintahan harus dibimbing oleh cita-cita mempercepat kehadirannya kembali. Pernyataan Ahmadinejad bahwa penguasa pada dasarnya adalah Imam Keduabelas, membuktikan sifat Republik Taqiyyah Iran adalah sementara. Adapun yang berlaku sekarang sebatas masa transisi belaka. Selanjutnya, kita dapat melihat terjadinya transformasi di Iran – yang diwakili oleh kelompok Ushuli – dimulai dengan gerakan keulamaan yang meninggalkan doktrin queitist (penantian yang pasif terhadap kemunculan kembali Imam Mahdi) menjadi aktivisme menjelang terjadinya Revolusi Iran. Dapat dikatakan, salah satu faktor yang sangat berpengaruh bagi keberhasilan mempertahankan revolusi dan kebangkitan Syi’ah adalah ditinggalkannya doktrin queitist kaum Akhbari dan diterimanya doktrin Wilayat al-Faqih yang diusung oleh kaum Ushuli. Berdasarkan perundang-undangan Republik Iran, selama kegaiban Imam terakhir, Tuhan Yang Maha Kuasa menempatkan Imam ma’shum sebagai pemimpin masyarakat Islam (baca: Syi’ah). Namun, dalam ketidakhadiran Imam ma’shum, seseorang harus ditempatkan untuk menggantikan Imam ma’shum, yang memiliki kualifikasi dan karakter yang sangat mirip dengan Imam ma’shum, diridhai Allah SWT dan sekumpulan pribadi-pribadi bertaqwa. Waly al-Faqih dianggap sebagai suksesor dan waklil dari Imam Keduabelas Syi’ah.
Begitulah klaim mereka, menganggap hanya Syi’ah dengan pemerintahan Imamah yang sah dan diridhai oleh Allah SWT, padahal bangunan Wilayat al-Faqih dan Waly al-Faqih tidak lebih kebohongan terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia. Imam Mahdi yang diklaim sebagai Imam Keduabelas dan ditunggu oleh mereka adalah kebodohan! Imam Kesebelas (Hasan Askari) tidaklah memiliki seorang anak pun. Jika pun mereka tetap menunggu itu pun menjadi keuntungan bagi mereka untuk selalu melakukan kawin sementara kapan dan dimana saja. Bagan di bawah ini merangkum keberlakuan Republik Taqiyya Iran yang penuh dengan rekayasa. Ternyata taqiyyah tidak hanya dalam bentuk ucapan dan sikap mereka, tetapi juga dalam sistem pemerintahan pun Syi’ah menerapkan taqiyyah. Sifat kesementaraan dalam bicara, perkawinan mut’ah, dan sistem pemerintahan yang transisi itu melengkapi berbagai kedustaan Syi’ah. Sungguh bodoh orang-orang yang menganut Syiah, dan “lemah analisis-literatur” para simpatisannya yang selama ini mengusung taqrib dan mengatakan bahwa Syi’ah di Indonesia ini tidak semuanya Rafidah, seakan masih ada yang moderat. Pendapat itu menunjukkan seakan dirinya “wafat” jauh sebelum “Khomeini wafat”. Kadangkala para tokoh termasuk profesor sekalipun dikalahkan dengan pemikirannya sendiri, oleh sebab terlalu banyak menyerap “literatur”, namun disayangkan analisisnya “premature.”
Bagan : Rekayasa Pembentukan Republik Taqiyya Iran
[adivammar/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!