Jum'at, 7 Rabiul Akhir 1446 H / 1 Juni 2018 04:59 wib
4.330 views
Kezhahiran Upah Sang 'Ajir' yang Terhijab PDB
Oleh: Aji Teja H
Pemahaman tentang realitas negara yang dikemukakan oleh Plato maupun Aristoteles bahwa kehadiran Negara merupakan tempat untuk mewujudkan kebijakan yang baik dan sejahtera adalah langkah awal untuk memahami apa yang harus diperlakukan terhadap individu-individu masyarakatnya.
Negara dengan tugas tertentu, baik melahirkan kebijakan yang benar dan salih serta kebijakan yang mewujudkan kesejahteraan[1], mengharuskan untuk melakukan upaya dan memberdayakan potensi dalam negerinya serta melangsungkan hubungan-hubungan politik dengan negara(Dawlah) atau bangsa (Syu’ub) lain demi memenuhi tanggung-jawab politiknya.
Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam pengertian Negara sesungguhnya dan mengikuti fakta negara itu sendiri sebagai pelaksana politik. Dalam pengertian lain Negara memiliki kewenangan untuk melakukan pengurusan urusan “umat” baik didalam negeri maupun di luar negeri.
Keberadaan individu-individu yang hidup dan saling berinteraksi sebagai sebuah masyarakat yang khas dibawah naungan pengaturan negara, memiliki keharusan untuk terus melangsungkan interaksi tersebut secara terus menerus.
Hal ini dikarenakan individu-individu tersebut tertuntut agar tetap hidup dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya sebagai manusia dan menjalankan pemahaman-pemahaman umum yang berlaku terkait dengan tatacara pemenuhan kebutuhan tersebut.
Berpijak dari persoalan ini, berbagai gagasan timbul dan muncul dikalangan pemikir untuk memberikan konsepsi kesejahteraan yang harus dilakukan oleh Negara melalui kebijakannya.
Pemenuhan kebutuhan adalah aspek primer yang dihadapi oleh warga negara, sehingga memunculkan anggapan bahwa ekonomi adalah faktor mendasar yang harus dipenuhi untuk mewujudkan negara kesejahteraan/Welfare.
Sejak tahun 1600-an, penaklukan oleh Oliver Cromwell di irlandia menjadi tonggak awal perhitungan kekayaan berbasis pada tanah tersebut untuk mengukur kesejahteraan tersebut. Kondisi itu terus berlanjut dimasa-masa merkentilisme yang menjadikan harta raja sebagai standar kekayaan suatu negara.
Kaum Fisiokrat inggris membagi-bagi masyarakat berdasarkan fungsi-fungsi produksi menjadi kelas pemilik (tuan tanah), kelas produktif (buruh) dan kelas steril (prefesional). Pendefinisian terhadap masyarakat tentu menjadi langkah awal untuk mewujudkan aturan-aturan ekonomi demi terwujudnya negara kesejahteraan.
Dari sini dapat difahami bahwa keberadaan kekayaan suatu negara tidak terlepas dari adanya sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melakukan produktifitas atas SDA yang ada. Adam Smith menuturkan bahwa “Seluruh hasil tahunan adalah dari tanah dan tenaga kerja”.
Perangkat yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan inilah yang kini dikenal sebagai PDB. Secara sederhana rumus PDB adalah akumulasi dari konsumsi, investasi, belanja pemerintah dan ekspor dikurangi dengan impor.
Kegiatan ekonomi tersebut tidak terlepas dari unit-unit produktif yang berjalan disuatu negara tanpa membedakan sektarian atau “rasisme” dalam kegiatan produksi. Tanpa pula menjadikan etnisitas sebagai pembeda terhadap kegiatan produksi.
Yang terpenting adalah politik PDB memainkan peran penting dalam mengkondisikan energi yang dicurahkan oleh tenaga kerja baik bagi penduduk asli maupun pendatang dari bangsa lain untuk melakukan kegiatan produksi didalam negeri[2].
Perspektif ini tentu mengharuskan negara untuk mendapatkan pendapatan sebesar-besarnya dengan diimbangi dengan produksi sebesar-besarnya demi memenuhi kebutuhan dalam negeri. Bila terjadi kelangkaan tentu akan menjadi problem ekonomi tersendiri.
Unit-unit produksi yang turut andil dalam memproduksi komoditas yang akan dijual ke pasar merupakan industri-industri bersaing dan meendapatkan tempat yang kompetitif selama yang menjadi payung bagi interaksi ekonomi adalah cita-cita kesejahteraan semata dengan mengejar angka PDB.
Hal ini terbukti dengan adanya pembebasan terhadap sumber daya alam kepada pihak swasta manapun dan upaya privatisasi dibeberapa BUMN. Padahal, sejak sedari dulu Montesque menjelaskan bahwa PDB yang merupakan bagian integral dari ekonomi kapitalisme merupakan kekuatan halus yang memperbaiki dan menghaluskan cara-cara barbar.
Dibebaskannya sumber daya alam, dan tidak jelasnya penempatan sumber-sumber ekonomi yang ditetapkan oleh negara dalam hal kepemilikan menyebabkan keberadaan unit-unit produksi tidak begitu jelas keberpihakannya kepada ekonomi masyarakat, melainkan hanya untuk memenuhi keserakahan individual kapitalis.
Di masa-masa kini, Dunia dilingkupi dengan berbagai mega-proyek infrastruktur begitu pula dengan negara-negara berkembang yang turut memprioritaskan pembangunan infrastruktur.
Dengan melihat arus komoditas yang dilahirkan industri dengan asas yang belum jelas menempatkan penguasaan sumber-sumber produksi (ekonomi) sudah barang tentu, peredaran komoditas dipasar merupakan ajang kompetisi dan upaya untuk mendulang keuntungan sebesar-besarnya bagi pemilik modal dan melipatgandakan modal tersebut dalam sektor-sektor produksi lainnya.
Wajah kehidupan ekonomi kapitalisme inilah yang menjadi wadah bagi tenaga kerja untuk bertahan hidup. Diantara gagasan yang dimunculkan adalah menempatkan taraf kehidupan yang diukur melalui PDB sebagai penentu akan upah bagi pekerja, atau muncul tuntutan-tuntutan dari buruh sendiri untuk meningkatkan upah yang layak.
Kedua belah pihak baik buruh dan perusahaan seolah memunculkan perang berkepanjangan yang diungkapkan melalui proses perjuangan kelas ala sosialisme. Padahal, Negara dan Perusahaan harus berada pada posisi yang berbeda, semuanya berpangkal pada kejelasan dalam menempatkan sumber-sumber ekonominya untuk memunculkan perusahaan dan pengelolaannya seperti apa dalam menghasilkan barang.
Sehingga, Negara mendapatkan ruang untuk menjamin hidup layak rakyatnya, dan perusahaan dalam konteks penguasaan sumber ekonomi yang jelas dan berdampak kepada kepemilikan perusahaan tersebut akan menempatkan tenaga kerja sebagai pekerja yang diupah sesuai dengan tenaga yang dicurahkan bukan kepada jaminan kehidupan yang telah dijamin oleh negara melalui pemenuhan kebutuhan hidup dan kondisi stabilitas harga-harga dalam perdagangan.
Tenaga manusia yang independen merupakan faktor mendasar dari penentuan upah. Penentuan upah bagi tenaga kerja tidak boleh dipengaruhi oleh taraf kehidupan masyarakat yang dikondisikan oleh Negara melalui sistem-sitem kehidupan berikut sistem ekonominya. Tidak pula harus mengikuti kemauan dan tuntutan buruh karena pertimbangan tuntutan kehidupan yang tidak terlepas dari taraf kehidupan yang ada.
Demi terhindarnya hegemoni kapital dan hegemoni buruh, upah harus dikembalikan kepada asas utamanya, yakni bagaimana ubah berstandar sesuai dengan tenaga yang dicurahkannya sehingga menghasilkan manfaat terhadap orang yang meemanfaatkan/memperkerjakan tenaga orang tersebut.
Dengan demikian, Upah harus ditentukan sejak awal kesepakatan baik dari segi beban pekerjaan terhadap tenaga yang akan dicurahkan maupun tenggang waktu yang akan digunakan dalam mengerjakan pekerjaan tersebut.
Hal itu akan menutup berbagai manipulasi perusahaan atau Kapitalisme yang diadopsi oleh Negara yang tunduk dibawah naungan perusahaan raksasa sehingga membuat perubahan selama kesepakatan berjalan dan belum berakhir. Kenyataan buruk ini dapat dilihat ketika munculnya problem buruh diera kekinian seperti tuntutan naik upah dikarenakan beban hidup yang seharusnya tanggung jawab negara dibebankan kepada perusahaan.
Faktor-faktor produksi yang diserahkan kepada mekanisme pasar menyebabkan perusahaan mempertimbangkan untung dan rugi dalam menentukan upah, Keluhan buruh terhadap pekerjaan yang meningkat dalam proses kontrak dalam masa tertentu dan memunculkan sinisme sosial akibat kepangkatan berbasis pada upah.
Dalam termenologi Islam, transaksi terhadap pemanfaatan tenaga (manfaat) dari manusia ini dinamakan sebagai Ijarah. Orang yang memperkerjakan dan mendapatkan manfaat dari orang yang dipekerjakan baik berupa manfaat dari pekerjaannya maupun manfaat berupa tenaga manusia itu sendiri dinamakan sebagai Musta’jir. Sedangkan orang yang dipekerjakan adalah Ajir. Dasar transaksi jasa ini (perburuhan) adalah:
“Jika mereka (para istri) menyusui anak kalian, maka berikanlah kepada mereka upah-upah mereka” – At-Talaq : 6
Dalam sabda Nabi SAW:
“Siapa saja yang mengimani Allah dan Hari Akhir, janganlah mempekerjakan seorang pekerja sampai dia memberitahukan upahnya”
Dasar ini memberikan isyarat bahwa tidak ada pertimbangan komoniti atau harga barang sebagai penentu besaran upah, dalam pengertian yang lebih luas tidak ada pertimbangan iklim pasar komoditi atau bahkan yang lebih tragis adalah terhadap iklim pasar bebas yang menempatkan mekanisme harga sebagai tumpuan.
Lebih lanjut, tidak ada pertimbangan taraf kehidupan sebagai faktor penentu upah, namun yang menjadi landasan penentuan upah adalah realitas dari jasa/buruh itu sendiri berupa adanya tenaga yang tercurah sehingga menjadi tumpuan tegaknya pengupahan.
Namun, pengupahan terhadap perburuhan tersebut akan terjadi secara sempurna tatkala Negara sebagai bagian yang mengkondisikan pekerja, perusahaan dan apa yang menjadi objek kegiatan bisnis memberikan pengaturan yang adil dan sesuai dengan Islam.
Menempatkan kepemilikan secara seimbang dan memberikan jaminan hidup terhadap masyarakat dengan tepat. Disinilah negara harus memenuhi tanggungjawab publik dalam memenuhi kebutuhan primer dengan cara meminggirkan ukuran PDB sebagai alat pengukur kesejahteraan yang bertumpu kepada kebebasan dalam kepemilikan serta mendewakan mekanisme pasar bebas.
Negara harus mengatur penguasaan sumber-sumber ekonomi baik pertanahan, industri dan perdagangan begitu pula jasa ini untuk sesuai dengann syariah Islam sehingga tercipta kondisi yang baik dan hubungan harmonis antara pekerja dan yang memperkerjakan. [syahid/voa-islam.com]
Referensi:
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, hal. 28-36, Darul Falah, Jakarta, Cet 1, 1999
Lorenzo Fioramonti, Problem Produk Domestik Bruto: Sejarah dan Realitas Politik di Balik Angka Pertumbuhan Ekonomi.
H. Dwi Condro Triono, Ph.D, Falsafah Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Irtikaz, 2017)
Catatan Kaki:
[1] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, hal. 28-36, Darul Falah, Jakarta, Cet 1, 1999
[2] Lorenzo Fioramonti, Problem Produk Domestik Bruto: Sejarah dan Realitas Politik di Balik Angka Pertumbuhan Ekonomi.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!