Jum'at, 10 Jumadil Akhir 1446 H / 23 September 2022 12:17 wib
20.795 views
Peranan Akal dalam Masalah Keimanan
Oleh: Irsan Pebri Maulana
(Mahasiswa Prodi Kesejahteraan Sosial FISIP Unpas)
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌ, اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ ۚ
Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. (Q.S. Al Ikhlas : 1 – 2)
Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, kepada qadla dan qadar baik-buruk keduanya dari Allah. Iman adalah pembenaran yang bersifat pasti (tashdiiqul jazm), yang sesuai dengan kenyataan, yang muncul dari adanya dalil/bukti. Muncul dari suatu dalil artinya keimanan tersebut memiliki hujjah/dalil tertentu. Tanpa dalil sebenarnya tidak akan ada pembenaran yang bersifat pasti semuanya hanya merupakan kemungkinan-kemungkinan bila tidak ada dalil.
Suatu dalil untuk masalah iman, ada kalanya bersifat aqli (masih dalam jangkauan panca indera) dan atau naqli (di luar jangkauan panca indera), tergantung pada perkara yang diimani. Oleh karena itu, semua dalil tentang akidah pada dasarnya disandarkan pada metode aqliyah. Dalam hal ini, Imam Syafi’i berkata :
“Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berfikir dan mencari dalil untuk ma’rifat kepada Allah Ta’ala. Arti berfikir adalah melakukan penalaran dan perenungan qolbu dalam kondisi orang yang berdikir tersebut dituntut untuk ma’rifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai kepada ma’rifat terhadap hal-hal yang ghaib dari pengamatannya dengan indera dan ini merupakan suatu keharusan. Hal ini merupakan suatu kewajiban dalam bidang ushuluddin.”
Akal manusia mampu membuktikan keberadaan sesuatu hal yang berada di luar jangkauannya, jika ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk atas keberadaan hal tersebut, seperti perkataan seorang Baduy (orang awam) tatkala ditanyakan kepadanya “Dengan apa engkau mengenal Rabbmu?” Jawabnya : “Tahi onta itu menunjukkan adanya onta dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada orang yang berjalan.”
Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Qur’an adalah bukti eksistensi / keberadaan Allah Sang Pencipta dengan cara mengajak manusia memperhatikan makhluk-makhluk-Nya. Sebab, jika akal diajak untuk mencari Dzat-Nya, tentu tidak mampu menjangkaunya seperti firman-Nya dalam Q.S. Al Jaatsiyah : 3 – 4
إِنَّ فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ لَءَايَٰتٍ لِّلْمُؤْمِن , وَفِى خَلْقِكُمْ وَمَا يَبُثُّ مِن دَآبَّةٍ ءَايَٰتٌ لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Artinya: “Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman. Dan pada penciptakan kamu dan pada binatang-binatang yang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakini.”
Karena keterbatasan akal dalam berfikir, Islam melarang manusia untuk berfikir langsung tentang Dzat Allah, karena Dzat Allah berada di luar kemampuan akal untuk menjangkaunya. Selain itu juga karena manusia mempunyai kecenderungan (bila ia hanya menduga-duga tanpa memiliki acuan kepastian) menyerupakan Allah SWT dengan suatu makhluk.
Rasulullah bersabda:
“Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu fikirkan tentang Dzat Allah. Sebab, kamu tidak akan sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya yang sebenarnya.” (HR Abu Nu’im dalam “Al Hidayah” ; sifatnya marfu’, sanadnya dhoif tetapi isinya shahih)
Imam Ibnul Qoyyim berkata:
“Para sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Padahal mereka itu adalah ummat yang dijamin sempurna imannya. Tetapi alhamdulillah, mereaka tidak pernah terlibat bertentangan faham satu sama lainnyadalam menghadapi asma Allah, perbuatan-perbuatan Allah, dan sifat-sifat-Nya. Mereka menetapkan apa yang diutarakan Al-Qur’an denan suara bulat. Mereka tidak menta’wilkannya, juga tidak memalingkan pengertiannya.”
Ketika kepada Imam Malik ditanyakan tentang makna “persemayaman-Nya (istiwaa’), beliau lama tertunduk dan bahkan mengeluarkan keringat. Setelah itu Imam Malik mengangkat kepala lalu berkata :
“Persemayaman itu bukan sesuatu yang dapat diketahui. Juga kafiyah (cara)nya bukanlah hal yang dapat dipahamkan. Sedangkan mengimaninya adalah wajib, tetapi menanyakan hal tersebut adalah bid’ah/salah.”
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!